Suara Warga

Perppu, Menyelesaikan Kegentingan dengan Kegentingan Baru

Artikel terkait : Perppu, Menyelesaikan Kegentingan dengan Kegentingan Baru

Ketika peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dibentuk berdasarkan subjektivitas Presiden dalam melihat kegentingan dari suatu keadaan di mana keadaan tersebut telah memaksa Presiden untuk membuat perppu, maka sudah seharusnya pula pada saat pembahasan di DPR (untuk dinyatakan diterima atau ditolak), perppu tersebut diuji dan dinilai dengan agenda “pembuktian” kegentingan dan keterpaksaan Presiden yang dihadapi Presiden.

Pada dasarnya ada tiga pertanyaan mendasar ketika sebuah perppu dibahas dalam sidang DPR. Pertama, keadaan genting apa yang dihadapi Presiden selaku pemimpin penyelenggaraan negara? Kedua, apakah keadaan genting itu memaksa dan mengharuskan dibuatnya suatu perppu? Ketiga, apakah dengan adanya perppu maka keadaan genting itu dapat seketika menjadi keadaan normal? Ketiga pertanyaan itu sesungguhnya bisa terjawab cukup dengan membaca konsideran menimbang dalam suatu perppu dan bagian penjelasan umumnya.

Lalu, ketika semua hal tersebut bisa ditemukan landasannya dalam perppu terkait, maka untuk apa ada pembahasan di DPR? Bukankah pembahasan tersebut hanya akan berujung kepada dua pilihan, perppu disetujui atau tidak disetujui (Pasal 22 UUD NRI 1945). Dengan kata lain, tidak ada pilihan untuk “menerima dengan perubahan”. Karena yang dipersoalkan adalah bukan mengenai bagian per bagian dalam perppu, melainkan melihat perppu secara keseluruhan, baik formil maupun materil.

Kita pun harus membedakan perspektif kita terhadap perppu ketika itu sudah dihadapkan dalam sidang DPR. Di satu sisi, ia merupakan sebuah rancangan undang-undang (RUU tentang Penetapan Perppu menjadi UU), di sisi yang lain ia merupakan sebuah peraturan perundang-undangan yang secara sah berlaku mengikat sebagai hukum positif, sebelum dan pada saat ia dibahas. Sebagai RUU, ia berbeda dengan RUU pada umumnya. Perbedaannya yang pertama terletak pada tertutupnya peluang untuk merivisi pasal-pasal tertentu dalam RUU tersebut. Kedua, Presiden secara etis tidak lagi dimintai persetujuan mengingat perppu tersebut adalah buatan Presiden semata. Sebagai peraturan perundang-undangan, ia akan tetap berlaku sampai pada saat ia dicabut. Artinya, meski RUU penetapan perppu tersebut tidak disetujui, namun belum ada pencabutan resmi terhadapnya, maka ia masih sah secara hukum. Hal ini mengingat bahwa Pasal 22 ayat (3) hanya sebatas memerintahkan pencabutan perppu yang tidak disetujui DPR, tetapi tidak secara tegas menyatakan akibat hukumnya. Artinya, akan ada tenggang waktu kritis antara persetujuan DPR dengan pencabutan perppu, karena dilakukan dalam sidang yang berbeda (kali ini dengan RUU tentang Pencabutan Perppu). Waktu kritis tersebut akan bertambah kritis jika Presiden justru menganggap bahwa penolakan perppu malah menggentingkan keadaan yang sebelumnya sudah genting, menjadi lebih memaksa, dan oleh karenanya tetap mengambil langkah hukum untuk membuat perppu-perppu berikutnya.

Oleh karena itu, perlu kiranya ada perenungan dan perumusan ulang mengenai pemberlakuan perppu yang tujuannya untuk normalisasi keadaan. Baik di level konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya.




Sumber : http://ift.tt/1BI5PUp

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz