PARADIGMA NEO-REALISME DALAM ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
Beberapa hari yang lalu penulis menonton salah satu acara yang mirip seperti “National Geographic” di televisi. Acara tersebut menunjukkan “natural life” dalam kehidupan di hutan. Cheetah merupakan salah satu predator yang paling individualis di dunia ini berbeda dengan hiena (anjing hutan) yang merupakan predator berkelompok. Dalam konteks paradigma neo-realis, Kenneth Waltz melihat bahwa sistem internasional adalah anarki. Anarki yang dimaksudkan oleh Kenneth Waltz adalah physical force. Dan perilaku-perilaku daripada unit-unit yang ada di dalam sistem internasional sangat beragntung dari struktur internasional yang bersifat hirarkis. Hubungan antara pemikiran Kenneth Waltz dan contoh “natural life” diatas adalah hiena yang merupakan predator berkelompok mempunyai kesamaan konsep dengan bandwagon yang ia deskripsikan (negara yang melakukan kerjasama untuk melakukan eksplorasi/eksploitasi terhadap negara lain mempunyai tingkat kemungkinan yang lebih besar dibandingkan hanya sendirian). Jika diperhatikan “potongan kue” yang akan didapatkan oleh cheetah dan hiena adalah sama besarnya. Cheetah walaupun berburu secara individualis, ia, hanya mampu memangsa seekor antelop. Sedangkan, hiena bisa mendapatkan mangsa yang lebih besar tetapi potongan yang didapatkan harus dibagi-bagi dengan kelompoknya.
Dalam pemikiran Kenneth Waltz dalam melihat sistem internasional sama halnya dengan konsep “survival of the fittest” dari para materialis. Natural selection yang diungkapkan ahli sosiologi Inggris Herbert Spencer dan biologi Charles Darwin, namun hal yang diungkapkan oleh kedua ilmuwan tersebut tidak dapat dilihat secara tekstual saja. Unit-unit didalam sistem internasional selalu berusaha untuk mempertahankan eksistensi mereka, yang biasa dideskripsikan dengan cara beradaptasi dengan perubahan. Kenneth Waltz juga menyinggung masalah spesialisasi yang dilakukan oleh negara-negara dalam pemikirannya, pemikiran tersebut memang sangat terkait dalam konsep comparative advantage dalam ilmu ekonomi yang pernah diajukan oleh David Ricardo. Setiap negara yang berusaha untuk melakukan spesialisasi didalam sistem internasional itulah yang dinamakan self-help system dan mereka berusaha mendapatkan keuntungan dari spesialisasi tersebut (spesialisasi = self-help system). Salah satu contoh comparative advantage yang bisa diambil adalah “interdependence” antara Amerika Serikat dan Arab Saudi. Amerika Serikat sangat bergantung dengan minyak dari Arab Saudi dan Arab Saudi bergantung dengan senjata-senjata yang diproduksi oleh Amerika Serikat.
Self-help system inilah yang menjadi esensi utama dari mazhab realis ataupun neo-realis. Self-help system ini sering digambarkan dengan konsep “the war of all against all” dari Thomas Hobbes. Bunglon dan Dugong adalah contoh hewan yang mempraktekkan hal tersebut, mereka tidak pernah menyerang seperti Cheetah dan Hiena. Tetapi lebih dahulu menunggu musuh untuk memasuki wilayahnya dan kemudian melakukan serangan dengan tiba-tiba. Bunglon dan Dugong menyamar dengan keadaan sekelilingnya agar “tidak terdeteksi” musuh lalu menyerang secara tiba-tiba dengan spesialisasinya masing-masing untuk bertahan hidup. Bunglon menyamar dengan warna di sekelilingnya dan Dugong menyamar seperti batuan karang dan berharap bahwa mangsanya menangkap impresi yang diharapkan dan terjebak oleh perangkap tersebut. Hal ini biasa yang disebut reflexive method, impresi atau gambaran yang dipantulkan sesuai dengan jebakan yang “dipasang” oleh Bunglon dan Dugong tersebut. That’s natural life in neo-realisme context. Dalam hal ini kelemahan yang juga terlihat adalah “puncak rantai makanan” (superpower/global power atau apa pun itu) tetap saja akan habis oleh belatung.
Carl Von Clausewitz dalam bukunya “On War” pernah menyusun konsep strategi “The Surprise” ia mengatakan “The moral effects which attend a surprise often covert the worst case into a good one for the side they favour and don’t allow the other to make any regular determination” . Dalam faktanya serangan tiba-tiba seperti ini seringkali “menjatuhkan” moral (yang dimaksud Clausewitz lebih ke arah mental) si pihak antagonis dalam contoh kasus ketika Jepang terkena Fat Man dan Litte Boy yang kemudian menjadi akhir dari World War II. Dan hal tersebut di dalam situasi politik internasional yang digambarkan sebagai non-zero sum game. Karena pada situasi simetris, si mangsa melihat bahwa gambaran adalah perfect information sedangkan hal tersebut sebenarnya adalah jebakan dan terjadilah posisi non-zero sum game. (Jepang tidak memiliki informasi yang lengkap mengenai adanya Manhattan Project). Maka dari itu didalam menyikapi situasi yang demikian haruslah melihatnya dalam frame asimetris. Menurut Clauzewitz pun kerusakan secara fisik sama halnya dengan kerusakan terhadap psikologis yang bersangkutan . Dalam hal ini pemikiran neo-realis Waltz walaupun mempunyai perbedaan dengan pendahulu-pendahulunya tetapi tetap saja mempunyai esensi yang sama dalam hal self-help system dan material force. Material force disini juga tidak hanya terkait dengan kekuatan militer, walaupun Waltz lebih cenderung menggambarkan hal tersebut dengan kekuatan militer. Ia menyatakan bahwa sebuah negara yang ekonominya kuat bisa mempunyai kelemahan di bidang militer. Tetapi, apakah kekayaan finansial suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai material force? Dalam ilmu ekonomi dan juga politik internasional seringkali ditemukan kasus-kasus yang melibatkan uang sebagai kekuatan untuk melakukan proses tawar-menawar. Contohnya ada saja suatu negara yang berusaha untuk “menaklukkan” negara lain dengan kekuatan kapital yang dimilikinya. Pemikiran Waltz juga terkait dengan konsep fiskal dari John Maynard Keynes, dimana fiskal tidak hanya berkaitan dengan masalah pajak (taxes) tetapi juga pengeluaran pemerintah (government spending). Government spending ini seringkali digunakan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Inggris untuk memperkuat kekuatan militernya. Pemerintah melakukan pembelian senjata-senjata dari industri (atau yang sering disebut military-industrial complex yang pernah diungkapkan Dwight D. Eisenhower) untuk “memompa” perekonomian dengan cara berperang. Max Weber juga sebenarnya telah mengungkapkan hal tersebut, “a lost war, as well as succesfull war, bring increased business to these banks and industries” . Untuk masalah reduksionis teori yang diungkapkan oleh Kenneth Waltz penulis melihat bahwa Waltz tidak yakin dengan konsep equilibrium yang sama halnya dengan balance of power dalam politik internasional. Yang menurut Waltz hal itu berasal dari pemikiran para aliran behavioralist. Penulis mengkritik tulisan Waltz yang menggambarkan sistem bipolar pada masa Napoleon menguasai Eropa. Menurut data yang penulis dapatkan Napoleon justru berusaha menciptakan unipolar bukan bipolar .
KRITIK
Pemikiran Kenneth Waltz masih tetap mempunyai kesamaan dengan para pendahulunya dengan melihat struktur untuk melakukan prediksi. Di dalam kenyataannya perfect information/balance of power/equilibrium adalah hal yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Karl Popper menyatakan bahwa sebuah teori harus bisa difalsifikasi secara ilmiah maka ia dapat dikategorikan teori yang ilmiah. Kenapa dalam situasi apapun ilmuwan tidak dapat melakukan prediksi? Imperfect Information di dalam sistem internasional bisa terjadi walaupun negara-negara mempunyai peralatan yang canggih untuk kegiatan intelejen mereka, seberapa banyak informasi yang akan mereka tampun untuk direduksi untuk mencapai suatu kesimpulan yang benar-benar sahih. Di satu sisi pemikiran natural dari Waltz (natural selection dalam artian beradaptasi) mempunyai kelebihan tetapi karena metode prediksi yang ia perkenalkan maka menurut saya Waltz kurang memperhatikan faktor-faktor random effect dalam suatu situasi.
DAFTAR PUSTAKA
Clausewitz, Carl von (1780), On War no publisher
Durant, Will (1975), The Story of Civilization Vol. XI, The Age of Napoleon, New York : Simon & Schuster
Waltz, Kenneth (1979), Theory of International Politics, Addison-Wesley Publishing Company
Weber, Max (1946), Essays in Sociology ed & trans. by H.H. Gerth & C. Wright Mills, Oxford University Press
Sumber : http://ift.tt/1wjiFYl
Dalam pemikiran Kenneth Waltz dalam melihat sistem internasional sama halnya dengan konsep “survival of the fittest” dari para materialis. Natural selection yang diungkapkan ahli sosiologi Inggris Herbert Spencer dan biologi Charles Darwin, namun hal yang diungkapkan oleh kedua ilmuwan tersebut tidak dapat dilihat secara tekstual saja. Unit-unit didalam sistem internasional selalu berusaha untuk mempertahankan eksistensi mereka, yang biasa dideskripsikan dengan cara beradaptasi dengan perubahan. Kenneth Waltz juga menyinggung masalah spesialisasi yang dilakukan oleh negara-negara dalam pemikirannya, pemikiran tersebut memang sangat terkait dalam konsep comparative advantage dalam ilmu ekonomi yang pernah diajukan oleh David Ricardo. Setiap negara yang berusaha untuk melakukan spesialisasi didalam sistem internasional itulah yang dinamakan self-help system dan mereka berusaha mendapatkan keuntungan dari spesialisasi tersebut (spesialisasi = self-help system). Salah satu contoh comparative advantage yang bisa diambil adalah “interdependence” antara Amerika Serikat dan Arab Saudi. Amerika Serikat sangat bergantung dengan minyak dari Arab Saudi dan Arab Saudi bergantung dengan senjata-senjata yang diproduksi oleh Amerika Serikat.
Self-help system inilah yang menjadi esensi utama dari mazhab realis ataupun neo-realis. Self-help system ini sering digambarkan dengan konsep “the war of all against all” dari Thomas Hobbes. Bunglon dan Dugong adalah contoh hewan yang mempraktekkan hal tersebut, mereka tidak pernah menyerang seperti Cheetah dan Hiena. Tetapi lebih dahulu menunggu musuh untuk memasuki wilayahnya dan kemudian melakukan serangan dengan tiba-tiba. Bunglon dan Dugong menyamar dengan keadaan sekelilingnya agar “tidak terdeteksi” musuh lalu menyerang secara tiba-tiba dengan spesialisasinya masing-masing untuk bertahan hidup. Bunglon menyamar dengan warna di sekelilingnya dan Dugong menyamar seperti batuan karang dan berharap bahwa mangsanya menangkap impresi yang diharapkan dan terjebak oleh perangkap tersebut. Hal ini biasa yang disebut reflexive method, impresi atau gambaran yang dipantulkan sesuai dengan jebakan yang “dipasang” oleh Bunglon dan Dugong tersebut. That’s natural life in neo-realisme context. Dalam hal ini kelemahan yang juga terlihat adalah “puncak rantai makanan” (superpower/global power atau apa pun itu) tetap saja akan habis oleh belatung.
Carl Von Clausewitz dalam bukunya “On War” pernah menyusun konsep strategi “The Surprise” ia mengatakan “The moral effects which attend a surprise often covert the worst case into a good one for the side they favour and don’t allow the other to make any regular determination” . Dalam faktanya serangan tiba-tiba seperti ini seringkali “menjatuhkan” moral (yang dimaksud Clausewitz lebih ke arah mental) si pihak antagonis dalam contoh kasus ketika Jepang terkena Fat Man dan Litte Boy yang kemudian menjadi akhir dari World War II. Dan hal tersebut di dalam situasi politik internasional yang digambarkan sebagai non-zero sum game. Karena pada situasi simetris, si mangsa melihat bahwa gambaran adalah perfect information sedangkan hal tersebut sebenarnya adalah jebakan dan terjadilah posisi non-zero sum game. (Jepang tidak memiliki informasi yang lengkap mengenai adanya Manhattan Project). Maka dari itu didalam menyikapi situasi yang demikian haruslah melihatnya dalam frame asimetris. Menurut Clauzewitz pun kerusakan secara fisik sama halnya dengan kerusakan terhadap psikologis yang bersangkutan . Dalam hal ini pemikiran neo-realis Waltz walaupun mempunyai perbedaan dengan pendahulu-pendahulunya tetapi tetap saja mempunyai esensi yang sama dalam hal self-help system dan material force. Material force disini juga tidak hanya terkait dengan kekuatan militer, walaupun Waltz lebih cenderung menggambarkan hal tersebut dengan kekuatan militer. Ia menyatakan bahwa sebuah negara yang ekonominya kuat bisa mempunyai kelemahan di bidang militer. Tetapi, apakah kekayaan finansial suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai material force? Dalam ilmu ekonomi dan juga politik internasional seringkali ditemukan kasus-kasus yang melibatkan uang sebagai kekuatan untuk melakukan proses tawar-menawar. Contohnya ada saja suatu negara yang berusaha untuk “menaklukkan” negara lain dengan kekuatan kapital yang dimilikinya. Pemikiran Waltz juga terkait dengan konsep fiskal dari John Maynard Keynes, dimana fiskal tidak hanya berkaitan dengan masalah pajak (taxes) tetapi juga pengeluaran pemerintah (government spending). Government spending ini seringkali digunakan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Inggris untuk memperkuat kekuatan militernya. Pemerintah melakukan pembelian senjata-senjata dari industri (atau yang sering disebut military-industrial complex yang pernah diungkapkan Dwight D. Eisenhower) untuk “memompa” perekonomian dengan cara berperang. Max Weber juga sebenarnya telah mengungkapkan hal tersebut, “a lost war, as well as succesfull war, bring increased business to these banks and industries” . Untuk masalah reduksionis teori yang diungkapkan oleh Kenneth Waltz penulis melihat bahwa Waltz tidak yakin dengan konsep equilibrium yang sama halnya dengan balance of power dalam politik internasional. Yang menurut Waltz hal itu berasal dari pemikiran para aliran behavioralist. Penulis mengkritik tulisan Waltz yang menggambarkan sistem bipolar pada masa Napoleon menguasai Eropa. Menurut data yang penulis dapatkan Napoleon justru berusaha menciptakan unipolar bukan bipolar .
KRITIK
Pemikiran Kenneth Waltz masih tetap mempunyai kesamaan dengan para pendahulunya dengan melihat struktur untuk melakukan prediksi. Di dalam kenyataannya perfect information/balance of power/equilibrium adalah hal yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Karl Popper menyatakan bahwa sebuah teori harus bisa difalsifikasi secara ilmiah maka ia dapat dikategorikan teori yang ilmiah. Kenapa dalam situasi apapun ilmuwan tidak dapat melakukan prediksi? Imperfect Information di dalam sistem internasional bisa terjadi walaupun negara-negara mempunyai peralatan yang canggih untuk kegiatan intelejen mereka, seberapa banyak informasi yang akan mereka tampun untuk direduksi untuk mencapai suatu kesimpulan yang benar-benar sahih. Di satu sisi pemikiran natural dari Waltz (natural selection dalam artian beradaptasi) mempunyai kelebihan tetapi karena metode prediksi yang ia perkenalkan maka menurut saya Waltz kurang memperhatikan faktor-faktor random effect dalam suatu situasi.
DAFTAR PUSTAKA
Clausewitz, Carl von (1780), On War no publisher
Durant, Will (1975), The Story of Civilization Vol. XI, The Age of Napoleon, New York : Simon & Schuster
Waltz, Kenneth (1979), Theory of International Politics, Addison-Wesley Publishing Company
Weber, Max (1946), Essays in Sociology ed & trans. by H.H. Gerth & C. Wright Mills, Oxford University Press
Sumber : http://ift.tt/1wjiFYl