Berguru Demokrasi Pada Prabowo
Konsep demokrasi sejak awal hingga saat ini merupakan sebuah konsep ketatanegaraan yang masih ‘meraba-raba’ kesempurnaan. Maklum, tidak ada sistem yang tanpa cacat. Sejak era Yunani hingga sekarang, penerapan demokrasi dalam suatu negara masih terus dikaji dan digeluti untuk disempurnakan (meskipun tidak akan pernah sempurna). Amerika Serikat yang dianggap sebagai kiblat demokrasi masih belum benar-benar demokratis. Pemerintahan masih dikuasai elit pemilik modal besar. Politik transaksional tetap berjalan antar politisi, partai poitik, pengusaha, hingga pemerintah negara lain. Begitu pula dengan Inggris Raya. Demokrasi ‘tanggung’ yang mereka gunakan masih mengakui hak-hak keluarga kerajaan yang sebenarnya bersifat feodalistis.
Indonesia pernah menjalankan sistem demokrasi terpimpin di era Soekarno. Hal itu dilakukan sebagai solusi sepihak atas kerasnya persaingan ideologi di parlemen waktu itu. Di masa orde baru, kita pernah merasakan demokrasi semu (pseudo-democracy). Kontrol atas partai politik, ormas, hingga represifitas pemerintah dengan komponen militer menjadi penyangga utama demokrasi Soeharto. Hingga setelah reformasi 1998, sistem demokrasi kita benar-benar menjadi liberal.
Demokrasi liberal pasca reformasi lebih menyerupai demokrasi ala Amerika Serikat. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin (dengan catatan adanya modal untuk berpolitik). Otonomi daerah diberlakukan sebagai upaya untuk meratakan perekonomian dan menggerus ketimpangan sosial akibat politik ‘pembangunan’ di masa sebelumnya. Banyak daerah yang mengajukan pemekaran wilayah untuk memperoleh hak pengelolaan SDA. Sistem kelembagaan diperbaiki dan menghapus istilah lembaga tertinggi negara. Reformasi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif digalakkan. Hingga pembentukan KPK sebagai respon atas mengakarnya praktek KKN.
Salah satu lembaga, selain KPK, yang berhasil dibentuk pasca reformasi dan banyak menyita perhatian adalah Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini memiliki kewenangan melakukan judicial review terhadap berbagai peraturan yang bertentangan dengan konstitusi. Di masa orde baru, lembaga ini tidak dibentuk karena konstitusi negara menjadi sebuah dogma yang sakral dan tidak dilihat sebagai sebuah produk musyawarah para pendiri bangsa. Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2004), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) diIndonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga.
Namun, kesucian MK sebagai benteng terakhir konstitusi akhir-ahir ini runtuh akibat ulah ketuanya yang menerima suap untuk memenangkan sidang gugatan hasil pilkada. Bahkan hingga sekarang, wibawa MK belum sepenuhnya kembali. Kita tentu ingat ide konyol salah satu ‘capres’ tak terdaftar, Rhoma Irama, yang mengusulkan pembubaran MK karena menilai penanannya tumpang-tindih dengan MA (MK=peninjau UU, MA=pelaksana UU). Hingga peristiwa terbaru di MK saat sidang gugatan hasil pilpres 2014 kemarin, MK ‘dimarahi’ oleh Prabowo.
Bagi penulis, Prabowo memang sosok yang dapat menjadi figur ‘guru’ demokrasi di Indonesia. Beliau memiliki latar belakang pendidikan di Amerika dan juga karir militer yang gemilang. Jadi, pantaslah sekiranya kita berguru mengenai demokrasi pada beliau. Pandangannya mengenai kondisi Indonesia saat ini sangat konkret dengan realitas dan beliau juga memiliki visi yang luar biasa untuk membangun masa depan bangsa (dengan menutup yang bocor dan membocorkan yang tertutup; silahkan artikan sendiri). Beliau memiliki kewibawaan yang jauh lebih tinggi dari konstitusi negara. Hal ini dapat kita lihat dengan cara beliau berbicara yang mengentalkan logat Jawa-nya (menegakken, melaporken, menghancurken, dll.). Sejarah bangsa ini mencatat, Raja Jawa adalah pemimpin nusantara. Cocoklogi-nya, Prabowo menantu Soeharto (eh, mantan), Soeharto menganggap dirinya Raja Jawa. Jadi, dalam aturan feodal Prabowo adalah keluarga kerajaan Jawa yang menjadi penguasa nusantara dan memiliki derajat tertinggi diantara semua rakyatnya.
Sudah selayaknya, KPU sebagai rakyat jelata mendapat teguran keras atas kinerjanya yang dinilai tidak adil. Bagai seorang anak yang dimarahi bapaknya. Prabowo sebagai ‘mahaguru’ demokrasi kita telah menjelaskan tentang demokrasi dan bagaimana demokrasi dilaksanakan. Sepatutnya KPU introspeksi diri jika tidak mau disebut sebagai anak durhaka. Demikian juga dengan MK. Sebelum melakukan kesalahan seperti KPU, MK telah lebih dahulu dinasehati Prabowo tentang bagaimana menegakkan amanat konstitusi.
Melihat kenyataan ini, penulis merasa malu pada kondisi bangsa ini. Kelakuan kita telah memaksa Prabowo, yang notabene lebih tinggi dari konstitusi dan lebih besar dari NKRI, harus ‘turun gunung’ dan memperingatkan kesalahan yang kita lakukan. Namun kita juga patut berbangga hati. Kita memiliki pemimpin seperti Prabowo yang dengan rendah hati rela ‘mengotori’ kakinya sendiri dengan ‘lumpur konstitusi’. Sebagai bangsa yang baik, kita mesti membasuh kaki beliau yang teramat agung tersebut ketika semua masalah ini selesai. Ini adalah bukti pengabdian kita terhadap Yang Dipertuan Agung, Sang Raja Diraja, manusia ‘titisan’ tuhan yang turun ke bumi, Prabu Maharaja Raden Prabowo Subianto.
Catatan: NO SARA
Sumber : http://ift.tt/1vbrpB8
Indonesia pernah menjalankan sistem demokrasi terpimpin di era Soekarno. Hal itu dilakukan sebagai solusi sepihak atas kerasnya persaingan ideologi di parlemen waktu itu. Di masa orde baru, kita pernah merasakan demokrasi semu (pseudo-democracy). Kontrol atas partai politik, ormas, hingga represifitas pemerintah dengan komponen militer menjadi penyangga utama demokrasi Soeharto. Hingga setelah reformasi 1998, sistem demokrasi kita benar-benar menjadi liberal.
Demokrasi liberal pasca reformasi lebih menyerupai demokrasi ala Amerika Serikat. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin (dengan catatan adanya modal untuk berpolitik). Otonomi daerah diberlakukan sebagai upaya untuk meratakan perekonomian dan menggerus ketimpangan sosial akibat politik ‘pembangunan’ di masa sebelumnya. Banyak daerah yang mengajukan pemekaran wilayah untuk memperoleh hak pengelolaan SDA. Sistem kelembagaan diperbaiki dan menghapus istilah lembaga tertinggi negara. Reformasi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif digalakkan. Hingga pembentukan KPK sebagai respon atas mengakarnya praktek KKN.
Salah satu lembaga, selain KPK, yang berhasil dibentuk pasca reformasi dan banyak menyita perhatian adalah Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini memiliki kewenangan melakukan judicial review terhadap berbagai peraturan yang bertentangan dengan konstitusi. Di masa orde baru, lembaga ini tidak dibentuk karena konstitusi negara menjadi sebuah dogma yang sakral dan tidak dilihat sebagai sebuah produk musyawarah para pendiri bangsa. Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2004), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) diIndonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga.
Namun, kesucian MK sebagai benteng terakhir konstitusi akhir-ahir ini runtuh akibat ulah ketuanya yang menerima suap untuk memenangkan sidang gugatan hasil pilkada. Bahkan hingga sekarang, wibawa MK belum sepenuhnya kembali. Kita tentu ingat ide konyol salah satu ‘capres’ tak terdaftar, Rhoma Irama, yang mengusulkan pembubaran MK karena menilai penanannya tumpang-tindih dengan MA (MK=peninjau UU, MA=pelaksana UU). Hingga peristiwa terbaru di MK saat sidang gugatan hasil pilpres 2014 kemarin, MK ‘dimarahi’ oleh Prabowo.
Bagi penulis, Prabowo memang sosok yang dapat menjadi figur ‘guru’ demokrasi di Indonesia. Beliau memiliki latar belakang pendidikan di Amerika dan juga karir militer yang gemilang. Jadi, pantaslah sekiranya kita berguru mengenai demokrasi pada beliau. Pandangannya mengenai kondisi Indonesia saat ini sangat konkret dengan realitas dan beliau juga memiliki visi yang luar biasa untuk membangun masa depan bangsa (dengan menutup yang bocor dan membocorkan yang tertutup; silahkan artikan sendiri). Beliau memiliki kewibawaan yang jauh lebih tinggi dari konstitusi negara. Hal ini dapat kita lihat dengan cara beliau berbicara yang mengentalkan logat Jawa-nya (menegakken, melaporken, menghancurken, dll.). Sejarah bangsa ini mencatat, Raja Jawa adalah pemimpin nusantara. Cocoklogi-nya, Prabowo menantu Soeharto (eh, mantan), Soeharto menganggap dirinya Raja Jawa. Jadi, dalam aturan feodal Prabowo adalah keluarga kerajaan Jawa yang menjadi penguasa nusantara dan memiliki derajat tertinggi diantara semua rakyatnya.
Sudah selayaknya, KPU sebagai rakyat jelata mendapat teguran keras atas kinerjanya yang dinilai tidak adil. Bagai seorang anak yang dimarahi bapaknya. Prabowo sebagai ‘mahaguru’ demokrasi kita telah menjelaskan tentang demokrasi dan bagaimana demokrasi dilaksanakan. Sepatutnya KPU introspeksi diri jika tidak mau disebut sebagai anak durhaka. Demikian juga dengan MK. Sebelum melakukan kesalahan seperti KPU, MK telah lebih dahulu dinasehati Prabowo tentang bagaimana menegakkan amanat konstitusi.
Melihat kenyataan ini, penulis merasa malu pada kondisi bangsa ini. Kelakuan kita telah memaksa Prabowo, yang notabene lebih tinggi dari konstitusi dan lebih besar dari NKRI, harus ‘turun gunung’ dan memperingatkan kesalahan yang kita lakukan. Namun kita juga patut berbangga hati. Kita memiliki pemimpin seperti Prabowo yang dengan rendah hati rela ‘mengotori’ kakinya sendiri dengan ‘lumpur konstitusi’. Sebagai bangsa yang baik, kita mesti membasuh kaki beliau yang teramat agung tersebut ketika semua masalah ini selesai. Ini adalah bukti pengabdian kita terhadap Yang Dipertuan Agung, Sang Raja Diraja, manusia ‘titisan’ tuhan yang turun ke bumi, Prabu Maharaja Raden Prabowo Subianto.
Catatan: NO SARA
Sumber : http://ift.tt/1vbrpB8