Suara Warga

Rekayasa Administrasi Piala Adipura Kota Depok 2015

Artikel terkait : Rekayasa Administrasi Piala Adipura Kota Depok 2015

Terkadang karena ingin mendapatkan piala adipura di Kota Depok, Penggusuran atas nama Adipura dilakukan tanpa mengindahkan rasa kemanusian dan keadilan. Seharusnya tanpa harus memaksakan diri untuk meraih piala adipura, alangkah bijaknya jika sebelumnya langkah pertama yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok adalah dengan menyiapkan terlebih dahulu pusat usaha lokal yang layak dan terjamin pemasarannya sehingga ketika merelokasi warga tentunya tidak mematikan mata pencarian warga misalkan kasus penggusuran pedagang kakli lima di dalam areal terminal..



Apakah ambisi yang terlalu dipaksakan ini akibat Kota Depok pernah mendapat predikat sebagai Kota paling kotor di Indonesia. Padahal sebelumnya sudah ratusan miliar dana rakyat telah dikucurkan untuk membangun Sistem Pengolahan dan Pengelolaan Sampah Terpadu (Sipesat) dan Pembangunan puluhan Unit Pengolahan Sampah (UPS). Faktanya berdasarkan Data Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) tahun 2014, dari 45 bangunan UPS yang dibangun, hanya 20 UPS yang beroperasi, selebihnya terbengkalai, bahkan mesin pengolahan sampah yang sudah ditender pun kini banyak dalam keadaan rusak.



Tak mau kehilangan muka akibat gagalnya program Sipesat dan UPS, Nur Mahmudi Ismail dengan bangganya mengatakan bahwa Depok telah terbebas dari Kota Terkotor di Indonesia karena telah mendapatkan Anugrah piagam Adipura tahun 2013. Sebagaimana diketahui bahwa Setiap tahunnya Kementerian Lingkungan Hidup menyerahkan penghargaan 18 Nominator Kalpataru, 39 kota penerima sertifikat Adipura, 109 kota penerima Anugerah Adipura dan 19 kota penerima plakat Adipura, 98 penerima penghargaan Adiwiyata dan 20 plakat kepada penyusun Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) terbaik yang terdiri dari tiga provinsi dan 17 kabupaten serta satu kota yang berhak atas Piala Adipura yang merupakan penghargaan tertinggi untuk kota terbersih di seluruh Indonesia.



Kalau melihat kategori tersebut, Nur Mamhudi Ismail sepertinya telah melakukan pembohongan publik, ternyata Depok hanya mendapat Anugerah Piagam Adipura bersama 109 kota lainnya. Itu berarti Depok hanya sebagai peserta aktif mengikuti kegiatan Adipura, dan hanya naik tiga peringkat dari sebelumnya sebagai kota terkotor dari 109 yang dinilai sebagai kota yang masih kotor.



Piagam yang didapat oleh Kota Depok ini, layaknya Piagam yang diberikan oleh Panitia tujuh belas agustus pada setiap peserta lomba, walaupun peserta tersebut tidak mendapatkan juara setiap peserta lpmba pasti mendapatkan piagam. Lalu apa yang harus dibanggakan oleh Nur Mahmudi Ismail, kalau faktanya Kota Depok telah membayar ratusan milyar rupiah hanya untuk kebohongan mendapatkan piagam penghargaan sebagai peserta lomba.



Kira-kira Kebohongan apalagi yang diduga akan dilakukan oleh Nur Mahmudi Ismail menjelang penetapan piala adipura tahun 2015 oleh Kementerian Lingkungan Hidup ? Apalagi publik sudah tahu bahwa kebohongan semu juga sering terjadi dalam penilaian yang dilakukan oleh Tim Penilai Adipura.



Kenapa dikatakan penuh dengan kebohongan ? Walaupun dalam ketentuan sudah diatur tentang Kode Etik Penyelenggara Program Adipura, Namun masih banyak pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Tim Penilai Adipura. Publik tentu masih ingat, bagaimana terungkapnya kasus suap yang dilakukan oleh Walikota Bekasi agar dapat meraih Piala Adipura.



Rekayasa kotor seperti ini sudah lazim dan bukan rahasia umum lagi di masyarakat, terutama terkait dengan penilaian terhadap sebuah Kota/Kabupaten atau Propinsi yang ingin mendapatkan piala Adipura. Banyak di daerah-daerah yang sebenarnya tidak layak mendapatkan piala Adipura tapi justru mendapatkan Piala Adipura. Semua terjadi karena penilaian Adipura yang dilakukan oleh Tim yang ditunjuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup itu hanyalah sebuah penilaian yang semu, penuh dengan kebohongan.



Saat ini menjelang penilaian Adipura yang dilakukan oleh Tim Penilai Adipura yang dibentuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Pemerintah Kota Depok terlihat begitu sibuk, segala macam kemampuan untuk menciptakan Kota menjadi bersih dikerahkan oleh seluruh komponen yang ada, mulai dari tukang sapu sampai kepada para satuan kerja perangkat daerah juga dianjurkan agar mendukung pelaksanaan adipura tersebut.



Bukan hanya persiapan skil dan tenaga saja yang dikerahkan, pendanaan juga disiapkan untuk mendapatkan gelar Adipura itu. Belum lagi gaji buruh lepas tukang sapu juga harus dibayar sebelum jatuh tempo. Belum lagi pudding untuk kesehatan para buruh yang dipacu melaksanakan kerja rodi juga harus dijaga. Pendek kata, ambisi Kota Depok yang ingin mendapatkan piala adipura harus siap dengan dana yang jumlahnya bukan sedikit. Belum lagi dana untuk Tim Penilai Adipura, karena bagaimanapun juga tim penilai yang datang untuk melakukan evaluasi juga harus diservis. Bahasa di servis terhadap tim penilai Adipura inilah yang harus diwaspadai terjadinya kebohongan semu. Kebohongan ini akan semakin terwujud jika tim penilai nantinya memberikan penilaian yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan kenyataan.



Untuk memantau terjadinya dugaan kebohongan akibat kongkalikong ini sebenarnya sangat mudah. Apalagi kriteria penilaiannya sudah diperketat, bukan hanya masalah sampah saja, tapi juga air, udara dan ruang terbuka hijau. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adipura.



Dalam aturan itu banyak sekali pertanyaan yang harus di jawab oleh Pemerintah Kota Depok. Dan jawaban ini harus jujur tanpa adanya rekayasa tertentu. Misalkan terkait dengan jumlah angkutan umum yang ada di Kota Depok, Berdasarkan data yang ada di Dinas Perhubungan Kota Depok, Jumlah Angkutan Umum ada 2.867, Namun data dilapangan justru banyak sekali angkutan umum bodong yang berkeliaran. Tercatat antara jumlah data resmi dan bodong, kurang lebih ada 5.000 Angkutan Umum. Jumlah kendaraan ini terkait dengan penilaian kapasitas pencemaran udara dari emisi sumber bergerak.



Belum lagi pertanyaan tentang keberadaan limbah di Kota Depok. Keberadaan limbah ini sangat penting karena menyangkut pencemaran limbah yang sangat membahayakan lingkungan dan masyarakat. Berdasarkan data yang tercatat, Diduga banyak Rumah Sakit dan Pabrik di Kota Depok yang tidak mempergunakan sistem Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang baik, yang mampu mereduksi, menurunkan kadar pencemar ke taraf baku mutunya sehingga menjamin kelestarian fungsi ekosistem.



Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi dari IPAL adalah sebagai sistem pengolah yang mampu menurunkan kandungan pencemar air limbah yang berpotensi mencemari lingkungan sampai batas yang disyaratkan Pemerintah. Tujuannya, mengurangi dampak buruk polutan di dalam air limbah dan mengendalikan pencemaran lingkungan. Korban pengelolaan limbah yang tidak baik bisa dilihat dari keberadaan situ rawa kalong yang kondisinya sangat memprihatinkan, belum lagi keberadaan puluhan situ dan sungai yang tercemar oleh limbah pabrik, limbah Rumah Sakit maupun limbah rumah tangga. Puluhan Situ yang ada di Kota Depok ini kondisinya juga sangat memprihatinkan.



Contoh beberapa pertanyaan itulah yang harus dijawab jujur oleh Pemerintah Kota Depok. Sesuai dengan slogan, berani jujur itu hebat. Kalau Pemerintah Kota Depok berani mencoba merekayasa jawaban di pertanyaan itu, waktulah nanti yang akan membuktikan, Bahwa Kota Depok memang belum pantas menerima Piala Adipura pada tahun 2015.



Sumber : Membayar Kebohongan Piala Adipura Kota Depok 2015




Sumber : http://ift.tt/1uxgaCv

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz