Suara Warga

Menyambut Datangnya Pemimpin (Semoga) yang Negarawan

Artikel terkait : Menyambut Datangnya Pemimpin (Semoga) yang Negarawan

Oleh Odios Arminto

SEMBOYAN lawas tentang kepemimpinan yang sangat popular dan sederhana, “The right man in the right place” (orang benar di tempat yang benar) ternyata tidak sesederhana dalam praktiknya. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi justru sangat bervariasi. Dua hal yang sangat mengkhawatirkan adalah jika terjadi orang benar di tempat yang salah dan orang salah di tempat yang benar.

Kerinduan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin berkualitas yang diharapkan dapat menjadi inspirasi dan pendorong bagi kemajuan bangsa dan Negara, hanya utopia belaka? Sosok Ratu Adil atau Satria Piningit atau apapun namanya yang terbawa dalam mimpi-mimpi mereka, hanya lintasan katarsis yang sejenak mengobati luka-luka batin bangsa ini. Ia tak pernah datang. Tak tahu pula kapan datangnya.


Pengejawantahan kepemimpinan yang berbasis ajaran luhur nenek moyang seperti Hasta Brata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma Raja dan satu lagi versi Ki Hajar Dewantara (Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani) seharusnya dapat menjadi pemantik inspirasi dan orientasi bagi calon pemimpin bangsa ini. Namun apa yang kemudian terjadi? Semua larut dalam eforia dan pusaran angin besar demokrasi semu yang berujung pada primordialisasi kepentingan individu dan kelompok (parpol). Wacana-wacana tentang kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa hanya sebatas kosmetik dan kembang lambe (lips service) belaka.

Ajaran tentang Hasta Brata, misalnya, sebagai gagasan dasar untuk pegangan pemimpin tergolong sangat lengkap dan paripurna. Delapan prinsip kepemimpinan sosial yang mengacu filosofi atau sifat alam: air, api, tanah, angin, laut, matahari, bulan dan bintang ini sesungguhnya sudah sangat memadai. Para ahli manajemen dunia umumnya hanya menyentuh filosofi alam tersebut secara parsial atau terpisah-pisah.


Tampaknya semangat me-reaktualisasi Hasta Brata perlu dilakukan oleh pemikir manajemen (umum maupun kenegaraan) bangsa kita agar ajaran luhur ini tidak berkutat di sekitar kajian filosofis atau abstraksi-abstraksi semata; ia perlu disusun ulang secara lengkap dan komprehensif dari aspek filosofi hingga aplikasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari masa kini. Dari rumusan paling sederhana untuk konsumsi anak-anak sekolah dasar hingga rumusan yang sangat kompilkatif di tingkat lanjut. Diharapkan, generasi mendatang dapat memetik manfaatnya, sehingga sebagai salah satu ajaran luhur ia dapat merasuk ke dalam sikap mental dan moral-etik anak-anak bangsa.


***

Pemimpin, hakikatnya juga manusia. Setiap manusia memiliki karakteristik dan stilisasi yang berbeda-beda. Rujukan di bawah ini, mungkin dapat membantu kita dalam memahami calon-calon pemmpin negeri ini yang kelak bakal mengemban amanah yang dipercayakan rakyat kepadanya. Pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna, demikian nasihat peribahasa. Termasuk kategori mana calon pemimpin Anda?


Sedikitnya ada enam tipe kepirbadian manusia versi Robin dan Paul Grawe. Kesimpulan ini didapat setelah keduanya melakukan tes di Ithaca, New York, 1994 sebagai upaya memperoleh pengukuran empiris untuk studi humanistik. Tipe kepribadian ini bukan tak mungkin berubah atau berkembang dalam modus dan versi test lain yang berbeda. Upaya ini hampir mirip yang ada di ilmu Katuranggan dalam kitab primbon Jawa Kuno, hanya metode perumusan dan sistematikanya yang agak berbeda.

Tipe Bridgebuilder, seseorang yang bekerja bersama orang-orang dengan simpati dan juga berkeinginan untuk memperbaiki kesalahan. Tipe Crusader , seseorang yang memandang masalah secara obyektif dan berusaha untuk memperbaiki masalah itu. Tipe Advocate , seseorang yang menggunakan bakat verbalnya untuk memperbaiki masalah. Tipe Intellectual, seseorang yang suka menguraikan pandangannya dengan fakta, kata-kata, dan ide-ide. Tipe Reconciler , seseorang yang memahami kesusahan orang lain dan berempati pada mereka. Tipe Consoler, seseorang yang berempati pada orang-orang yang dalam kesusahan dan mengalami kepahitan hidup dengan cara tahu harus berkata apa.

Di sisi yang lain, masyarakat juga perlu mengenal tipologi dasar calon pemimpinnya. Sedikitnya ada delapan dimensi tipologi dasar manusia. Masyarakat dapat mencermati calon pemimpin itu apakah mereka bertipe: ekstrovet, introvet, intuitif, pemikir, perasa, pengamat, sensasional atau penjustifikasi? Mengenal ini penting untuk menimbang apakah di posisinya nanti si calon bakal berperan secara maksimal atau sebaliknya?

Setiap orang memiliki gaya komunikasi yang berbeda-beda. Menurut Carla Rieger, sedikitnya ada empat gaya komunikasi para calon pemimpin; yaitu: Demonstran, Assertors, Contemplators, dan Narrators. Masyarakat dapat mencermati gaya mereka dalam kampanye atau saat berpidato atau berkomunikasi dengan orang lain. Termasuk katagori yang mana mereka?

Gaya demonstran menunjukkan orang yang berorientasi, cepat dan antusias. Mereka biasanya memiliki pemikiran lebih terbuka dan santai. Mereka cenderung lincah bergerak, dan lebih suka suasana informal. Demonstran dapat bertindak keterlaluan, spontan, bersemangat dan suka bergaul. Mereka tergolong orang yang ingin menjadi pusat perhatian. Jika gaya ini sampai berlebihan beberapa kelemahan mungkin akan terlihat seperti tidak dapat diandalkan, egois, terlalu optimistis dan tidak pandang bulu.

Mereka cenderung: agak tidak teratur, mengalami kesulitan tepat waktu dan membuat rincian, suka memakai warna-warna cerah, suka duduk di ruang terbuka, suka mengambil inisiatif dalam percakapan, tertawa dengan mudah dan keras, suka bersenang-senang, dan suka berbicara tentang diri mereka sendiri.

Gaya assertors (tegas) serba cepat dan langsung; seperti demonstran, tetapi lebih berorientasi pada tugas daripada orientasi individu. Mereka cenderung menjadi pekerja keras, ambisius, tipe pemimpin. Mereka pandai membuat keputusan dengan cepat dan efisien. Mereka berorientasi pada tujuan, tegas dan percaya diri. Assertors adalah orang yang bertanggung jawab, tidak membiarkan orang lain menghentikan mereka. Jika berlebihan, beberapa kelemahan mungkin terlihat, seperti tidak sabaran, bersaing yang tidak sehat dan suka menghakimi.

Mereka cenderung: tepat waktu dan efisien, tampil powerful dan formal, duduk dengan postur tegak, sangat diskriminatif di banyak hal (orang, peluang, makanan, dll), tertawa lebih jarang daripada demonstran, mempertahankan sikap yang lebih serius, mengambil peran kepemimpinan dalam banyak situasi, mengajukan pertanyaan dengan menunjuk atau menantang, memiliki pendapat yang kuat dan ide kreatif untuk berbagi.

Gaya contemplators (perenung, pemikir) berorientasi pada tugas seperti assertors. Namun mereka tidak secara langsung dan terlihat seakan lambat atau mondar-mandir. Contemplators cenderung analitis, berorientasi pada detail, jenis pemikir. Mereka gigih, pemecah masalah yang baik, dan membanggakan diri pada keteraturan dan akurasi. Sering terlihat sendirian, mereka cenderung memiliki jiwa yang tenang, low profile. Jika berlebihan beberapa kelemahan mungkin terlihat seperti terlalu menarik diri dari pergaulan, kaku, berpikiran tertutup, dan terlalu pesimistis.

Mereka cenderung: konservatif, sederhana, fungsional, duduk dalam posisi tertutup, menjaga diri sendiri, tidak memulai percakapan, menunggu orang lain melakukan itu, suka mencatat, mempertahankan ketelitian, tetap serius, jarang tertawa, ingin mendengar fakta, angka, statistik dan bukti.

Gaya narrators (penutur, pencerita) cenderung lambat mondar-mandir dan tidak langsung seperti contemplators, tetapi mereka lebih berorientasi seperti demonstran. Mereka hangat, ramah, lembut dan kooperatif. Mereka sangat menghargai relationship berdasarkan tujuan. Mereka pandai mendengarkan, memiliki temperamen manis, dan cenderung berpikiran terbuka. Kebanyakan orang gampang terpikat oleh penampilannya. Jika gaya ini berlebihan, dapat terlihat kelemahannya seperti terlalu lemah lembut dan gampang berubah.

Mereka cenderung: tampil sebagai sangat akomodatif dan membantu, kasual, pakaian sederhana, tidak terlalu mencolok, mengambil inisiatif untuk menciptakan hubungan, ingin bicara baik dan mau mendengarkan, memiliki foto-foto keluarga di meja mereka, tertawa diam-diam dan sering (tapi kadang mereka tertawa hanya demi sopan santun), dan mudah menunjukkan rasa terima kasih.




***

Sejarah membuktikan, begitu banyak contoh pemimpin kelas negarawan yang dincintai bukan saja oleh bangsanya tetapi juga masyarakat dunia. Ini membuktikan bahwa figur sentral seorang pemimpin (dalam orbitnya masing-masing) sangat menentukan warna kredibilitas bangsa dan negaranya dalam periode tertentu. Menentukan warna kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya. Pemimpin kelas negarawan, senantiasa meninggalkan karya-karya penting, karya yang tak akan pernah dilupakan oleh rakyat dan bangsanya. Sungguh, rakyat Indonesia sangat merindukan pemimpin yang seperti itu.***




Sumber : http://ift.tt/11x1ZRC

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz