Suara Warga

Kerusuhan 27 Juli: Membangunkan Harimau Tidur

Artikel terkait : Kerusuhan 27 Juli: Membangunkan Harimau Tidur

Hari ini, tanggal 27 Juli 2014, tepat 18 tahun terjadinya kerusuhan di Jakarta sebagai sentral pergolakannya, ditambah daerah-daerah lain sebagai imbasnya. Hari Minggu ini, peringatan peristiwa penting itu tidak menarik perhatian masyarakat, elit politik dan partai, serta para pengamat. Terutama karena mereka sibuk merayakan kemenangan Jokowi sebagai presiden RI. Kesibukan itu ditambah dengan rumitnya memahami Prabowo tidak menerima kekalahannya dalam pilpres 2014, serta melanjutkannya ke meja MK (Mahkaha Konstitusi) untuk menganulir keputusan KPU dan menempatkannya sebagai pemenang pilpres dengan menggantikan keterpilihan Jokowi sekarang.

Masyarakat, pemerintah dan aparat juga sibuk untuk mengurus arus mudik lebaran, malam takbiran dan diam sejenak untuk menikmati kebahagiaan serta aura spiritualitas Idul Fitri, 1 Syawal 1435 H. Mereka ingin malam ini kusyuk, tidak dibaluri dengan dendam, sakit hati dan emosi yang tidak perlu berkaitan dengan kerusuhan di masa lalu itu. Malam ini, malam penuh hormat kepada Sang Khalik.

Nun jauh di sana, pada lorong waktu, pada hari itu, 27 Juli 1996, sekumpulan orang melakukan pengambilalihan paksa atas kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Dalam hal ini, PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) belum lahir.

PDI, yang sedang diobok-obok oleh penguasa saat itu, disebut sebagai pemerintahan Orde Baru, terpecah-belah secara internal. Mereka adalah kepengurusan yang dipimpin oleh Soerjadi dan Megawati Soekarnoputri.

Suatu saat, pemerintah merekayasa Kongres PDI di Medan untuk mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum terpilih, pada Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993.Untuk memuluskan penggantian Megawati sebagai Ketua Umum PDI, maka direncanakan pengambilalihan kantor DPP PDI yang dikuasai massa Pro-Mega. Rencana itu dilawan massa Pro- Mega dengan menggelar mimbar bebas di depan Kantor DPP PDI yang didudukinya, serta berlangsung kurang lebih sebulan, dan mengakibatkan Jl. Diponegoro dibatasi untuk lalu lintas umum. Akhirnya terjadi pengambilalihan secara paksa, yang memicu perlawanan dari pendukung Megawati dan rakyat.

Penyerbuan tersebut dilakukan oleh pendukung Soerjadi, orang-orang bayaran, serta dibantu oleh aparat, baik dari kepolisian maupun TNI. Keterlibatan ini tidak pernah diakui oleh kedua instansi itu, sekalipun secara kasat mata, bisa dilihat dan disimpulkan benar-tidaknya dilakukan.

Komisi nasional Hak asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat 5 orang tewas, 149 orang luka-luka, dan 136 orang ditahan.

Usai kerusuhan itu, pemerintahan Order Baru seperti biasa melakukan rekayasa dan mencari kambing hitam. Tersebutlah aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) sebagai penggerak kerusuhan dan dianggap sebagai penganut dan penyebar ideologi komunis, dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Budiman Sudjatmiko Ketua PRD diganjar hukuman 13 tahun penjara.

Beberapa petinggi yang telah pensiun dan yang masih duduk dalam pemerintahan sekarang ini juga ikut disangka terlibat secara langsung pada tragedi itu. Tersebutlah nama-nama anggota pimpinan TNI saat itu diantaranya Brigjen Susilo Bambang Yudoyono (sekarang dipanggil Presiden SBY), Mayjen Sutiyoso, dan lain-lain.

Konon Megawati pun diduga kuat mengetahui rencana tersebut. Namun ia sengaja mendiamkannya untuk keuntungan politiknya.

Dokumen Komnas HAM menulis penyerbuan dilakukan oleh tentara yang menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Namun sayangnya, Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati tidak mampu memberi rasa keadilan pada masyarakat, terutama para korban. Karena aktor-aktor intelektual dan pemimpin di lapangan rata-rata tidak tersentuh atau divonis bebas. Inilah rumitnya penguraian sebuah teori konspirasi.

Peristiwa itupun mengendap sampai sekarang dan menyisakan tuntutan tanpa habis-habisnya untuk dibuka kembali supaya ada penyelesaian yang seadil-adil dan sejujur-jujurnya. Konon Megawati telah mengamanati Jokowi untuk menuntaskan kasus ini.

Penulis tidak yakin Jokowi akan membawanya ke pengadilan. Karena peristiwa itu sudah berlangsung 18 (delapan belas) tahun yang lalu. Membongkar kembali aktor peristiwa itu sama halnya dengan membangunkan harimau yang sedang tidur. Mereka akan ‘menggigit’ karena merasa terusik. Sehingga yang dibutuhkan adalah pengakuan pribadi dan exclusive, serta disusul dengan amnesti dan rekonsiliasi nasional.




Sumber : http://ift.tt/1tcDXGA

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz