Produk Pertanian dan Perikanan Dalam Konteks Internasional
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan masalah-masalah di seputar pemanfaatan sumber-sumber daya pertanian dan perikanan pada masa kini akan lebih memadai apabila diletakkan dalam konteks internasional yang tengah berlaku: gagasan sustainable development dan fenomena legalization of international trade.
Sumber : http://ift.tt/1o6JNZ7
The World Commision on Environment and Development (WCED) dalam laporan kepada Majelis Umum PBB pada tahun 1987 bertajuk Our Common Future yang dikenal juga sebagai Brundtland Report mengartikan sustainable development sebagai: “development that meets the needs of the present without compromising future generations to meet their own needs.” Gagasan itu kemudian dikembangkan dan diformalkan ke dalam konvensi internasional pada The Earth Summit tahun 1992 di Rio de Janeiro dan the World Summit on Sustainable Development di Johannesburg tahun 2002.
Gagasan sustainable development ternyata telah menimbulkan berbagai implikasi yang cukup serius, terutama bagi negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Setidaknya apabila dilihat dari sudut pandang tertentu, sustainable development dalam kenyataannya telah membatasi keleluasaan negara-negara berkembang untuk memanfaatkan sumber-sumber daya alam yang ada di wilayah kedaulatannya. Mengapa demikian?
Seiring dengan perkembangan gagasan sustainable development dan penerimaannya sebagai suatu asas hukum internasional, konsep kepemilikan sumber daya alam sebagaimana halnya juga dengan pengertian kedaulatan negara pun mengalami pergeseran. Sumber-sumber daya alam kini dipahami sebagai common goods yang pemanfaatannya oleh negara tempat sumber-sumber daya alam tersebut dibatasi oleh berbagai konvensi internasional. Itu berarti bahwa konsep kedaulatan (sovereignty) tak lagi berarti bahwa suatu negara leluasa untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya alam yang ada di wilayah yurisdiksinya, melainkan telah dibatasi oleh berbagai konvensi internasional yang memuat sejumlah kewajiban dalam setiap bentuk upaya pemanfaatan sumber-sumber daya alam tersebut (lihat, Nico Schrijver, Sovereignty Over Natural Resources: Balancing Rights and Duties. Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 2008). Demikian pula, prinsip-prinsip hukum internasional, Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982), ketentuan-ketentuan dalam The 1992 UN Conference on Environment and Development (UNCED), The Plan of Implementation adopted at the World Summit on Sustainable Development (WSSD), bersama-sama dengan berbagai instrumen hukum internasional lainnya telah diinterpretasikan sedemikian rupa sebagai dasar hukum bagi apa yang disebut sebagai the international regime for the protection of the marine environment, di mana pada akhirnya: “These rules place some constraints on the capacity of coastal States to unilaterally control the environmental impact of seabased activities and call for multilateral and uniform solutions.” (lihat, Veronica Frank, The European Community and Marine Environmental Protection in the International Law of the Sea: Implementing Global Obligations at the Regional Level. Leiden: Martinus Nijhoff, 2007). Pada titik ini kita melihat bagaimana sejumlah konvensi internasional diinterpretasikan sedemikian rupa untuk membatasi keleluasaan suatu negara untuk bertindak di wilayahnya sendiri serta pada saat yang bersamaan membuka akses bagi komunitas internasional untuk terlibat di sana secara sah.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya apabila timbul pendapat yang menyatakan betapa gagasan sustainable development tak jarang: “…was seen as hypocritical of developed countries to insist on sustainable production and consumption patterns in developing countries as long as many of the former fail to rein in their own unsustainable practices.” (lihat, Christina Voigt, Sustainable Development as a Principle of International Law: Resolving Conflicts between Climate Measures and WTO Law. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2009, hal. 16).
Pada sisi yang lain terjadinya pula apa yang disebut sebagai “legalization of international trade”, yakni suatu fenomena di mana negara-negara dan aktor-aktor lainnya yang terlibat dalam praktek perdagangan internasional dibebani dengan sejumlah kewajiban yang dirumuskan dalam seperangkat aturan main di mana wewenang pengimplementasian, penginterpretasian, pengawasan, penyelesaian sengketa dan perumusan aturan lebih lanjut atas aturan main tersebut diserahkan pihak ketiga (lihat, Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert O. Keohane, & Anne-Marie Slaughter, (eds.)., Legalization and World Politics. Cambridge, MA.: The MIT Press, 2001). Wujud paling nyata dari “legalization of international trade” adalah kehadiran World Trade Organization (WTO) dengan Dispute Settlement Body yang berwenang memaksakan keberlakuan putusannya kepada member states.
WTO sendiri dibentuk untuk membebaskan praktek perdagangan internasional dari segala bentuk hambatan non-tarif dan kebijakan perdagangan yang bersifat diskriminatif. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian, bentuk-bentuk non-tariff barrier berkembang dalam praktek perdagangan internasional justru dengan menginterpretasikan klausula-klausula tertentu dalam WTO Convention, yakni: Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement) dan Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement). Kedua ketentuan ini, TBT Agreement dan SPS Agreement, ternyata seringkali digunakan oleh negara-negara maju sebagai dasar hukum untuk memberlakukan kebijakan perdagangan yang bercorak proteksionis, terutama dalam perdagangan produk-produk pertanian dan perikanan. Dan, pemberlakuan TBT Agreement dan SPS Agreement oleh negara-negara industri maju, terutama Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat, telah menjadi momok tersendiri bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penetrasi pasar dalam rangka meningkatkan volume dan nilai ekspor produk-produk pertanian dan perikanan.
TBT Agreement memuat aturan-aturan yang berhubungan dengan technical regulations, standards, dan conformity assessment products. Yang dimaksud dengan technical regulations adalah: “…a document which lays down product characteristics or their related processes and production methods, including the applicable administrative provisions, with which compliance is mandatory. It may also include or deal exclusively with terminology, symbols, packaging, marking or labelling requirements as they apply to a product, process or production method.” Adapun standard adalah: “…a document approved by a recognised body, that provides, for common and repeated use, rules, guidelines or characteristics for products or related processes and production methods, with which compliance is not mandatory. It may also include or deal exclusively with terminology, symbols, packaging, marking or labelling requirements as they apply to a product, process or production method.” Sedangkan conformity assessment adalah: “…any procedure used, directly or indirectly, to determine that relevant requirements in technical regulations or standards are fulfilled.”
Yang menjadi persoalan adalah TBT Agreement yang mestinya hanya berlaku untuk hal-hal yang disebut sebagai products dan processes and production methods (PPMs), ternyata diterapkan juga untuk hal-hal yang sesungguhnya termasuk dalam non-product related processes and production methods (NPR-PPMs). (lihat, Christiane R. Conrad, Processes and Production Methods (PPMs) in WTO Law: Interfacing Trade and Social Goals. Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 2011). Pada titik ini kita berhadapan dengan larangan dan/atau pembatasan impor atas komoditi tertentu oleh negara-negara maju dengan alasan-alasan yang seringkali terkesan terlalu dipaksakan, seperti; larangan impor udang dengan alasan penangkapan berlangsung dengan mengabaikan keselamatan kura-kura di lokasi penangkapannya; larangan dan/atau pembatasan impor tuna dengan alasan penangkapan berlangsung dengan mengabaikan keselamatan lumba-lumba di tempat penangkapannya.
Adapun SPS Agreement memuat kebolehan suatu negara untuk memberlakukan pembatasan dan/atau larangan impor atas komoditi tertentu demi melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan di wilayah negara yang bersangkutan, sepanjang kebijakan tersebut didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup dan pasti. Akan tetapi dalam kenyataannya, negara-negara industri maju telah memberlakukan larangan dan/atau pembatasan impor atas komoditi pertanian dan perikanan tanpa didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang cukup. Dalam pandangan negara-negara tersebut, pemberlakuan larangan dan/atau pembatasan impor yang demikian didasarkan pada Precautionary Principle, yakni suatu asas dalam hukum lingkungan internasional yang pada intinya menyatakan bahwa ketiadaan bukti-bukti ilmiah yang pasti tidak menjadi alasan untuk menunda kebijakan yang bersifat pencegahan demi menghindari terjadinya kerusakan yang lebih besar yang bersifat irreversible (lihat, Caroline E. Foster, Science and the Precautionary Principle in International Courts: Expert Evidence, Burden of Proof and Finality. Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 2011).
Pemberlakuan TBT Agreement dan SPS Agreement oleh negara-negara industri maju sampai dengan saat ini menjadi kendala yang cukup signifikan dalam peningkatan ekspor produk-produk pertanian dan perikanan asal Indonesia terutama ke negara-negara Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Dan sampai dengan saat ini tampaknya belum terlihat hasil yang signifikan, baik melalui perundingan bilateral dengan negara-negara tujuan ekspor maupun melalui upaya litigasi di Dispute Settlement Body-nya WTO.
Mengamati tingginya permintaan atas produk-produk perikanan di satu sisi dan pada sisi yang lain melimpahnya potensi perikanan Indonesia namun dikenai dengan proteksi yang rigid oleh negara-negara tujuan ekspor; sangatlah layak menduga betapa illegal fishing, unregulated fishing, dan unreported fishing (IUU) yang disinyalir marak terjadi di perairan Indonesia adalah “solusi alternatif” yang ditempuh oleh dunia usaha Indonesia bekerjasama dengan kalangan usaha negara-negara tetangga untuk menyamarkan country of origin produk-produk perikanan Indonesia demi menghindari proteksi pasar negara-negara industri maju sebagai akibat pemberlakuan TBT Agreement dan SPS Agreement. Asumsi dasarnya adalah bahwa tingkat proteksi terhadap produk-produk asal Indonesia memang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat proteksi terhadap produk-produk negara-negara tetangga Indonesia. Dugaan yang demikian itu didasarkan pada pengalaman penulis menangani kasus tertangkapnya puluhan kapal ikan yang berasal dari salah satu negara tetangga Indonesia yang beroperasi secara illegal di perairan Indonesia pada tahun 2000. Modus menyamarkan country of origin disinyalir terjadi juga dalam ekspor sawit asal Indonesia dengan alasan dan tujuan yang sama.
Praktek penyamaran country of origin yang demikian itu sesungguhnya dapat diatasi dengan mengefektifkan kerjasama kepabeanan di tingkat internasional di bawah regim hukum The Protocol of Amendment to the International Convention on the Simplification and Harmonisation of Customs Procedures atau yang dikenal juga dengan sebutan The Revised Kyoto Convention, khususnya dalam menegakkan keberlakuan klausula pada Chapter 2 yang berbunyi: “Documentary evidence shall be required in case of suspected fraud” dan “Provision shall be made for sanction against any person who prepares or causes to be prepared a document containing false information.” (lihat! Stefano Inama, Rules of Origin in International Trade. Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 2009). Artinya, dokumen yang disebut sebagai sertifikat asal-usul barang (certificate of origin) diperlukan dalam hal terdapat dugaan pelanggaran hukum menyangkut sesuatu barang, dan adalah dimungkinkan untuk mengenakan sanksi kepada setiap orang yang memasukkan keterangan yang tidak benar ke dalam sertifikat asal-usul barang.
Bagaimanakah gerangan kemungkinan efektivitas pengerahan kekuatan militer dalam upaya pencegahan illegal fishing, unregulated fishing, dan unreported fishing (IUU)? Perlu kiranya mendapat perhatian betapa Amerika Serikat beserta sejumlah negara maju lainnya ternyata belum sepenuhnya mengakui keabsahan dari apa yang kita sebut sebagai konsep negara kepulauan (archipelagic state). Dalam pandangan mereka, konsep negara kepulauan adalah bentuk upaya sejumlah negara untuk menguasai wilayah perairan laut secara eksesif sebagaimana dikemukakan oleh James Kraska, seorang petinggi Angkatan Laut Amerika Serikat yang kini menjadi pengajar pada US Naval War College, Newport, Rhode Island, Amerika Serikat dalam bukunya Maritime Power and the Law of the Sea. (Oxford University Press, 2011). Oleh karena itu, mengedepankan kekuatan militer untuk mengatasi illegal fishing, unregulated fishing, dan unreported fishing (IUU) sesungguhnya berpotensi menimbulkan ketegangan internasional yang bersifat kontra-produktif.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, praktek illegal fishing, unregulated fishing, dan unreported fishing (IUU) di area perairan Indonesia layak diduga adalah upaya yang ditempuh oleh dunia usaha domestik dengan menjalin kerjasama dengan dunia usaha negara-negara tetangga dalam rangka mengatasi proteksi yang dikenakan oleh sejumlah negara maju terhadap produk pertanian dan perikanan yang berasal dari Indonesia. Oleh karena itu, selain mengefektifkan instrumen certificate of origin, agenda yang hendaknya segera digagas dan dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan adalah upaya penghapusan pemberlakuan TBT Agreement dan SPS Agreement dalam praktek perdagangan internasional, di mana pemberlakuan tersebut dilakukan melalui metode interpretasi dan implementasi yang sesungguhnya justru bertentangan dengan semangat WTO itu sendiri. Upaya penghapusan pemberlakuan TBT Agreement dan SPS Agreement tentu saja dapat ditempuh baik melalui jalur diplomasi (bilateral dan multi-lateral) maupun melalui jalur litigasi pada Dispute Settlement Body-nya WTO,-
Sumber : http://ift.tt/1o6JNZ7