Suara Warga

Pembunuhan Karakter Keprofesian Industri Strategis Nasional

Artikel terkait : Pembunuhan Karakter Keprofesian Industri Strategis Nasional

Kasus-kasus kriminalisasi korporasi oleh oknum penegak hukum yang belakangan marak terjadi sangat disayangkan sekali. Upaya kriminalisasi tersebut telah menunjukkan preseden buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia, tidak jelasnya ranah kasus tersebut apakah pidana atau perdata telah berakibat terhadap adanya ketidakpastian hukum terhadap keprofesian putra putri bangsa yang menjadi korban dari kasus kriminalisasi korporasi tersebut.



Belakangan seperti kita ketahui terdapat sejumlah kasus hukum yang terindikasi akibat kriminalisasi oknum kejaksaan. Seperti kasus Merpati Airlines dengan korban Hotasi Nababan, kasus bioremediasi Chevron dengan korban Herlan Bin Ompo, Ricksy Prematuri, Bachtiar Abdul Fatah, Endah Rumbiyanti, Widodo, Kukuh Kertasafari, kasus kerjasama penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 Ghz antara PT Indosat dan anak usahanya PT Indosat Mega Media (IM2) dengan korban Indar Atmanto, dan perkara pengadaan pekerjaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2) dengan korban Chris Leo Manggala, Surya Dharma Sinaga, Rodi Cahyawan, Muhammad Ali, Supra Dekanto, dan Mohammad Bahalwan.



Sejumlah kasus tersebut dipidanakan dengan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) oleh oknum kejaksaan, meskipun secara bukti dan fakta tidak menunjukan adanya unsur pidana korupsi. Tidak dapat dipungkiri bahwa naiknya pamor KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah memaksa kejaksaan untuk memburu kasus-kasus “tanpa tangkap tangan” dengan bermodalkan beberapa pasal sakti sapu jagat untuk menjerat anak-anak bangsa yang mengabdikan diri untuk kemajuan industri vital dan strategis nasional. Industri transportasi (merpati), perminyakan (Chevron), telekomunikasi (IM2), dan listrik (PLN).



Putusan MA yang telah dibuat dengan menghukum Indar Atmanto (IM2) 8 tahun penjadara dan Bachtiar Abdul Fatah (Chevron) dengan 4 tahun penjara ditambah denda 200 juta rupiah telah mengecewakan banyak pihak, tidak hanya di kalangan pengusaha/ investor, tetapi pada kelompok profesi yang bekerja di bawah korporasi tersebut. Meskipun upaya hukum masih bisa ditempuh dengan melakukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan MA. Jika bercermin dari kasus kriminalisasi profesi dokter (kasus dokter ayu) yang terjadi beberapa waktu lalu yang pada akhirnya mengabulkan permohonan PK dokter Ayu, hal ini tentu saja tidak terlepas dari tekanan publik ketika aksi solidaritas dari ribuan dokter yang melakukan longmarch dari Tugu Proklamasi, Bundaran Hotel Indonesia, dan ke kantor Mahkamah Agung.



Apakah memang harus seperti itu cermin ditegakkannya keadilan di Indonesia? (Tekanan Publik)



Lebih lanjut dampak psikologis yang ditimbulkan dari kasus-kasus tersebut dapat juga diartikan sebagai pembunuhan karakter keprofesian secara perlahan-lahan. Para profesional di industri tersebut menjadi resah dan takut menjalankan bisnis dan pekerjaan. Keresahan dan ketakutan pekerja untuk menandatangani kontrak dan perintah kerja akibat tidak adanya jaminan hukum yang jelas telah. Hal ini bisa berdampak pada mundurnya kinerja pekerja, perusahaan, dan menganggu pertumbuhan ekonomi makro mengingat industri tersebut adalah industri strategis nasional yang menyokong langsung perekonomian nasional. Jika hal ini tidak segera disikapi oleh pemerintah, maka hal ini dapat menjadi ancaman serius terhadap upaya pemerintah baru mencapai target pertumbuhan ekonomi 7%.

Dalam tatanan operasional manajemen di industri strategis nasional, tanggung jawab pekerjaan para profesional telah diatur oleh peraturan internal Perusahaan dan pastinya telah diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip good governance. Penegakan hukum dalam dunia bisnis seiring perkembangannya tidak lagi berdiri sendiri pada hukum perdata, hukum administrasi negara yang berlaku, dan hukum korporasi. Kasus kriminalisasi ini telah menciptakan realita bahwa kini resiko maupun tuntutan hukum yang dihadapi oleh korporasi tidak terbatas lagi pada resiko maupun tuntutan hukum perdata akan tetapi lebih jauh telah menyentuh kepada seorang pegawai biasa pada resiko dan tuntutan hukum pidana walaupun mereka telah bekerja patuh dan profesional sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan kepadanya.

Yang menjadi pertanyaan bersama kita lebih lanjut adalah, apakah akan ada lagi putra-putri bangsa kita yang menjadi “korban” berikutnya? Tugas pemerintah barulah yang harus mengarahkan Kejaksaan dan KPK bagaimana untuk lebih jeli melihat kasus-kasus tersebut tidak hanya mengejar target/ milestone yang sporadis untuk menaikkan pamor institusi tersebut dan hakim cenderung melakukan yurisprudensi serta menghukum putra-putri bangsa yang tidak terbukti bersalah. Saat ini masyarakat masih melihat “operasi tangkap tangan” menjadi yang paling pas untuk memastikan bahwa target adalah benar-benar koruptor dan bukan menghukum orang yang bukan koruptor dan memang tidak ada kerugian negara yang timbul. Masyarakat Indonesia saat ini jauh lebih kritis dapat melihat kasus-kasus yang memang benar-benar dinilai korupsi atau tidak. Harapan dan keyakinan terhadap lembaga pengadilan untuk penegakan hukum di Indonesia juga ditantang, jangan sampai kepercayaan masyarakat menjadi luntur dan hilang oleh hakim-hakim yang tidak teliti, profesional, dan komprehensif dalam melihat seluruh fakta-fakta persidangan. Jangan pernah ragu untuk membebaskan yang bukan koruptor, karena rakyat melihat itu juga sebagai pencapaian institusi penegak hukum yang membanggakan.




Sumber : http://ift.tt/1rxdEWt

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz