Suara Warga

Siaga Merah (1998-2014)

Artikel terkait : Siaga Merah (1998-2014)

Ini adalah kondisi krisis ekonomi hampir mirip dengan Mei 1998. Penulis pada waktu itu masih kelas 2 SD, mungkinyang duduk di kelas 6 kelahiran 1983-1985 masih merasakan kengerian krisis ekonomi 1998.

Pada waktu itu anak-anak SD tahu (yang tahu dan mendengar berita) kalau krisis di depan mata, dan Presiden Soeharto terpaksa tanda tangan kredit di depan IMF (International Monetary Funds) sementara itu direktur IMF di sisi kanan foto memandang Presiden Soeharto.

Belum lagi ada saja creditor dari Creditor Groups of Indonesia (CGI) yang dengan sigap menghitung jumlah bantuan kepada Indonesia. Di samping itu kenaikan BBM menjadi pemicu (regulatif) disusul kerusuhan Mei 1998.

Sementara itu bunga hutang dalam negeri yang terus menanjak kian membuat Indonesia kesulitan untuk surplus, bahkan APBN selalu dirancang defisit di awal. Rekan-rekan yang tahu Mei 1998 selalu belajar untuk melakukan ekspor komoditas olahan serta teknologi untuk menambah devisa negara, devisa habis karena impor.

Kami selalu diingatkan akan jalur evakuasi keluar kota, dan bahkan dengan sadar, tahu bahwa Indonesia tidak punya minyak, buktinya BBM naik. Kemudian kami juga diajarkan bahwa kita harus menyimpan uang dan seluruh barang-barang kebutuhan pokok sebanyak mungkin.

Kami juga belajar, sebagian dari kami, untuk membuat riset tentang tambang alternatih yang bisa dikonversi menjadi minyak bumi dan ramah pada mesin bensin dan mesin solar, konon batu bara juga bisa dan ada juga minyak serpih. Kegagalan distribusi Bahan Bakar Gas masih ada dalam ingatan anak-anak SD, namun barangkali bisa juga dikonversi setara dengan bensin dan mesin solar.

Ilmu sosial juga mengajarkan kami untuk mampu menciptakan kantor efisien, layaknya virtual offices dan robotik, dimana semuanya menjadi murah dan bisa produksi masal. Pertanian dengan green house (rumah kaca) juga diharapkan mampu menanam tanaman sepanjang musim, jika memungkinkan berhektar-hektar sawah (jutaan hektar) dikonversi menjadi green house.

Kami tidak akan menyalahkan produsen mobil bensin/solar di masa lalu dan sepeda motor bensin. Kami hanya melaksanakan kata-kata dari Presiden B.J. Habbie. Ingat bahwa besi 300 kilogram jika diolah dengan teknologi hingga menjadi pesawat terbang, keuntungannya bisa untuk beli beras.

Anak-anak SMA/SMK yang mulai menata hidup di waktu tahun 2005-2014 segera memulai penelitian-penelitian untuk menjaga agar Indonesia tidak kurang bensin/solar dan bisa memperoleh cadangan makanan.

Zaman Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (periode pertama) dan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono (periode kedua) boleh dikata tidak ada yang tertarik politik, ada sebagian kecil namun setelah ditanya baik-baik ternyata keluarganya tidak cerita tentang kondisi Mei 1998.

Penulis sendiri sempat berada di tengah demonstran, dan waktu itu masih kelas dua SD. Penulis masih ingat ada orang-orang yang tidak jelas, membawa spanduk dan teriak-teriak naik truk sambil membawa pengeras suara.

Kami juga (sebagian) masih menerapkan siskamling (sistim keamanan lingkungan) baik darat laut dan udara (termasuk dunia siber), bukan tidak percaya TNI-POLRI-Komponen Cadangan-ASN (Aparatur Sipil Negara) tapi itu adalah bagian dari Bela Negara.

Kondisi untuk siaga merah (Red-Alret) serta persiapan mobilisasi untuk Bela Negara saya rasa tetap berlaku sejak zaman Presiden Soeharto akhir, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.




Sumber : http://hankam.kompasiana.com/2014/12/28/siaga-merah-1998-2014-693963.html

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz