Waspada Senayansentrisme
Gejolak politik Indonesia seakan tidak mempunyai episode akhir. Euforia politik yang diwacanakan dan diperdebatkan para politisi Senayan sehingga terjadi dualisme kepemimpinan mencirikan negeri ini sedang kalut akan identitas perpolitikannya. Ironisnya kekalutan ini bukan disebabkan karena kepentingan rakyat melainkan sikap arogansi dari aliansi-aliansi politik yang mementingkan bargaining position dan bargaining politic yakni sikap tawar-menawar mengenai masalah politik dan pembagian kedudukan dan kekuasaan. Fanatisme partai dan koalisi menjadikan Senayan sebagai gelanggang konspirasi antar politisi yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasrat partai maupun koalisinya.
Salah satu contoh fanatisme koalisi dimana para politisi Senayan bermanuver merancang perpu permilihan tidak langsung. Ramai-ramai berdebat dengan wacana dan argumen-argumen yang kedengarannya dangkal tidak berbobot. Mana mungkin suatu persoalan diselesaikan dengan membuat undang-undang baru? Apakah undang-undang itu sendiri dapat menjamin kestabilan dan kebersihan politik di negeri ini? Bukankah pemilihan tidak langsung akan melahirkan bentuk demokrasi mayoritarian/koalisi besar dan mengabaikan suara minoritas? Justru wacana perpu pemilihan tidak langsung dengan dalih pemborosan biaya dan rawan kecurangan sebagai bentuk minimnya ide dan kurangnya daya pikir para politisi. Sebab gagasan demikian hanyalah utopia belaka jika tidak memberlakukan sanksi ketat bagi partai maupun politisi yang melanggar kode etik berdemokrasi. Ada kemunduran cara berpikir disini, bukannya mencari solusi untuk memangkas sistem buruk selama ini melainkan merumuskan perpu baru. Seakan-akan perpu baru dapat menjawabi substansi permasalahan.
Apapun dalih dan orasi politik Senayan, masyarakat kini dihadapkan pada sikap harap-harap cemas, jangan-jangan keputusan perpu pemilihan tidak langsung disahkan secara devenitif. Jika ini terjadi maka peta politik dan demokrasi Indonesia akan berubah. Konsekuensinya akan adanya Senayansetris yang mana segala keputusan memilih figur pemimpin negeri ini hanya menjadi hak wakil-wakil rakyat di Senayan. Dan tentunya kapabilitas politik para politisi perlu dipertanyakan. Bagaimana mereka dapat menyerap, mendengar dan menyampaikan aspirasi rakyat? Disisi lain masyarakat perlu waspada terhadap gejala Senayansentrisme. Bukan tidak mungkin akan terjadi low politics dan nepostic corruption yang hanya berjuang untuk kelompok partai tertentu dan nepotisme kekeluargaan. Indonesia sudah memiliki catatan sejarah politik yang demikian. Yang ujung-ujungnya akan melahirkan low trust society maupun contempt of parliament yakni rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah maupun parlement.
Para politisi seharusnya kembali menyelami makna asali demokrasi yakni pemilihan yang kompetitif oleh semua warga untuk memilih figur-figur untuk menduduki jabatan publik, dimana semua orang memiliki hak-hak politis yang sama. Warga turut berpartisipasi dalam menentukan masa depan bangsa. Sehingga kekuasaan yang dimiliki orang-orang Senayan tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Supremasi pemerintah adalah supremasi yang didelegasikan yang berpegang pada kepercayaan bahwa pemerintah menikmati otoritas politik yang penuh sepanjang kepercayaan itu di pertahankan dan bahwa keabsahan atau hak pemerintah untuk memeritah dapat ditarik kembali jika rakyat menilai hal itu perlu dan patut dilakukan yakni jika hak-hak individu dan tujuan-tujuan masyarakat di lecehkan secara sistematis (David Held, Democracy and global order)
Sumber : http://ift.tt/10JfUD8
Salah satu contoh fanatisme koalisi dimana para politisi Senayan bermanuver merancang perpu permilihan tidak langsung. Ramai-ramai berdebat dengan wacana dan argumen-argumen yang kedengarannya dangkal tidak berbobot. Mana mungkin suatu persoalan diselesaikan dengan membuat undang-undang baru? Apakah undang-undang itu sendiri dapat menjamin kestabilan dan kebersihan politik di negeri ini? Bukankah pemilihan tidak langsung akan melahirkan bentuk demokrasi mayoritarian/koalisi besar dan mengabaikan suara minoritas? Justru wacana perpu pemilihan tidak langsung dengan dalih pemborosan biaya dan rawan kecurangan sebagai bentuk minimnya ide dan kurangnya daya pikir para politisi. Sebab gagasan demikian hanyalah utopia belaka jika tidak memberlakukan sanksi ketat bagi partai maupun politisi yang melanggar kode etik berdemokrasi. Ada kemunduran cara berpikir disini, bukannya mencari solusi untuk memangkas sistem buruk selama ini melainkan merumuskan perpu baru. Seakan-akan perpu baru dapat menjawabi substansi permasalahan.
Apapun dalih dan orasi politik Senayan, masyarakat kini dihadapkan pada sikap harap-harap cemas, jangan-jangan keputusan perpu pemilihan tidak langsung disahkan secara devenitif. Jika ini terjadi maka peta politik dan demokrasi Indonesia akan berubah. Konsekuensinya akan adanya Senayansetris yang mana segala keputusan memilih figur pemimpin negeri ini hanya menjadi hak wakil-wakil rakyat di Senayan. Dan tentunya kapabilitas politik para politisi perlu dipertanyakan. Bagaimana mereka dapat menyerap, mendengar dan menyampaikan aspirasi rakyat? Disisi lain masyarakat perlu waspada terhadap gejala Senayansentrisme. Bukan tidak mungkin akan terjadi low politics dan nepostic corruption yang hanya berjuang untuk kelompok partai tertentu dan nepotisme kekeluargaan. Indonesia sudah memiliki catatan sejarah politik yang demikian. Yang ujung-ujungnya akan melahirkan low trust society maupun contempt of parliament yakni rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah maupun parlement.
Para politisi seharusnya kembali menyelami makna asali demokrasi yakni pemilihan yang kompetitif oleh semua warga untuk memilih figur-figur untuk menduduki jabatan publik, dimana semua orang memiliki hak-hak politis yang sama. Warga turut berpartisipasi dalam menentukan masa depan bangsa. Sehingga kekuasaan yang dimiliki orang-orang Senayan tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Supremasi pemerintah adalah supremasi yang didelegasikan yang berpegang pada kepercayaan bahwa pemerintah menikmati otoritas politik yang penuh sepanjang kepercayaan itu di pertahankan dan bahwa keabsahan atau hak pemerintah untuk memeritah dapat ditarik kembali jika rakyat menilai hal itu perlu dan patut dilakukan yakni jika hak-hak individu dan tujuan-tujuan masyarakat di lecehkan secara sistematis (David Held, Democracy and global order)
Sumber : http://ift.tt/10JfUD8