Suara Warga

Serbuan Alumni UGM di Pemerintahan Jokowi

Artikel terkait : Serbuan Alumni UGM di Pemerintahan Jokowi

sumber : ferryts.staff.ugm.ac.id sumber : ferryts.staff.ugm.ac.id



Siapa yang menyangka alumni UGM akan menjadi presiden RI yang ketujuh? Dari fakultas yang dipandang sebelah mata pula, fakultas kehutanan. Tentu sangat berbeda gengsinya bila dibandingkan dengan fakultas kedokteran, ekonomi, hukum, maupun fakultas teknik. Tapi faktanya hari ini, presiden negara kita adalah alumni UGM. Asalnya dari fakultas kehutanan jurusan teknologi hasil hutan. Ironisnya, akreditasi jurusan itu di tahun 2014 hanya mendapat nilai B (TEMPO: Panduan Memilih Perguruan Tinggi).

Sebuah takdir yang keren.

Ikatan Emosi KAGAMA


Dari sebuah takdir yang keren itu pun terbentuk sebuah ikatan emosi. Diantara kenangan saat mahasiswa, budaya akademik, dan sugesti bawah sadar tentang definisi orang pintar. Presiden Jokowi adalah pemimpin tertinggi negara ini sekaligus keluarga alumni Universitas Gajah Mada. Maka sadar maupun tidak, dalam bungkus hak prerogatif, Presiden Jokowi punya kebebasan dalam memilih menteri.

Jika diperluas lagi, presiden pun bisa menentukan pejabat selevel eselon I dengan karakteristik yang sesuai dengan dirinya. Jadi wajar bila kita jumpai dalam struktur kementrian ada banyak alumni UGM di sana. Simak saja Anies Baswedan, Pratikno, Saldi Isra, Poltak Sitanggang, Hasto Kristiyanto, dan sebagainya. Ini tentu saja menarik untuk dicermati.

Bila Presiden Soeharto dan Presiden SBY memilih orang terdekatnya yang berasal dari lingkungan militer angkatan darat. Maka Presiden Jokowi punya selera untuk memilih orang terdekat dari kampus yang sama. Lebih dari prasyarat kompetensi, tapi juga ikatan almamater. Tentu kita tidak bisa menafikan beberapa menteri lain yang berasal dari tempat yang berbeda. Namun, pengalaman historis satu civitas tentu meninggalkan kesan sendiri pada Presiden Jokowi.

Memimpin Peradaban Bangsa


Sesuai dengan moto UGM pada era 90-an, demikianlah wujud nyata dari alumni UGM sekaligus presiden Indonesia ketujuh. Tapi bila kita persempit moto tersebut, maka artinya ada banyak alumni UGM yang mengisi posisi penting di struktur kementrian. The winner takes all, demikian kekhawatiran saya.


Musabab kekhawatiran saya ini beralasan. Karena sudah menjadi rahasia umum, bila pejabat setingkat eselon I dan II alumni kampus tertentu, otomatis pejabat eselon III akan diisi oleh kampus yang sama. Semacam perpanjangan tangan kebijakan publik. Semacam kepercayaan pada orang yang punya latar belakang pendidikan yang sama. Semacam ikatan emosi yang tak terjelaskan yang mewajibkan senior mengayomi juniornya.

Maka jurang dan gengsi antar universitas atau sekolah tinggi di pemerintahan akan terasa sekali dalam politik birokrasi. Akibatnya, sistem meristokrasi terhambat oleh unsur emosional yang secara tidak sadar dibangun oleh keyakinan semu. Keyakinan yang didasari hubungan almamater yang kuat.

Tentu ini adalah halyang berbahaya bagi kematangan birokrat-birokrat kita.


sumber : ugm.ac.id sumber : ugm.ac.id




Mengikis Budaya Pekewuh


Tapi dibalik potensi negatif, tentu ada pula potensi positif yang muncul. Yaitu kecepatan dan kepastian eksekusi kebijakan. Memastikan orang-orang terpercaya ada di rantai komando birokrasi adalah jaminan kesuksesan dalam birokrasi. Maka fungsi pengawasan, pembinaan, dan pendelegasian tugas akan terlaksana dengan cermat. Harapan saya.

Jadi, saya mengharapkan agar budaya petatah-petitih, pekewuh dilakukan dengan cara yang wajar. Jangan sampai budaya tersebut yang berakar dari filsafat jawa menjadi hal yang dominan dalam birokrasi. Transparansi dan keberanian dalam berkomunikasi dengan masyarakat adalah budaya baru. Perlu diwujudnyatakan oleh Birokrat di masa kini dan masa mendatang.

Semoga serbuan alumni UGM di pos-pos strategis kementrian menjadi awal perubahan Indonesia.

Kita lihat saja nanti.




Sumber : http://ift.tt/1DMawOp

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz