Suara Warga

Dampak Kemenangan Jokowi Bagi Konsolidasi Demokrasi

Artikel terkait : Dampak Kemenangan Jokowi Bagi Konsolidasi Demokrasi

Hasil Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 Juli 2014 yang lalu, akhirnya dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 21 Agustus 2014. Setelah melalui proses persidangan yang panjang, MK akhirnya memutuskan untuk menolak gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh pasangan calon presiden/wakil presiden Prabowo Subianto – Hatta Radjasa (Prabowo-Hatta). Karena sifat putusan MK yang final dan mengikat, pasangan Joko Widodo – Muhammad Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang sebelumnya telah ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan presiden/wakil presiden terpilih dengan perolehan suara 70.997.833 (53,15%), secara otomatis resmi menjadi pemenang Pilpres 2014.

Pilpres 2014 kali ini dianggap sebagai salah pemilu paling sengit dalam sejarah Indonesia karena untuk pertama kalinya pemilu presiden secara langsung, diikuti oleh dua pasang kandidat capres/cawapres. Hal ini secara otomatis membuat masyarakat Indonesia terpolarisasi menjadi dua kutub. Bahkan dalam pidato presiden SBY saat merekonsiliasi kedua pasangan calon dalam jamuan buka puasa bersama tanggal 20 Juli 2014, Presiden SBY mengatakan bahwa kompetisi dalam pilpres 2014 jauh lebih keras daripada pilpres tahun 2004 dan 2009 yang pernah ia ikuti. Selain karena diikuti oleh dua pasang kandidat capres/cawapres, kerasnya kompetisi dalam pilpres 2014 kali ini juga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah masifnya penggunaan isu sentimen SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan), fitnah, kampanye negatif dan kampanye hitam selama masa kampanye pilpres 2014, serta penyebarannya yang begitu masif dan cepat akibat perkembangan penggunaan sosial media dan teknologi informasi di kalangan masyarakat.

Pilpres 2014 kali ini juga memberikan beberapa dampak positif bagi konsolidasi demokrasi Indonesia, diantaranya adalah fenomena relawan, partisipasi rakyat dalam pembiayaan demokrasi, meningkatnya antusiasme rakyat dalam pemilu, menurunnya angka golput dan pengalaman rakyat dalam menghadapi situasi politik yang terpolarisasi ke dalam dua kutub pasangan capres/cawapres. Pengalaman yang sangat berarti karena ternyata rakyat Indonesia mampu menyikapi perbedaan pilihan politik secara dewasa tanpa konflik dan perselisihan yang berarti.

Kemenangan Jokowi-JK dalam pilpres 2014 juga tidak lepas dari dampak faktor-faktor positif ini. Jokowi-JK didukung oleh jutaan sukarelawan yang menjadi motor penggerak mesin politik di akar rumput. Tanpa dukungan dan kerja keras para sukarelawan itu, mustahil Jokowi-JK bisa memenangkan pilpres 2014. Bersama rakyat, para relawan juga menggalang donasi untuk menyumbang pembiayaan kampanye Jokowi-JK. Satu hal yang menjadikan para relawan menjadi sangat militan dalam mempromosikan dan mengkampanyekan Jokowi-JK, harapan mereka akan terwujudnya Indonesia yang lebih baik melalui kepemimpinan yang populis, sederhana dan merakyat dalam sosok Jokowi. Konsistensi Jokowi sejak menjadi walikota Solo dan gubernur DKI Jakarta untuk mendengarkan aspirasi rakyat ketika blusukan dan mengimplementasikannya menjadi kebijakan dan program kerja yang solutif, mengantarkannya pada posisi capaian tertinggi dalam karir seorang politisi. Menjadi Presiden Republik Indonesia. Kemenangan Jokowi dalam pilpres 2014 ini menjadi babak baru dalam perkembangan konsolidasi demokrasi Indonesia.

Pertama. Jokowi adalah orang pertama dalam sejarah pemilu langsung presiden/wakil presiden Republik Indonesia yang ketika terpilih, ia tidak sedang menjabat sebagai ketua umum ataupun fungsionaris partai politik. Ini berarti oligarki kepemimpinan di dalam tubuh partai politik perlahan-lahan mulai runtuh. Artinya akan ada pembaharuan dan regenerasi kepemimpinan di dalam tubuh partai politik. Dengan begitu, akan ada ide-ide dan gagasan-gagasan baru yang masuk ke dalam partai politik. Paradigma partai politik mulai berubah. Untuk dicalonkan oleh partai politik seseorang tidak lagi harus menjadi ketua umum partai atau menjadi fungsionaris partai. Seseorang cukup mempunyai prestasi, punya rekam jejak bersih, punya kerja di masyarakat dan dicintai rakyat. Akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, partai politik harus mencari sosok-sosok pemimpin populis seperti ini untuk dicalonkan dalam kontestasi pemilihan pemimpin. Ini juga mengakibatkan pertarungan politik untuk mendapatkan posisi ketua umum partai politik tidak lagi berlangsung sengit dan habis-habisan. Karena tidak ada lagi yang berpikir harus mengincar posisi ketua umum itu sebagai batu lompatan untuk mendapatkan kursi presiden. Akibatnya, tidak ada lagi yang berpikir untuk korupsi mengumpulkan modal pendanaan guna memuluskan jalannya untuk mendapatkan tampuk ketua umum partai politik seperti yang Anas Urbaningrum lakukan. Apabila subsistem terkecil dalam sistem demokrasi negara seperti partai politik, tidak lagi berpatokan pada kekuatan uang untuk mendapatkan posisi strategis di dalam internal partai, maka saat itulah masa depan demokrasi dan sistem politik Indonesia masuk pada babak baru. Babak perbaikan tentunya. Saat itulah politik transaksional terkait pencalonan kepala daerah dan calon legislatif di dalam tubuh partai politik tidak lagi terjadi. Bisa ditebak kan jika untuk dicalonkan oleh partai politik saja seseorang harus membayar sejumlah uang atau janji ? Apa yang akan dilakukan kemudian jika terpilih ?

Kedua. Jokowi adalah orang pertama dalam sejarah pemilu langsung Republik Indonesia yang berhasil mendorong terwujudnya demokrasi partisipatif. Realitanya, hari ini jutaan orang bergerak atas inisiatif sendiri menjadi relawan Jokowi-JK. Tidak hanya merelakan waktu dan tenaga, tetapi juga rela menyisihkan sebagian uangnya untuk membiayai dana kampanye Jokowi-JK. Hal ini membuat Jokowi-JK tidak mempunyai beban ketika terpilih. Mereka tidak mempunyai hutang ataupun merugi karena kehabisan harta pribadi. Karena mereka tidak menggunakan harta pribadinya sebagai modal awal untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Dana mereka sepenuhnya dibantu dan dimodali oleh rakyat. Akibatnya, mereka bisa langsung fokus bekerja untuk rakyat, terhindar dari potensi korupsi, dan tegas memberantas korupsi. Akhirnya, seluruh keputusan, kebijakan dan program kerja mereka difokuskan untuk kepentingan rakyat, dan terbebas dari potensi kong-kali-kong untuk memperkaya diri dan pihak-pihak lain yang menjadi pendana mereka. Mereka akan selalu mengingat siapa yang menaikkan dan mendanai mereka menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.

Ketiga. Setelah terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia dan kemudian berhasil mengemban amanah yang diberikan oleh rakyat dengan merealisasikan program-program kerja dan janji-janjinya, Jokowi akan menjadi patron sosok pemimpin panutan seluruh rakyat Indonesia. Hal ini akan berpengaruh kepada cara pandang masyarakat dalam memilih pemimpin. Ketika rakyat dihadapkan pada kontestasi pemilu gubernur, bupati, walikota, dan anggota legislatif maka rakyat mulai membandingkannya dengan sosok pemimpin panutannya. Rakyat akan menjadi lebih kritis dan lebih rasional dalam menilai sosok seorang pemimpin. Akibatnya sosok-sosok calon pemimpin yang tidak punya prestasi, tidak punya karya, tidak punya rekam jejak bersih, dan tidak punya program kerja nyata, tidak akan dilirik oleh rakyat. Rakyat sudah terlanjur cerdas karena telah menikmati dampak kebijakan dari hasil memilih pemimpin yang amanah.

Keempat. Kemenangan Jokowi di tengah-tengah penggunaan isu SARA, fitnah dan kampanye hitam yang begitu masif diharapkan mampu merevolusi cara berpikir dan cara pandang masyarakat dalam menilai sosok pemimpin. DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi yang menjadi lumbung suara Jokowi-JK. Artinya rakyat DKI Jakarta mengamanatkan Jokowi tugas untuk mengawal dan mendukung pembangunan DKI Jakarta dari Istana Negara. Sebagai presiden, Jokowi harus mampu mensinergiskan arah kebijakan pembangunan ibukota dengan mempersatukan visi pembangunan dan political will pemerintah pusat dengan pemprov DKI Jakarta, pemprov Jawa Barat dan pemprov Banten. Terutama dalam mengatasi masalah banjir dan kemacetan di ibukota. Karena untuk mengatasi masalah banjir dan kemacetan ibukota, kebijakan pemprov DKI Jakarta harus didukung oleh kebijakan pemerintah dari wilayah-wilayah satelit di sekitarnya, yaitu pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Banten. Peran Jokowi sebagai seorang presiden sangat diharapkan untuk menjalin dan menjembatani komunikasi diantara ketiga pemerintah provinsi yang saling berkaitan itu. Dan sangat kebetulan, wakil gubernur Jokowi di DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hari ini berasal agama minoritas dan suku yang paling sering mengalami perlakuan diskriminatif dalam sejarah Indonesia. Peran Jokowi sebagai presiden diharapkan juga mampu membantu Ahok menyelesaikan permasalahan ibukota. Mendorong percepatan penyelesaian masalah banjir dan kemacetan ibukota. Apabila Ahok kemudian berhasil mengatasi permasalahan ibukota maka situasi ini akan mendidik, melatih dan membiasakan masyarakat dengan pemimpin-pemimpin populis yang lahir dari rakyat, yang lahir karena prestasi dan hasil kerjanya untuk rakyat. Apabila rakyat sudah dibiasakan dan dididik dengan situasi lahirnya pemimpin-pemimpin populis seperti ini, maka rakyat akan bergerak dengan sendirinya untuk mendukung serta mengcounter kampanye hitam dan isu-isu negatif yang diarahkan kepada pemimpin ataupun calon pemimpinnya. Gerakan ini dengan sendirinya akan menjadi people power, persis seperti bagaimana rakyat bahu-membahu membantu Jokowi-JK hari ini. Akhirnya seiring dengan berjalannya waktu dan terlihatnya hasil kerja mereka, rakyat pun sudah terbiasa dan nyaman dengan keadaan dan situasi dipimpin oleh seorang pemimpin populis dan merakyat. Karena setiap kebijakan dan hasil kerja mereka menguntungkan rakyat. Lama-kelamaan rakyat pun tidak lagi melihat sosok pemimpin karena pertimbangan SARA. Pada akhirnya juga membuat isu-isu sentimen SARA tidak lagi ampuh digunakan sebagai amunisi kampanye untuk menjatuhkan lawan-lawan politik di dalam pemilu. Rakyat sudah terlanjur kebal dan resisten. Rakyat sudah terlanjur cerdas dan terbiasa dengan situasi dipimpin oleh seorang yang punya kapasitas dan kapabilitas ketika memangku jabatan dan menerima amanah dari rakyat.

Fenomena relawan dan demokrasi partisipatif yang ada dibalik kemenangan Jokowi-JK saat ini menunjukkan betapa besarnya harapan rakyat akan terwujudnya perubahan. Harapan itulah yang menjadi bahan bakar gerakan sukarela dan partisipasi rakyat dalam demokrasi itu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu langsung presiden dan wakil presiden, antusiasme rakyat begitu tinggi, bahkan mampu menurunkan angka golput. Rakyat masih memiliki kepercayaan yang besar akan keberhasilan sistem demokrasi. Semuanya tentu berharap akan sistem demokrasi yang mampu menghasilkan kesejahteraan. Duet Jokowi-JK diharapkan mampu menjaga kepercayaan ini. Mewujudkan semua harapan rakyat dengan kebijakan dan program kerja yang solutif. Masa depan konsolidasi demokrasi Indonesia ke arah yang lebih cerah dimulai dari sini. Semoga Jokowi-JK mampu mewujudkan janji-janjinya. Agar rakyat tidak kembali apatis dan kecewa dengan sistem demokrasi yang tak kunjung menghasilkan kesejahteraan. Saatnya rakyat kembali bersatu dan mundur menjadi pengawas jalannya pemerintahan. Agar pemerintahan yang terpilih nanti tahu bahwa mereka selalu diperhatikan oleh kekuatan rakyat yang menjadi pemegang kedaulatan tertinggi. Akankah fenomena demokrasi partisipatif ini akan terus berlangsung untuk memperkuat konsolidasi demokrasi ? Atau hanya akan menjadi catatan sejarah kepemiluan Republik Indonesia ? Semoga dapat terus berlangsung, mari kita jaga dan kita kawal bersama. Bagaimanapun “Kekuatan rakyat jauh lebih kuat daripada kekuatan orang-orang yang berada di dalam kekuasaan”.




Sumber : http://ift.tt/1vp8hMe

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz