Suara Warga

Mengembalikan Kejayaaan Maritim (di muat Magelang Ekspres, 12 Desember 2014)

Artikel terkait : Mengembalikan Kejayaaan Maritim (di muat Magelang Ekspres, 12 Desember 2014)


1418605633493553618“Indonesia mulai menunjukkan ketegasan kepada nelayan asing pencuri ikan. Sebanyak tiga kapal asal Vietnam diledakkan, di Laut Natuna, Kepulauan Riau. Sementara itu, di Sulawesi Utara, polisi membakar tiga kapal nelayan asal Filipina,”(Kompas, 6/12/2014).


Susi Pudjiastuti, yang baru beberapa bulan dilantik, sudah langsung membuat geger jagad politik di bangsa ini. Dari kontroversi tentang pendidikan formalnya (sma negeri 1 yogyakarta-belum rampung), hingga komentar-komentarnya yang cenderung berani dan ekstrim, kini bertemu dengan kasunyatan (kenyataan).


Presiden Jokowi, yang bermaklumat, akan menenggelamkan 10-20 kapal (dulu), guna membuat “mikir” para kapal penyelundup; (usul awal memang dari sang Menteri) diamini sepenuh-penuhnya. Tidak perlu menunggu tempo terlalu lama, hampir di semua media, ledakan dan berkobarnya api ditengah laut–kapal penyelundup yang terbakar–menjadi pigura tegas, laku pemerintah menjaga kedaulatan negara. Sebuah sikap yang sudah lama di kangeni seluruh rakyat. Berani!


Sejarah Maritim


Sebuah lagu popular, yang berjudul : nenek moyangku orang pelaut! Ketika masih sekolah dasar, sangat fasih kita lantunkan. Walau waktu itu, saya masih ingusan, belum terlalu mengerti apa maksud sesungguhnya lagu itu–entah kenapa–tiap melantangkannya didepan kelas, guru dan kawan-kawan, ada setruman rasa mongkok (bangga), yang menjalar naik dari kaki, terus keatas, dan berkumpul, mengembung didada. Bagai melayang.


Masa ke-emasan bangsa maritim kita, ternyata meninggalkan Jejak tapak yang tak tersangkal. Gambar perahu layar dengan tiang-tiang layar yang kekar, telah memakai layar segi empat yang bidang, bisa kita jumpai di situs prasejarah gua-gua : Pulau Muna, Seram dan Arguni; juga terpatri deras, pada relief dinding Candi maha karya dunia : Borobudur.


Kerajaan Sriwijaya (683 M – 1030 M), diyakini sebagai kerajaan maritim pertama dan terbesar di nusantara; hingga luas pengaruhnya meliputi Asia Tenggara, tak lain tak bukan, di sokong armada laut yang super kuat. Disusul maha patih Gadjah Mada (Kerajaan Madjapahit/1293-1478 M ), dengan sumpah “Amukti Palapa”, melantik Laksamana Nala sebagai Jaladimantri , me ngepalai kekuatan laut Kerajaan , hingga menaklukan jauh diluar nusantara. Tidak main-main!


Mereka menggengam erat jalur perdagangan dan tegas menarik cukai atas penggunaan laut. Buah nyata persenyawaan gabungan : ke lihaian manajemen transportasi laut, armada niaga dan armada militer yang terlatih. Tidak heran, bila kemudian disegani negara-negara tetangga. Jika kemudian, kemegahan kerajaaan maritim tadi, berangsur-angsur menipis dan akhirnya lenyap; selain sebuah keniscayaan tergerus arus pusaran sejarah, juga karena para negara kolonial (yang menjajah bangsa ini), berusaha melamurkan dan menyesatkan arah pendulum rakyat, agar memunggungi laut. Dan, mereka berhasil.


Sindikat Mafia Laut


Wilayah perairan Indonesia sebesar 5,8 juta km2, terdiri dari 0,3 juta km2 laut teritorial, 2,8 juta km2 perairan nusantara dan 2,7 km2 zona ekonomi ekslusif. Dua pertiga (2/3) wilayah -nya berupa laut , dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 dan garis pantai sepanjang 81.000 km ; potensi sumber daya pantai dan laut melimpah ruah, baik yang non hayati ( bahan tambang dan energi ) maupun hayati ; tentu membuat negara lain, menjadi kemecer , bernafsu, dan menelan air liur.


Dan kemudian, yang menjadi dada saya makin tertindih sesak, adalah sebuah fakta, bahwa kejahatan kelautan masif melibatkan : oknum aparat penegakan hukum, pejabat, bahkan mantan pejabat di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan!


Miris bukan? Ya, sejarah kembali di putar ulang, selalu ada pengkhianat, musuh dalam selimut. Melego kekayaan bangsa, untuk syahwat pribadi dan golongan; seraya menutup mata dan telinga, abai jeritan dan lengkingan anak nelayan kecil, yang lapar. Entah apa yang meracuni benak mereka?


Pemerintahan Jokowi-Jk, dengan senopati ulung Susi Pudjiastuti, sungguh-sungguh nyata–terang benderang–berperang adu arep, melawan sindikat mafia laut yang sangat perkasa dan (tentu), sudah berurat akar. Menyitir kata seorang Radhar Panca Dahana : “Pemerintahan ini tidak hanya bekerja, bekerja dan bekerja; namun harus benar-benar berkeringat, ya, sungguh berkeringat.” Kalau tidak demikian, tentulah pemerintahan sebelumnya, pagi-pagi buta, sudah membumikan apa yang ia koarkan : menjadi panglima terdepan dalam penegakan hukum. Sayang, meninggalkan wacana (saja).


Disamping menegakkan kedaulatan dari tangan cemar, negara tetangga pengincar; juga wajib bersih-bersih (cuci gudang) di markas sendiri. Menggelayut di angan–bila sungguh semua yang terlibat ditindak tegas–akan bergerombol orang, saling tarik-menarik, seret-menyeret, karena kesumat, tidak mau dihukum sendirian.


Penenggelaman kapal maling, moratorium izin kapal , penanganan penangkapan ikan ilegal , Pengadilan Perikanan, dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) pemberantasan Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing–dengan menggandeng mantan ketua PPATK–nampaknya gebrakan berantai, yang cukup berhasil menarik garis diantara dua pipi rakyat, mesem.


Sudah amat lama sekali, negara-bangsa ini, keblinger, kehilangan identitas. Sibuk terus mengkorek-korek daratan, padahal, harta karun meruah, justru dibelakang punggung. Jalesveva Jayamahe (di Lautan kita jaya), kudu terus didengung-dengungkan, dihentak-hentakan, didentam-dentamkan, disegala penjuru mata angin; agar negara-bangsa maritim ini, segera siuman.




(*) Penulis : Agung Pramudyanto


Pengamat dan Pemerhati Sosial Politik Kemasyarakatan










Sumber : http://ift.tt/12Qke4I

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz