Suara Warga

Kontroversi Pengangkatan Menteri oleh Presiden Jokowi: “KPK - PPATK bukan Anak Kandung UUD 1945”?

Artikel terkait : Kontroversi Pengangkatan Menteri oleh Presiden Jokowi: “KPK - PPATK bukan Anak Kandung UUD 1945”?


Sampai dengan hari ke lima pasca Pelantikan Presiden ke 7 RI, Jokowi belum ada mengumumkan kabinetnya. Informasi yang terakhir berkembang bahwa pada Hari Minggu 25 Oktober 2014, akan diadakan pengumuman sekaligus perkenalan terhadap menteri yang baru. Verifikasi oleh KPK – PPTK terhadap calon menteri telah menyulut kontroversi oleh berbagai pihak dari kalangan DPR dan pakar hukum tata Negara yang antara lain mengatakan bahwa tindakan yag dilakukan oleh Presiden tidak sesuai dengan Hukum Tata Negara. Kalangan yang kontra mengacu kepada Pasal 14 UUD 1945 mengenai hak prerogatif presiden. Seolah-olah dengan hak prerogatifnya, presiden dengan kekuasaannya yang besar dan luas agar langsung saja secepatnya untuk menetapkan menterinya. Bagaikan “tukang sabung ayam” dengan bahasa-bahasa yang menyindir bahkan nyeleneh dikatakan bahwa Presiden Jokowi lamban mengambil keputusan dan tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin Negara Republik Indonesia ini. Padahal dengan rencana perubahan struktur organisasi kementerian, Presiden Jokowi juga harus meminta persetujuan kepada DPR, setelah itu susunan kementerian baru dapat diumumkan. Hal ini adalah berdasarkan UU Nomor 39 tahun 2008 tentang kementerian yang menyebut bahwa perubahan nomenklatur perlu meminta pertimbangan ke DPR.


Secara etimologi, prerogatif berasal dari bahasa latin praerogativa ( dipilih sebagai yang paling dahulu memberi suara), praerogativus (diminta sebagai yang pertama memberi suara), praerogare ( diminta sebelum meminta yang lain). Bahkan Padmo Wahjono menyatakan bahwa hak prerogatif yang selama ini disalahpahami adalah hak administratif Presiden yang merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak berarti lepas dari kontrol lembaga negara lain . Makanya didalam beberapa amanden UUD 45 dalam Pasal 14 Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan pertimbangan DPR.


Oleh sebab itu, apa yang salah dengan tindakan Presiden Jokowi dengan meminta verifikasi calon menteri kepada KPK – PPTK ? Menurut saya, salah satu penyebabnya adalah emosional konservatif dan fanatisme dangkal dari para elit dan pakar hukum Tata Negara yang melakukan dikotomi terhadap lembaga-lembaga Negara sebagai bagian dari sistem pemerintahan dan sistem politik Indonesia. Sebagaian besar dari kelompok ini adalah mereka yang tidak setuju dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, mereka yang mendukung dan fanatik terhadap demokrasi perwakilan dan yang mempertahankan agar pemilihan presiden dan kepala daerah bukan secara langsung oleh rakyat Indonesia. Pada hal sesuai dengan dinamika dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan untuk menciptakan cheks and balances, amandemen UUD 1945 mutlak diperlukan. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pendiri bangsa ini, boleh saja pemahaman terhadap Trias Politica nya Montesqiew adalah masih sebatas kebutuhan pada saat Negara ini dibentuk, begitu juga tentang Teoris David Easton yang menghasilkan Sistem Politik belum ada sebagai bahan rujukan. Masih banyak pihak yang belum dapat menerima eksistensi KPK – PPATK yang menjadi pemicu perubahan didalam segala hal dalam urusan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia tercinta ini. Karena lembaga ini adalah anak baru baru lahir, dan bukan dilahirkan dari Rahim UUD 1945, tetapi dari undang-undang sebagai turunan UUD 1945.


Amandemen UUD 1945 itu sendiri lahir dari dinamika praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan dan system politik di Indonesia, dimana yang menjadi sumber permasalahannya lahir dari UUD 1945 itu sendiri sebagai satu-satunya dasar hukum. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mahfud MD bahwa UUD 1945 tidak mampu menjamin terwujudnya pemerintahan demokratis, tidak adanya checks and balances, dominasi legislatif dalam mengatur masalah penting dalam UU versus lembaga legislatif didominasi oleh Presiden, kemudian kuatnya pemberian kepercayaan kepada penyelenggara Negara. Dan untuk mengatasi masalah-masalah ini harus melahirkan lagi berbagai peraturan dan perundang-undangan seperti UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo UU No. 25 Tahun 2003 jo UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta yang melahirkan kelembagaan termasuk penataan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).


Apapun itu nama dan perannya lembaga Negara, sejauh itu lahir dari semua sumber hukum Tata Negara, apalagi atas undang-undang, tidak ada alasan untuk tidak mengakui eksistensi dan perannya didalam urusan berbangsa dan bernegara. Dengan melakukan pengelompokan terhadap lembaga Negara didalam Sistem Pemerintahan dan Sistem Politik di Indonesia KPK – PPATK adalah masuk dalam rumpun ajudikasi kebijakan didalam output Sistem Pemerintahan dan Sistem Politik di Indonesia (Lihat diagram)




Dengan melihat diagram ini, yang harus menjadi pusat perhatian para elit terutama Presiden Jokowi adalah bagaimana proses input dalam sistem politik dan sistem pemerintahan di Indonesia direspon sesuai dengan ekspestasi masyarakat saat ini, toh Presiden Jokowi belum melampaui waktu empat belas hari sesuai dengan Pasal 16 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan bahwa batas akhir empat belas hari kerja sejak Presiden mengucapkan sumpah janji. Artinya, batas maksimal Presiden Jokowi umumkan kabinetnya adalah pada tanggal 7 November 2014. Oleh sebab itu mudah-mudah susunan kabinet yang akan diperkenalkan dan diumumkan oleh Presiden Jokowi pada hari atau mala mini Minggu 25 Oktober 2014 dapat memenuhi harapan rakyat Indonesia, khususnya terhadap penyelesaian berbagai masalah yang telah menghadang yang membuat negara ini jalan ditempat.







Sumber : http://ift.tt/12CNKuY

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz