Sengkarut Pelaksanaan Kontrak yang Tidak Terselesaikan Sampai dengan Akhir Tahun Anggaran
Sesuai dengan Pasal 4 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Tepat Pukul 00.00.00 tanggal 31 Desember, Negara seolah-olah berhenti karena segala aktivitas pelaksanaan APBN untuk tahun anggaran berkenaan telah berakhir. Tidak ada lagi yang melaksanakan aktivitas pelaksanaan anggaran atas beban APBN tahun berkenaan. Selanjutnya tepat pada pukul 00.00.01 tanggal 1 Januari, Negara bergerak kembali dalam aktivitas pelaksanaan anggarannya atas beban APBN tahun anggaran berikutnya.
Dalam praktek pelaksanaan anggaran, salah satu “kehebohan” yang sudah menjadi tradisi rutin setiap tahun adalah menumpuknya Surat Perintah Membayar kepada Kuasa Bendahara Umum Negara pada akhir tahun anggaran. “Tradisi” ini sepertinya sudah menjadi budaya yang melekat pada Kementerian Negara/Lembaga pengguna dana APBN dari tahun ke tahun. Meskipun sudah berbagai upaya dilakukan oleh Kementerian Keuangan untuk mempercepat proses pencairan anggaran, hal ini masih saja terus terjadi. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, masih banyak kontrak pelaksanaan pekerjaan pada Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja yang belum dapat diselesaikan sampai pada batas akhir penyampaian Surat Perintah Membayar (SPM). Akibatnya, SPM disampaikan kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dengan persyaratan khusus, yaitu Jaminan Bank sebesar persentase/nilai pekerjaan yang belum terselesaikan tersebut.
Fakta ini membuktikan bahwa masih sangat banyak kontrak pengadaan barang/jasa pada Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja yang masa pelaksanaan pekerjaannya berakhir pada Bulan Desember, bahkan banyak yang berakhir persis pada tanggal 31 Desember. Hal ini secara normatif memang tidak melanggar ketentuan, yang menjadi masalah adalah tidak adanya ruang waktu lagi bagi penyedia barang/jasa untuk dapat terlambat menyelesaikan pekerjaan, padahal keterlambatan dimungkinkan maksimal 50 (lima puluh) hari kalender dengan konsekuensi sanksi denda sesuai kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Fakta yang lebih mengejutkan lagi adalah ternyata masih cukup banyak pelaksanaan pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan sampai dengan akhir tahun anggaran, meskipun jangka waktu kontrak telah sangat maksimal, yaitu sampai dengan tanggal 31 Desember. Fakta ini tentu saja sangat menarik untuk dikaji bagaimana penyelesaiannya yang efisien, efektif dan akuntabel.
Berdasarkan “bisik-bisik tetangga” dan “khabar burung” yang masih harus dibuktikan kebenarannya, modus yang biasa ditempuh oleh Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja mengatasi sengkarut pelaksanaan kontrak yang tidak terselesaikan sampai dengan akhir tahun anggaran adalah:
1. Memutuskan kontrak secara sepihak sejak tanggal 31 Desember dan menyatakan penyedia barang/jasa wanprestasi. Tidak ada lagi “dispensasi” atas keterlambatan karena sudah “mentok” pada akhir tahun anggaran. Resikonya adalah jaminan bank harus dicairkan oleh KPPN sebesar nilai pekerjaan yang belum terselesaikan dan pelaksanaan pekerjaan otomatis berhenti pada tanggal 31 Desember. Secara fungsional bisa jadi pengadaan barang/jasa tersebut tidak berhasil, atau belum dapat difungsikan sebagaimana mestinya; atau
2. Melanjutkan pekerjaan yang belum terselesaikan tersebut pada tahun anggaran berikutnya secara “diam-diam”, namun secara administrasi pekerjaan dinyatakan selesai persis pada tanggal 31 Desember dengan “memalsukan” Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP). Jalan ini diambil untuk menghindari kerumitan dalam penyediaan anggaran pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran berikutnya; atau
3. Yang lebih “gila” adalah “memalsukan” BAPP seakan-akan pekerjaan telah selesai pada tanggal terakhir penyampaian SPM ke KPPN (biasanya tanggal 23 Desember) meskipun fakta di lapangan pekerjaan masih belum selesai. Jalan ini diambil biasanya untuk menghindari urusan administrasi untuk melampirkan Jaminan Bank.
Jalan keluar yang sah untuk mengatasi sengkarut pelaksanaan kontrak yang tidak terselesaikan sampai pada akhir tahun anggaran adalah dapat melanjutkan pekerjaan yang belum terselesaikan tersebut pada tahun anggaran berikutnya secara transparan dan akuntabel sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.05/2014 Tanggal 6 Oktober 2014 tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan Yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran. Berdasarkan Pasal 4 disebutkan bahwa penyelesaian sisa pekerjaan yang dapat dilanjutkan ke Tahun Anggaran Berikutnya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: |
a. Berdasarkan penelitian PPK, penyedia barang/jasa akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan setelah diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan;
b. Penyedia barang/jasa sanggup untuk menyelesaikan sisa pekerjaan paling lambat 50 (lima puluh) hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan yang dinyatakan dengan surat pernyataan kesanggupan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai;
c. Berdasarkan penelitian KPA, pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan dimaksud dapat dilakukan pada tahun anggaran berikutnya dengan menggunakan dana yang diperkirakan dapat dialokasikan dalam DIPA Tahun Anggaran Berikutnya melalui revisi anggaran.
Meskipun sudah ada jalan keluar yang sah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.05/2014 Tanggal 6 Oktober 2014 tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan Yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran di atas, saya melihat masih banyak masalah dalam praktek pelaksanaannya ke depan, di antaranya adalah:
1. Ketentuan pada Pasal 5 yang menyatakan “Penyelesaian sisa pekerjaan yang dilanjutkan ke Tahun Anggaran Berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a tetap merupakan pekerjaan dari Kontrak berkenaan” yang kemudian ditindaklanjuti dengan Perubahan Kontrak sebagaimana diatur pada Pasal 9, menurut saya bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi sebagaimana diatur pada Pasal 52 ayat (1) Keppres Nomor 54 Tahun 2010 jo Perpres Nomor 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menyatakan: “Kontrak Tahun Tunggal merupakan Kontrak yang pelaksanaan pekerjaannya mengikat dana anggaran selama masa 1 (satu) Tahun Anggaran”. Kontrak atas pekerjaan yang dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya ini adalah kontrak tahun tunggal, namun dalam pengaturannya justru harus dilakukan perubahan kontrak untuk pencantuman sumber dana/DIPA tahun anggaran berikutnya, yang akhirnya menunjukkan kontrak dimaksud berubah menjadi kontrak tahun jamak.
2. Tidak adanya jaminan dana pada DIPA tahun anggaran berikutnya tersebut dapat tersedia dengan cukup, apalagi jika nilai pekerjaan yang dilanjutkan tersebut cukup besar. Hal ini akan mengakibatkan Kuasa Pengguna Anggaran tidak akan bisa mengambil keputusan secara cepat dan tepat, sementara waktu untuk mengambil keputusan sangat singkat, yaitu sebelum masa kontrak berakhir (maksimal tanggal 31 Desember).
3. Pernyataan bahwa penyedia barang/jasa tidak menuntut denda/bunga apabila terdapat keterlambatan pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan pada Tahun Anggaran Berikutnya yang diakibatkan oleh keterlambatan penyelesaian revisi anggaran (Pasal 4 ayat 2 huruf d) adalah ketentuan yang sangat berat sebelah, tidak berimbang antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Penyedia Barang/Jasa. Di satu sisi penyedia barang/jasa dikenakan denda, namun ketika PPK yang melakukan kelalaian bebas dari sanksi ganti rugi.
4. Pengajuan usul revisi anggaran dilaksanakan paling lambat sebelum batas akhir penyelesaian sisa pekerjaan yang tercantum dalam surat pernyataan kesanggupan (maksimal 50 hari setelah berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan) atau kurang lebih pada bulan Februari. Sementara regulasi mengenai Revisi DIPA biasanya belum dikeluarkan pada bulan dimaksud.
5. Alternatif keputusan KPA untuk “Tidak melanjutkan penyelesaian sisa pekerjaan ke Tahun Anggaran Berikutnya” sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 ayat (3) huruf b menurut saya kurang tepat, menimbulkan kebingungan, karena seolah-olah tertutup sama sekali untuk dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya dan pekerjaan tersebut dibiarkan saja “mandeg” tanpa bisa diapa-apakan lagi. Padahal jika melihat ketentuan Pasal 6 yang mengatakan: “Penyelesaian sisa pekerjaan yang tidak dilanjutkan ke Tahun Anggaran Berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah”. Artinya adalah pekerjaan tersebut sama saja dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya, hanya saja mekanismenya berbeda, yaitu dengan cara melakukan pengadaan barang/jasa kembali untuk melanjutkan pekerjaan yang belum terselesaikan tersebut (tentu dengan mengajukan revisi DIPA dulu). Bedanya adalah dilakukan dengan Kontrak baru tidak sekedar perubahan kontrak sebelumnya.
Sumber : http://ift.tt/1sFZSFb