Blusukan ala Presiden Jokowi
Tulisan dalam opini ini hanyalah satu dari sekian banyak alternatif kebijakan dalam menjalankan pemerintahan.
Inspektur Jenderal . Sekedar mengingatkan kembali bahwa sebenarnya semua kementerian dan lembaga negara memiliki pengawas di internal mereka. Para pengawas tersebut biasa disebut Inspektur Jenderal atau Irjen. Umumnya posisi Irjend ini dijabat oleh birokrat senior di kementerian tersebut atau seringkali pula dijabat oleh purnawirawan TNI/Polri. Tujuan adanya Irjend tersebut adalah untuk menjalankan pengawasan melekat terhadap seluruh program kerja kementerian. Dengan adanya pengawas maka diharapkan seluruh program kerja Eselon I bisa tepat guna dan bebas korupsi. Seharusnya, dengan adanya Irjend di setiap kementerian dan lembaga kita tidak perlu lagi mendapat kabar adanya temuan dan indikasi korupsi di Kementerian dan Lembaga, yang dirilis oleh BPK, BPKP, atau KPK. Dimana letak kesalahan konsepnya.? Sejalan dan sebanding juga dengan fungsi dan kinerja Inspektorat Daerah (Badan Pengawas Daerah) di level Provinsi/Kabupaten/Kota, yang seharusnya juga mampu meminimalisir penyelewengan penggunaan anggaran di daerah2. Pertanyaan lebih rumit lagi adalah: Bagaimana seorang PNS yang telah berkarier di sebuah kementerian selama berpuluh tahun dan tiba2 diangkat menjadi Inspektur Jenderal di kementerian tersebut, dan notabene menjadi pengawas atas junior-juniornya. Demikian pula halnya dengan seorang PNS yang tadinya berada di dinas teknis akan tetapi karena sesuatu hal bisa diangkat menjadi auditor di Inspektorat Kabupaten.? Bisa terjadi conflict of interest atau bisa juga kontraproduktif sebagai ajang pelampiasan balas dendam. Menjadi tidak efektif.
Blusukan Presiden Jokowi sudah tidak akan mungkin lagi efektif terhadap seluruh program kerja pemerintahan terutama yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota . Undang-Undang Otonomi Daerah telah membatasi wewenang seorang Presiden di Indonesia untuk terlalu mencampuri program kerja di daerah. Kalaupun seorang presiden mengancam akan mengurangi alokasi dana alokasi umum/dana perimbangan itupun tidak sepenuhnya efektif. Kenapa.? Justru semakin dikuranginya DAU maka pemerintah daerah jadi punya alasan pembenar untuk tidak menjalankan program kerja mereka. Dengan DAU yang sudah dikurangi, pemerintah daerah cukup mengamankan gaji PNS dan menjalankan program kerja seadanya. Kalau masyarakat protes, mereka para kepala daerah tersebut tinggal belikan tiket pesawat bagi para pendemo untuk unjuk rasa ke Istana Negara. Yang terjadi akhirnya adalah saling salah menyalahkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Inspektur Jenderal dan Blusukan Presiden Jokowi .
1. Seluruh Inspektur Jenderal Kementerian dan Lembaga harus berkantor di satu kantor bersama, dibawah kendali langsung Presiden Jokowi melalui Unit Kerja Presiden Pengawasan Pembangunan (UKP4) . Secara kepegawaian mereka tetap dibawah K/L akan tetapi kinerja dan laporan kerja mereka langsung masuk ke meja kerja Presiden lalu di-tembuskan kepada Menteri terkait. Sehingga diharapkan mudah melakukan pencegahan dini terhadap praktek2 yang tidak sesuai dengan koridor yang benar. Tidak melulu harus yang terindikasi korupsi dan penyelewengan. Presiden Jokowi jangan lupa, bahwa banyak juga program kerja K/L yang dilaksanakan secara jujur akan tetapi tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran. Sudah sangat banyak program bantuan bibit sapi yang diberikan kepada kelompok masyarakat di desa2, akan tetapi setelah 3 bulan kelompok tersebut bubar jalan karena memang keberadaan sebuah kelompok tani seringkali dipaksakan (rekan2 jurnalis seharusnya lebih tahu tentang kondisi ini). Jadi, banyak menteri yang berani berkata bahwa program mereka jujur dan tidak korupsi akan tetapi program tersebut tidak pernah diawasi lagi di lapangan. Khawatir terhadap SILPA Anggaran malah mencairkan program kerja yang menjurus kepada pemborosan dan kesia-siaan. Setelah sapi tersebut dijual para petani, hidup enak selama 1 tahun, tahun berikutnya kembali miskin dan menyalahkan entah siapa…
2. Reformasi birokrasi di Inspektur Jenderal . Ada baiknya, para alumni KPK untuk menjabat sebagai Irjen di K/L. Sehingga, sebagai orang baru bisa menghindari conflict of interest dengan para pejabat Eselon I dan Eselon II di K/L. Dan juga para aktivis anti korupsi seperti Transparancy Indonesia, ICW, dan lainnya bisa juga diberikan kepercayaan serupa. Jauh lebih murah biayanya dengan menarik langsung para aktivis tersebut ke dalam sistem ketimbang terus menjadi oposisi bagi K/L. Sama halnya juga dengan menugaskan aktivis WALHI sebagai Inspektorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup ketimbang berdebat terus dengan mereka tentang definisi kerusakan lingkungan sementara ‘anehnya’ kerusakan lingkungan tetap saja terjadi. Orang-orang muda yang masih memiliki integritas. Dan kalaupun mereka ternyata tidak berprestasi, maka dengan mudah dapat diganti dan diberhentikan karena mereka bukan PNS.
3. Sekali untuk selamanya . Maksudnya adalah sekali seorang PNS sudah menjadi birokrat di Inspektorat Jenderal K/L maka selamanya yang bersangkutan berkarier di tempat tersebut. Dengan demikian, tertutup juga kemungkinan PNS dari K/L yang lain pindah tugas untuk masuk ke Inspektorat Jenderal. Bahkan juga dari alumni TNI/Polri, yang tentu saja harus belajar cukup lama untuk dapat memahami liku2 program di kementerian. Di daerah provinsi/kabupaten/kota, juga seharusnya juga diterapkan policy yang sama. PNS auditor di badan pengawas daerah (Bawasda/Inspektorat) juga selamanya haruslah berada di instansinya tersebut untuk menjaga independensi. Yang banyak terjadi di daerah malahan Inspektorat menjadi salah satu instansi ‘elit’, dan menjadi ‘dambaan’ para PNS. Tanya kenapa.?
Di beberapa daerah, justru para auditor BPKP banyak yang diperbantukan dan dikontrak selama waktu tertentu sebagai Kepala Inspektorat Daerah. Ini mengindikasikan sangat sulit menghilangkan sikap ewuh pekewuh antarPNS di daerah, apalagi kita tahu sendiri bagaimana sejarah kelam proses rekrutmen PNS maupun BUMN di Indonesia. Tidak jarang kita ketemu Bapak, Ibu, Anak, dan Menantu menjadi PNS di satu Kementerian/Lembaga, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Demikianlah opini dari sana dengan harapan agen2 perubahan di Tim “West Wing” Presiden Jokowi bisa mengefektifkan blusukan bapak Presiden. Bermain di sistem dan kebijakan. Jadi setiap kali Presiden Jokowi blusukan, rakyat tinggal menyambut dengan sukacita dan tidak perlu direpotkan lagi dengan segala intrik kongkalikong abrah kedabra. Blusukan menjadi ajang temu kangen dan curhat2 kecil. Kekhawatiran sudah ditinggal jauh dibelakang. Banyak sekali akademisi ahli yang kita miliki akan tetapi jauh lebih banyak yang tidak mereka ketahui khususnya yang skala kecil2 akan tetapi jumlahnya jutaan. Lain di meja lain di lapangan.
Sistem telah berhasil bekerja secara baik lewat Reformasi Birokrasi di Inspektorat Jenderal Kementerian dan Lembaga diharapkan menjadi modal dasar blusukan Presiden kita semua, Presiden Jokowi.
Sumber : http://ift.tt/1rMLVEf
Inspektur Jenderal . Sekedar mengingatkan kembali bahwa sebenarnya semua kementerian dan lembaga negara memiliki pengawas di internal mereka. Para pengawas tersebut biasa disebut Inspektur Jenderal atau Irjen. Umumnya posisi Irjend ini dijabat oleh birokrat senior di kementerian tersebut atau seringkali pula dijabat oleh purnawirawan TNI/Polri. Tujuan adanya Irjend tersebut adalah untuk menjalankan pengawasan melekat terhadap seluruh program kerja kementerian. Dengan adanya pengawas maka diharapkan seluruh program kerja Eselon I bisa tepat guna dan bebas korupsi. Seharusnya, dengan adanya Irjend di setiap kementerian dan lembaga kita tidak perlu lagi mendapat kabar adanya temuan dan indikasi korupsi di Kementerian dan Lembaga, yang dirilis oleh BPK, BPKP, atau KPK. Dimana letak kesalahan konsepnya.? Sejalan dan sebanding juga dengan fungsi dan kinerja Inspektorat Daerah (Badan Pengawas Daerah) di level Provinsi/Kabupaten/Kota, yang seharusnya juga mampu meminimalisir penyelewengan penggunaan anggaran di daerah2. Pertanyaan lebih rumit lagi adalah: Bagaimana seorang PNS yang telah berkarier di sebuah kementerian selama berpuluh tahun dan tiba2 diangkat menjadi Inspektur Jenderal di kementerian tersebut, dan notabene menjadi pengawas atas junior-juniornya. Demikian pula halnya dengan seorang PNS yang tadinya berada di dinas teknis akan tetapi karena sesuatu hal bisa diangkat menjadi auditor di Inspektorat Kabupaten.? Bisa terjadi conflict of interest atau bisa juga kontraproduktif sebagai ajang pelampiasan balas dendam. Menjadi tidak efektif.
Blusukan Presiden Jokowi sudah tidak akan mungkin lagi efektif terhadap seluruh program kerja pemerintahan terutama yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota . Undang-Undang Otonomi Daerah telah membatasi wewenang seorang Presiden di Indonesia untuk terlalu mencampuri program kerja di daerah. Kalaupun seorang presiden mengancam akan mengurangi alokasi dana alokasi umum/dana perimbangan itupun tidak sepenuhnya efektif. Kenapa.? Justru semakin dikuranginya DAU maka pemerintah daerah jadi punya alasan pembenar untuk tidak menjalankan program kerja mereka. Dengan DAU yang sudah dikurangi, pemerintah daerah cukup mengamankan gaji PNS dan menjalankan program kerja seadanya. Kalau masyarakat protes, mereka para kepala daerah tersebut tinggal belikan tiket pesawat bagi para pendemo untuk unjuk rasa ke Istana Negara. Yang terjadi akhirnya adalah saling salah menyalahkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Inspektur Jenderal dan Blusukan Presiden Jokowi .
1. Seluruh Inspektur Jenderal Kementerian dan Lembaga harus berkantor di satu kantor bersama, dibawah kendali langsung Presiden Jokowi melalui Unit Kerja Presiden Pengawasan Pembangunan (UKP4) . Secara kepegawaian mereka tetap dibawah K/L akan tetapi kinerja dan laporan kerja mereka langsung masuk ke meja kerja Presiden lalu di-tembuskan kepada Menteri terkait. Sehingga diharapkan mudah melakukan pencegahan dini terhadap praktek2 yang tidak sesuai dengan koridor yang benar. Tidak melulu harus yang terindikasi korupsi dan penyelewengan. Presiden Jokowi jangan lupa, bahwa banyak juga program kerja K/L yang dilaksanakan secara jujur akan tetapi tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran. Sudah sangat banyak program bantuan bibit sapi yang diberikan kepada kelompok masyarakat di desa2, akan tetapi setelah 3 bulan kelompok tersebut bubar jalan karena memang keberadaan sebuah kelompok tani seringkali dipaksakan (rekan2 jurnalis seharusnya lebih tahu tentang kondisi ini). Jadi, banyak menteri yang berani berkata bahwa program mereka jujur dan tidak korupsi akan tetapi program tersebut tidak pernah diawasi lagi di lapangan. Khawatir terhadap SILPA Anggaran malah mencairkan program kerja yang menjurus kepada pemborosan dan kesia-siaan. Setelah sapi tersebut dijual para petani, hidup enak selama 1 tahun, tahun berikutnya kembali miskin dan menyalahkan entah siapa…
2. Reformasi birokrasi di Inspektur Jenderal . Ada baiknya, para alumni KPK untuk menjabat sebagai Irjen di K/L. Sehingga, sebagai orang baru bisa menghindari conflict of interest dengan para pejabat Eselon I dan Eselon II di K/L. Dan juga para aktivis anti korupsi seperti Transparancy Indonesia, ICW, dan lainnya bisa juga diberikan kepercayaan serupa. Jauh lebih murah biayanya dengan menarik langsung para aktivis tersebut ke dalam sistem ketimbang terus menjadi oposisi bagi K/L. Sama halnya juga dengan menugaskan aktivis WALHI sebagai Inspektorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup ketimbang berdebat terus dengan mereka tentang definisi kerusakan lingkungan sementara ‘anehnya’ kerusakan lingkungan tetap saja terjadi. Orang-orang muda yang masih memiliki integritas. Dan kalaupun mereka ternyata tidak berprestasi, maka dengan mudah dapat diganti dan diberhentikan karena mereka bukan PNS.
3. Sekali untuk selamanya . Maksudnya adalah sekali seorang PNS sudah menjadi birokrat di Inspektorat Jenderal K/L maka selamanya yang bersangkutan berkarier di tempat tersebut. Dengan demikian, tertutup juga kemungkinan PNS dari K/L yang lain pindah tugas untuk masuk ke Inspektorat Jenderal. Bahkan juga dari alumni TNI/Polri, yang tentu saja harus belajar cukup lama untuk dapat memahami liku2 program di kementerian. Di daerah provinsi/kabupaten/kota, juga seharusnya juga diterapkan policy yang sama. PNS auditor di badan pengawas daerah (Bawasda/Inspektorat) juga selamanya haruslah berada di instansinya tersebut untuk menjaga independensi. Yang banyak terjadi di daerah malahan Inspektorat menjadi salah satu instansi ‘elit’, dan menjadi ‘dambaan’ para PNS. Tanya kenapa.?
Di beberapa daerah, justru para auditor BPKP banyak yang diperbantukan dan dikontrak selama waktu tertentu sebagai Kepala Inspektorat Daerah. Ini mengindikasikan sangat sulit menghilangkan sikap ewuh pekewuh antarPNS di daerah, apalagi kita tahu sendiri bagaimana sejarah kelam proses rekrutmen PNS maupun BUMN di Indonesia. Tidak jarang kita ketemu Bapak, Ibu, Anak, dan Menantu menjadi PNS di satu Kementerian/Lembaga, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Demikianlah opini dari sana dengan harapan agen2 perubahan di Tim “West Wing” Presiden Jokowi bisa mengefektifkan blusukan bapak Presiden. Bermain di sistem dan kebijakan. Jadi setiap kali Presiden Jokowi blusukan, rakyat tinggal menyambut dengan sukacita dan tidak perlu direpotkan lagi dengan segala intrik kongkalikong abrah kedabra. Blusukan menjadi ajang temu kangen dan curhat2 kecil. Kekhawatiran sudah ditinggal jauh dibelakang. Banyak sekali akademisi ahli yang kita miliki akan tetapi jauh lebih banyak yang tidak mereka ketahui khususnya yang skala kecil2 akan tetapi jumlahnya jutaan. Lain di meja lain di lapangan.
Sistem telah berhasil bekerja secara baik lewat Reformasi Birokrasi di Inspektorat Jenderal Kementerian dan Lembaga diharapkan menjadi modal dasar blusukan Presiden kita semua, Presiden Jokowi.
Sumber : http://ift.tt/1rMLVEf