Pemimpin bukan Pemimpi
Mungkin kemerdekaan bukan untuk kami, kami lemah, kami kecil dan kami selalu mengalah. Kami mengeluh engkau tak mendengar, kami berteriak kalian menutup telinga seakan kami seorang tunawicara. Apakah salah kami terhadap kalian? Apakah kasta kita berbeda?
Miris sekali melihat fenomena hasil dari Pesta Demokrasi akhir-akhir ini, tidak ada transparansi kepada masyarakat terhadap aspirasi yang mereka berikan untuk para wakilnya. Moral dan sikap tidak ada yag mencerminkan sebagai seseorang pemimpin yang bijaksana untuk para rakyatnya. Saling beradu pendapat dan bahkan hampir beradu otot yang dapat di pandang secara kasat mata bahwa ada suatu kepentingan yang ingin mereka menangkan. Memang benar dunia ini sudah buta melihat mana yang benar dan salah. Kata benar dan salah sekarang sudah berpindah haluan menjadi ‘Menang dan Kalah’ karena seseorang yang dikatakan menang belum tentu menggunakan cara yang benar begitupun sebaliknya.
Partisipasi yang diberikan masyarakat pada saat ini berupa hak politik dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Partisipasi tersebut dielu-elukan sebagai praktik dari demokrasi itu sendiri, padahal konsep demokrasi hanyalah gincu pemanis bibir, yang sebenarnya hanya merupakan suatu utopia semata-mata. Dan memang, jika pemerintahan disuatu Negara tidak dijalankan secara tulus dengan suatu kebenaran yang berdasarkan pada logika dan perasaan yang universal,warga dari Negara tersebut tetap tertindas, terhina, tak punya harkat dan martabat, lepas dari apapun bentuk Negara (demokrasi atau bukan) yang dilabelkan padanya oleh para penguasa yang bersangkutan.
Selanjutnya, konsep Negara demokrasi sangat menghargai suara rakyat secara keseluruhan. Manakala sudah diputuskan oleh suara terbanyak dari rakyat secara keseluruhan., maka putusan apapaun yang diambil, baik, jelek atau bahkan naïf, tetap saja menjadi putusan apapun yang harus dijunjung tinggi. Karena pilihan yang berdasarkan suara rakyat terbanyak tidak berarti yang “terbaik”, maka konsep demokrasi yang putusannnya selalu didasarkan pada suara “terbanyak” bukan atau belum tentu merupakan suatu putusan yang terbaik bagi rakyatnya. Jika dalam suatu Negara kebanyakan rakyatnya kurang pendidikannya atau kurang informasi tentang berbagai hal, di ikut sertakan untuk memutuskan, maka tingkat keputusannya berbanding lurus dengan tingkat pendidikan dan penguasaan informasi tersebut. Sebaliknya, ada golongan rakyat yang umumnya merupakan rakyat dari kelas menengah ke atas, yang sebenarnya mereka dapat memutuskan secara “cerdas” sehingga putusannya lebih reasonable, tetapi golongan rakyat seperti ini lebih sedikit jumlahnya, sehingga seringkali kalah suara dengan suara rakyat yang mayoritas tersebut. Tidakkah kita semua berpikir bahwa secara tidak langsung pelaksaan Pemilihan Umum dan juga pemilihan lainnya yang sudah kita laksanakan dewasa ini ,bertentangan dengan budaya musyawarah untuk mufakat.
Dimulai dari tindakan memilih wakil-wakil yang belum tentu dikenal visi, misi maupun integritasnya oleh rakyat, kemudian para wakil rakyat yang katanya terpilih secara demokratis tetapi mereka juga mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan politik atau golongannnya sendiri. Alhasil, ketika para wakil rakyat harus memilih antara kepentingan rakyat yang diwakilinya dengan kepentingan pribadinya, adalah manusiawi jika mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadinya sendiri. Disamping itu, kepentingan rakyat atau kelompok rakyat yang diwakili oleh wakilnya dalam system perwakilan tidak pernah jelas sekali bagi para wakilnya bahkan juga belum tentu jelas bagi rakyat yang diwakilinya, apalagi jika rakyat yang diwakilinya cukup bervariasi dengan kepentingan yang berbeda-beda bahkan saling bertolak belakang.
Aspek prosedural yang sangat dipuja-puja dalam suatu sistem perwakilan dan demokrasi misalnya persoalan tentang sudahkah wakilnya menang dengan angka mayoritas, sudahkah memilih dengan suatu sistem pemilihan yang tidak dipaksa-paksa, sudahkah jumlah suara rakyat yang dihitung secara benar, bagaimana pembagian sisa suara yang tidak terwakili, dan berbagai aspek prosedural lainnya. Tentang materi dan tujuan yang hendak dicapai oleh sistem demokrasi umumnya tidak diteropong dengan tuntas. Sehingga terbentuklah suatu sistem “demokrasi tanpa esensi dan tujuan” yang akhirnya terombang ambing dan menerawang saja seperti layang-layang putus tali yang sedang ditiup angin. Sistem demokrasi layang-layang memang terjadi hanya di Negara ini.
Sistem pemerintahan dalam perjalanannya membentuk beberapa partisipasi politik, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan Negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pada budaya politik ini, anggota masyarakat telah menyadari betul hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara.
Pemungutan suara ini, walaupun bermakna pemberian hak pilih, tidak perlu digunakan di dalam syariat untuk pemilihan hakim/pemimpin. Alhasil terbentuknya kelompok-kelompok di dalam gedung penyalur aspirasi rakyat. Pengambilan suara merupakan alternatif terakhir bila kita melihat dan memahami maksud dari sila ke-4 pancasila.
Hal ini tidak menjadi kebiasaan bangsa Indonesia, bagi kita apabila pengambilan keputusan secara bulat itu tidak bisa tercapai dengan mudah, baru diadakan pemungutan suara.Kebijaksanaan ini merupakan suatu prinsip bahwa yang diputuskan itu memang bermanfaat bagi kepentingan rakyat banyak.Jika demokrasi diartikan sebagai kekuatan, maka dari pengamatan sejarah bahwa kekuatan itu memang di Indonesia berada pada tangan rakyat atau masyarakat.
Secara sederhana, pembahasan sila ke 4 adalah demokrasi. Demokrasi yang mana dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Pemimpin yang hikmat adalah pemimpin yang berakal sehat, rasional, cerdas, terampil, dan seterusnya pada hal-hal yang bersifat fisik/jasmaniah; sementara kebijaksanaan adalah pemimpin yang berhatinurani, arif, bijaksana, jujur, adil, dan seterusnya pada hal-hal yang bersifat psikis/rohaniah.
Jadi, pemimpin yang hikmat-kebijaksanaan itu lebih mengarah pada pemimpin yang profesional (hikmat) dan juga dewasa (bijaksana). Itu semua negara demokratis yang dipimpin oleh orang yang dewasa profesional dilakukan melalui tatanan dan tuntunan permusyawaratan/perwakilan.Tegasnya, sila keempat menunjuk pada NKRI sebagai Negara demokrasi-perwakilan yang dipimpin oleh orang profesional-dewasa melalui sistem musyawarah. Sebuah kesadaran bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Besar menurut keyakinan beragama masing-masing, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan ke atas harkat dan martabat manusia, serta memperhatikan penguatan dan pelestarian kesatuan nasional menuju keadilan sosial. Semua berawal dari mimpi dan berlari mengejar mimpi tersebut melalui pendidikan, pendidikan formal ataupun pendidikan non-formal. Peran dari lingkup terkecil sekalipun sangat berpengaruh untuk menciptakan moralitas dan menumbuhkan rasa cinta terhadap Bangsanya. Seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang “berjalan” mengikuti pendahulunya dan “berlari” untuk mengejar bahkan mendahului pendahulunya. Namun fakta tidak berbicara demikian, hanya segelintir pemuda bangsa yang memiliki pandangan seperti itu. Bahkan mirisnya ada saja yang berlari menjauhi mimpinya tersebut. Benar kita harus belajar dari sejarah, tapi jadikanlah sejarah sebagai pedoman untuk menuju impian tersebut bukan dijadikan buku panduan dalam pemerintahan Negara pada saat ini.
Sampai kapan kita seperti ini dan entah apa yang dapat merubah semua kenaifan dalam negara ini. Sem Kita saudara, kita satu kesatuan dan kita adalah sebuah keluarga besar dalam bentuk sebuah negara dari bagian Tenggara dari Benua Asia yang ingin di pandang sebagai Bintang bukan sekedar layang-layang.
Sumber : http://ift.tt/1rA1ET7
Miris sekali melihat fenomena hasil dari Pesta Demokrasi akhir-akhir ini, tidak ada transparansi kepada masyarakat terhadap aspirasi yang mereka berikan untuk para wakilnya. Moral dan sikap tidak ada yag mencerminkan sebagai seseorang pemimpin yang bijaksana untuk para rakyatnya. Saling beradu pendapat dan bahkan hampir beradu otot yang dapat di pandang secara kasat mata bahwa ada suatu kepentingan yang ingin mereka menangkan. Memang benar dunia ini sudah buta melihat mana yang benar dan salah. Kata benar dan salah sekarang sudah berpindah haluan menjadi ‘Menang dan Kalah’ karena seseorang yang dikatakan menang belum tentu menggunakan cara yang benar begitupun sebaliknya.
Partisipasi yang diberikan masyarakat pada saat ini berupa hak politik dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Partisipasi tersebut dielu-elukan sebagai praktik dari demokrasi itu sendiri, padahal konsep demokrasi hanyalah gincu pemanis bibir, yang sebenarnya hanya merupakan suatu utopia semata-mata. Dan memang, jika pemerintahan disuatu Negara tidak dijalankan secara tulus dengan suatu kebenaran yang berdasarkan pada logika dan perasaan yang universal,warga dari Negara tersebut tetap tertindas, terhina, tak punya harkat dan martabat, lepas dari apapun bentuk Negara (demokrasi atau bukan) yang dilabelkan padanya oleh para penguasa yang bersangkutan.
Selanjutnya, konsep Negara demokrasi sangat menghargai suara rakyat secara keseluruhan. Manakala sudah diputuskan oleh suara terbanyak dari rakyat secara keseluruhan., maka putusan apapaun yang diambil, baik, jelek atau bahkan naïf, tetap saja menjadi putusan apapun yang harus dijunjung tinggi. Karena pilihan yang berdasarkan suara rakyat terbanyak tidak berarti yang “terbaik”, maka konsep demokrasi yang putusannnya selalu didasarkan pada suara “terbanyak” bukan atau belum tentu merupakan suatu putusan yang terbaik bagi rakyatnya. Jika dalam suatu Negara kebanyakan rakyatnya kurang pendidikannya atau kurang informasi tentang berbagai hal, di ikut sertakan untuk memutuskan, maka tingkat keputusannya berbanding lurus dengan tingkat pendidikan dan penguasaan informasi tersebut. Sebaliknya, ada golongan rakyat yang umumnya merupakan rakyat dari kelas menengah ke atas, yang sebenarnya mereka dapat memutuskan secara “cerdas” sehingga putusannya lebih reasonable, tetapi golongan rakyat seperti ini lebih sedikit jumlahnya, sehingga seringkali kalah suara dengan suara rakyat yang mayoritas tersebut. Tidakkah kita semua berpikir bahwa secara tidak langsung pelaksaan Pemilihan Umum dan juga pemilihan lainnya yang sudah kita laksanakan dewasa ini ,bertentangan dengan budaya musyawarah untuk mufakat.
Dimulai dari tindakan memilih wakil-wakil yang belum tentu dikenal visi, misi maupun integritasnya oleh rakyat, kemudian para wakil rakyat yang katanya terpilih secara demokratis tetapi mereka juga mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan politik atau golongannnya sendiri. Alhasil, ketika para wakil rakyat harus memilih antara kepentingan rakyat yang diwakilinya dengan kepentingan pribadinya, adalah manusiawi jika mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadinya sendiri. Disamping itu, kepentingan rakyat atau kelompok rakyat yang diwakili oleh wakilnya dalam system perwakilan tidak pernah jelas sekali bagi para wakilnya bahkan juga belum tentu jelas bagi rakyat yang diwakilinya, apalagi jika rakyat yang diwakilinya cukup bervariasi dengan kepentingan yang berbeda-beda bahkan saling bertolak belakang.
Aspek prosedural yang sangat dipuja-puja dalam suatu sistem perwakilan dan demokrasi misalnya persoalan tentang sudahkah wakilnya menang dengan angka mayoritas, sudahkah memilih dengan suatu sistem pemilihan yang tidak dipaksa-paksa, sudahkah jumlah suara rakyat yang dihitung secara benar, bagaimana pembagian sisa suara yang tidak terwakili, dan berbagai aspek prosedural lainnya. Tentang materi dan tujuan yang hendak dicapai oleh sistem demokrasi umumnya tidak diteropong dengan tuntas. Sehingga terbentuklah suatu sistem “demokrasi tanpa esensi dan tujuan” yang akhirnya terombang ambing dan menerawang saja seperti layang-layang putus tali yang sedang ditiup angin. Sistem demokrasi layang-layang memang terjadi hanya di Negara ini.
Sistem pemerintahan dalam perjalanannya membentuk beberapa partisipasi politik, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan Negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pada budaya politik ini, anggota masyarakat telah menyadari betul hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara.
Pemungutan suara ini, walaupun bermakna pemberian hak pilih, tidak perlu digunakan di dalam syariat untuk pemilihan hakim/pemimpin. Alhasil terbentuknya kelompok-kelompok di dalam gedung penyalur aspirasi rakyat. Pengambilan suara merupakan alternatif terakhir bila kita melihat dan memahami maksud dari sila ke-4 pancasila.
Hal ini tidak menjadi kebiasaan bangsa Indonesia, bagi kita apabila pengambilan keputusan secara bulat itu tidak bisa tercapai dengan mudah, baru diadakan pemungutan suara.Kebijaksanaan ini merupakan suatu prinsip bahwa yang diputuskan itu memang bermanfaat bagi kepentingan rakyat banyak.Jika demokrasi diartikan sebagai kekuatan, maka dari pengamatan sejarah bahwa kekuatan itu memang di Indonesia berada pada tangan rakyat atau masyarakat.
Secara sederhana, pembahasan sila ke 4 adalah demokrasi. Demokrasi yang mana dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Pemimpin yang hikmat adalah pemimpin yang berakal sehat, rasional, cerdas, terampil, dan seterusnya pada hal-hal yang bersifat fisik/jasmaniah; sementara kebijaksanaan adalah pemimpin yang berhatinurani, arif, bijaksana, jujur, adil, dan seterusnya pada hal-hal yang bersifat psikis/rohaniah.
Jadi, pemimpin yang hikmat-kebijaksanaan itu lebih mengarah pada pemimpin yang profesional (hikmat) dan juga dewasa (bijaksana). Itu semua negara demokratis yang dipimpin oleh orang yang dewasa profesional dilakukan melalui tatanan dan tuntunan permusyawaratan/perwakilan.Tegasnya, sila keempat menunjuk pada NKRI sebagai Negara demokrasi-perwakilan yang dipimpin oleh orang profesional-dewasa melalui sistem musyawarah. Sebuah kesadaran bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Besar menurut keyakinan beragama masing-masing, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan ke atas harkat dan martabat manusia, serta memperhatikan penguatan dan pelestarian kesatuan nasional menuju keadilan sosial. Semua berawal dari mimpi dan berlari mengejar mimpi tersebut melalui pendidikan, pendidikan formal ataupun pendidikan non-formal. Peran dari lingkup terkecil sekalipun sangat berpengaruh untuk menciptakan moralitas dan menumbuhkan rasa cinta terhadap Bangsanya. Seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang “berjalan” mengikuti pendahulunya dan “berlari” untuk mengejar bahkan mendahului pendahulunya. Namun fakta tidak berbicara demikian, hanya segelintir pemuda bangsa yang memiliki pandangan seperti itu. Bahkan mirisnya ada saja yang berlari menjauhi mimpinya tersebut. Benar kita harus belajar dari sejarah, tapi jadikanlah sejarah sebagai pedoman untuk menuju impian tersebut bukan dijadikan buku panduan dalam pemerintahan Negara pada saat ini.
Sampai kapan kita seperti ini dan entah apa yang dapat merubah semua kenaifan dalam negara ini. Sem Kita saudara, kita satu kesatuan dan kita adalah sebuah keluarga besar dalam bentuk sebuah negara dari bagian Tenggara dari Benua Asia yang ingin di pandang sebagai Bintang bukan sekedar layang-layang.
Sumber : http://ift.tt/1rA1ET7