Suara Warga

PRESIDEN HOLISME ALA JOKOWI

Artikel terkait : PRESIDEN HOLISME ALA JOKOWI



Oleh: Ahmad Munir Chobirun, PP IPNU



Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden RI dapat dipandang dilematis . Pertama, kemenangan Jokowi pada kekuasaan eksekutif, tidak didukung oleh kemenangan pihak Jokowi di kekuasaan parlemen. Hasilnya kemenangan Jokowi mendapat goncangan isu yang sensitif dari parlemen, mulai dari penundaan pelantikan, hingga pemakzulan presiden oleh MPR. Kedua, Jokowi mulai membangun komunikasi dengan pihak manapun, yang mengganggu pihak relawan, partai pendukung dan juga rakyat secara keseluruhan. Pada bagian pertama, kemenangan parlemen tidak terlalu terlalu menyinggung rakyat dan Relawan Jokowi. Kemenangan parlemen sama sekali tidak menyinggung Jokowi atas alasan Jokowi tidak bekerja untuk parlemen, Jokowi akan bekerja untuk rakyat. Akan tetapi, isu pemakzulan menjadi masalah karena kemenangan rakyat lewat mekanisme pimilihan langsung, berpotensi digagalkan oleh wakilnya. Ada korelasi yang tidak positif, yang mana kehendak rakyat tidak direpresentasikan oleh kehendak wakilnya. Ini menjadi isu paling sensitif bagi relawan Jokowi dan Rakyat apalagi jika sampai pelantikan Jokowi dimakzulkan, akan menjadi api bagi rakyat, karena wakilnya berhianat. Maka wajar, kekesalan rakyat berbuntut pada pemimpin otoritas saat ini, “ShameOnYouSBY” menjadi paradoks yang paling tepat untuk menggambarkan situasi, atas kemenangan Jokowi sekaligus dilema pemakzulannya.



Maka Jokowi (presiden terpilih) melakukan langkah antisipasi dengan berbagai cara. Mulai dengan melakukan pertemuan dengan petinggi Koalisis Indonesia Hebat (KIH), membangun komunikasi dengan ketua umum partai politik KMP, dan rencana menyatukan tokoh-tokoh nasional pada prosesi pelantikan presiden. Gelagat kebimbangan Jokowi mulai tampak atas berbagai kekalahan di parlemen, oleh berbagai manuver yang dibangun Koalisi Merah Putih (KMP). Tidak sekedar menyerang opini, akan tetapi KMP bekerja secara sistematis membangun kekuatan, yang berpotensi memakzulkan Jokowi. Maka perhatian publik mulai tidak terkonsentrasi pada prosesnya saja, akan tetapi mulai beranalogi pada kemungkinan pemakzulan presiden terpilih. Kemungkinan pemakzulan adalah hal yang paling ditakukan, tidak hanya oleh presiden terpilih, akan tetapi juga pemenang parlemen (KMP). Maka ada kepentingan yang sama, yakni kepercayaan publik atas kelembagaan negara yang terbangun saat ini.



Moment pelantikan presiden tanggal 20 Oktober 2014 mendatang akan menjadi pertaruhan atas status kegagalan presiden membangun komunikasi dengan pihak oposisi atau justru sebaliknya presiden akan mendapatkan keabsahan absolut atas prosesi pelantikan yang akan berjalan. Keberhasilan atau kegagalan Jokowi membaca fenomena pelantikan akan menjadi parameter bagi kegagalan atau keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK mendatang. Ini hal yang harus hati-hati diperhatikan presiden terpilih, karena tendensi pelantikan sudah berpindah dari “pandangan relawan” ke “pandangan rakyat”. Mekanisme kerja terpilihnya Jokowi sebagai presiden tidak lepas dari cara pandang rayat Indonesia dalam memilih presiden. Maka presiden akan memiliki hubungan ekologis dengan rakyat yang sangat kuat. Presiden terpilih tidak lagi bisa menjustifikasi relawan sebagai otoritas atas pelantikan yang akan berjalan.



Kata kunci yang harus dibangun oleh presiden terpilih adalah hubungan interelasi, interaksi, interdependensi yang melingkupi hubungan antar bagian menjadi hubungan keseluruhan (holisme). KMP dan KIH sebagai elemen bagian tidak bisa dipandang Presiden Terpilih sebagai objek lagi. Objek KIH dan KMP harus dilebur mengingat Presiden Terpilih tidak mampu membangun koalisi kuat pada level elit (parlemen). Maka koalisi kuat harus dibangun melalui rakyat. Sehingga, KIH tidak boleh mendominasi presiden pada masa mendatang, akan tetapi mutlak memerlukan koalisi rakyat. “Presiden Bersama Rakyat ” satu-satunya jargon yang bisa meleburkan KIH dan KMP. Jika kata kunci ini terpenuhi oleh presiden terpilih, maka Jokowi tidak lagi menjadi presiden bagian, akan tetapi menjadi presiden keseluruhan (whole president or holistic president ), baik bagi yang kalah maupun yang menang.



Presiden terpilih harus melihat proses transisi ini sebagai proses sistemik. Kerja sistem yang dibangun oleh KMP telah membuahkan kekuasaan parlemen, baik kemenangan di pimpinan DPR maupun MPR, ini menunjukkan KMP menggunakan kerja sistem lewat mekanisme partai yang berkerja di parlemen. Akan tetapi, tumbuhnya KMP sebagai bagian dari oposisi yang berkuasa, tidak boleh menghambat presiden terpilih kalah dalam kontek sistem. Kerja sistem yang dibangun presiden harus melibatkan parlemen.



Kehawatiran presiden terpilih harus dilihat secara sistemik. Pertama, dibalik keberhasilkan Jokowi ada kekalahan KMP, yang merupakan kerja sistemik. Kenapa tidak melihat kepercayaan rakyat sebagai modal, dibandingkan dengan. Ada energi rakyat yang menghendaki struktur presiden kita lahir dari rakyat. Jika presiden terpilih lebih banyak melihat struktur (KIH dan KMP), maka presiden akan gagal menerjemahkan makna kemenangan rakyat (Koalisi Rakyat). Hubungan yang dibangun juga harus bersifat dinamis, dari struktur kekuasaan yang tersedia. Hubungan dinamis antara KPM dengan KIH adalah konsep yang harus dijembatani, baik melalui interaksi saling menguntungkan, maupun interaksi pragmatis atas dasar pembagian kekuasaan.



Presiden terpilih jika menggunakan “pandangan holisme ”, maka presiden terpilih harus menggeser KMP dari pandangan “objek ” menjadi “hubungan (relasi) ”. Jika KMP masih dipandang sebagai objek, maka KMP akan mewujudkan diri menjadi pihak yang kalah dari proses kompetisi pada pemilihan umum. Konsekuensinya presiden akan dipandang balik sebagai objek kompetitor yang harus dikalahkan, konsekuensi lanjutanya “pemakzulan” benar-benar bisa terjadi. Lagi-lagi rakyat yang akan kalah dan rakyat yang akan melawan. Hubungan (relasi) menjadi kunci bagi keabsahan pemerintahan Jokowi.



Tanggal 20 Oktober 2014 adalah pertaruhan bagi presiden terlantik untuk menjustifikasi diri sebagai “presiden rakyat ” bukan “presiden relawan ”, maka pesta presiden Jokowi harus mutlak disebut pesta rakyat atas kemenangan rakyat, yang telah memilihnya menjadi presiden. Selamat atas persiapan pelantikannya, semoga Tuhan Meridhoi bangsa kita.










Sumber : http://ift.tt/1vtZY4U

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz