Kerumitan Membentuk Kabinet
Usai dilantik tanggal 20 Oktober 2014 yang lampau, Presiden Joko Widodo—yang akrab disapa Jokowi—memperoleh sorotan media dan publik terkait dengan pembentukan Kabinet. Bagaimanapun, kabinet merupakan lingkungan jabatan yang terdiri atas menteri-menteri dan pejabat terkait yang akan membantu Presiden untuk segera bekerja, tak hanya menjalankan tugas teknis pemerintahan sehari-hari, akan tetapi juga menyusun program dan anggaran yang merupakan jabaran dari visi dan misi Presiden terpilih.
Menurut UUD 1945, Pasal 17 ayat 1 hingga 4 mengatur bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Preisden. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Pembentukan, perubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Telah dibentuk UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam Pasal 6, diatur bahwa Presiden harus sudah membentuk kabinet maksimal 14 hari kerja usai dilantik. Undang-undang memberikan daftar 34 urusan pemerintahan yang dapat dikelola oleh sebuah kementerian.
Tetapi hingga hari ini, 25 Oktober 2014, kabinet Presiden Joko Widodo belum terbentuk. Berbagai spekulasi mengemuka. Dari sulitnya kesepakatan akibat transaksi politik—yang seharusnya dihindari oleh Presiden sesuai janji saat kandidasi lampau—hingga persoalan teknis. Baik konstitusi dan undang-undang tidak memberikan rambu-rambu tegas, kecuali soal jangka waktu pembentukan kabinet. Presiden telah bekerja usai dilantik. Berbagai pertemuan dengan kepala negara dan kepala pemerintahan asing misalnya, tidak didampingi oleh seorang menteri, yang menjadi kelaziman dalam praktik pemerintahan. Kabinet Indonesia Bersatu II, telah dinyatakan berhenti bersamaan dengan purna masa bakti Presiden Yudhoyono per 20 Oktober lalu. Hanya 15 kementerian yang memiliki Wakil Menteri, jabatan setara eselon I tetapi bukan bagian dari kabinet, sehingga praktis struktur kabinet telah dianggap belum terisi, termasuk posisi Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kepala Badan Koordinasi Penaman Modal (BKPM), Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Sekretaris Kabinet. Tak ada unit kerja di lingkungan kepresidenan yang memiliki posisi politik untuk bukan saja mendampingi Presiden, tetapi memberikan dukungan dan layanan administrasi terkoordinasi untuk Presiden yang memasuki awal-awal masa bakti. Termasuk posisi Staf Khusus warisan Presiden terdahulu. Praktis, Presiden Joko Widodo “sendirian” dalam melaksanakan pekerjaannya.
Tim Transisi yang dipimpin oleh Rini Soemarno bukan unit kerja resmi di lingkungan kepresidenan, sehingga secara hukum dan politik sesungguhnya tidak bisa bertindak, bahkan sekedar menyampaikan kepada publik, rencana dan perilaku Presiden sehari-hari di awal memasuki Istana Negara. Kisruh rencana pengumuman kabinet di Pelabuhan Priok yang lalu menunjukkan situasi “kesendirian” Presiden Joko Widodo.
“Presiden Joko Widodo memanggil sejumlah tokoh yang diduga akan menjadi menteri”, demikian uraian berita atau ungkapan reporter televisi dalam mengkonfirmasi tindakan Presiden sebagai bagian dari aksi pembentukan kabinet. Publik tak pernah tahu siapa saja kandidat menteri—yang mestinya dipersiapkan Joko Widodo sejak jauh hari. Uniknya, kandidasi menteri didahului dengan informasi bahwa Presiden Joko Widodo menyerahkan nama-nama ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPTAK) yang belakangan menuai kontroversi karena diduga sejumlah kandidat menghadapi potensi persoalan hukum di kelak kemudian hari. Permintaan persetujuan DPR soal pembentukan, pengubahan, dan penggabungan struktur kabinet pun relatif baru dikirimkan yang nampaknya bisa memperlambat daya kerja Presiden dalam menuntas format kabinetnya.
Selama ini tak pernah ada format baku bagaimana rekrutmen kabinet dilakukan. Tetapi dari Presiden ke Presiden, ini merupakan pekerjaan awal yang selalu memperoleh sorotan luas. Konstitusi sama sekali tidak pernah berbicara komposisi, syarat, jangka waktu, dan struktur kabinet. Ia dianggap “hak prerogatif” Presiden, yang akhir-akhir ini pun dipertanyakan efektifitasnya.
Di Amerika Serikat (AS), Presiden terpilih yang telah bersumpah pun, menghadapi kekosongan aparatur saat memasuki Gedung Putih, akan tetapi telah tersedia unit kerja yang bekerja terus menerus sebagai bagian birokrasi yang mempermudah perilaku dan tindakan-tindakan kepala pemerintahan baru. Jumlah struktur kabinet adalah 14 kementerian termasuk satu orang Jaksa Agung yang memimpin Kementerian Kehakiman, yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi, Kementerian Pendidikan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kehakiman, Kementerian Perhubungan, Kementerian Permukiman dan Pembangunan Perkotaan, dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri. Semua dibentuk dengan undang-undang tersendiri yang berkembang sejak 1789. Serupa Indonesia, Konstitusi AS pun tak terlalu banyak mengatur soal kabinet. Bagaimanapun, kabinet hanyalah salah satu sumber informasi dan memberikan nasehat kepada Presiden. Aktivitas pemerintahan, termasuk keputusan dan pengendalian, di tangan Presiden. Setiap menteri dicalonkan oleh Presiden dan harus memperoleh persetujuan Senat.
Setiap anggota Kongres tidak boleh diajukan sebagai menteri. Tidak ada ketentuan rinci soal persyaratan menteri, kecuali Menteri Pertahanan yang harus dari kalangan sipil. Namun hingga kini Presiden AS selalu mempertahankan persyaratan tertentu guna mengisi jabatan kementerian tertentu. Misalnya, Jaksa Agung harus selalu orang berpendidikan hukum. Menteri Pertanian harus selalu orang yang paham urusan pertanian dan umumnya diambil dari negara bagian yang memiliki “prestasi”pertanian tinggi seperti Kansas dan Texas. Menteri Keuangan harus memiliki pengalaman panjang di sector finansial. Menteri Perdagangan harus akrab dengan organisasi dunia usaha. Menteri Tenaga Kerja harus memiliki pengalaman di organisasi perburuhan. Menteri Pendidikan harus telah bekerja sebagai pendidik sebelumnya (lihat dalam Anthony J. Bennett, The American President’s Cabinet , New York: St. Martin’s Press, 1996).
Saat menunjuk kandidat, umumnya Presiden akan memilih figur yang separtai. Sejak tahun 1961 (era Presiden Kennedy) hingga 1992 (era Presiden Clinton), 60% kandidat menteri adalah mereka yang telah berpengalaman dalam birokrasi. Preferensi berikutnya adalah pendukung dan teman-teman Presiden terpilih. Umumnya secara pribadi mereka telah terlibat sejak kampanye kepresidenan di tingkat negara bagian maupun nasional. Variasinya bermacam-macam: pengacara, teman sekelas, ketua kampanye lokal, atau bekas stafnya jika Presiden terpilih sebelumnya telah menjadi Gubernur negara bagian.
Profesi hukum telah lama menjadi sumber rekrutmen pejabat eksekutif terutama bagi Partai Demokrat. Kalangan finansial dan bisnis menjadi prioritas dalam mengisi jabatan Kementerian Keuangan dan Perdagangan. Anggota DPR lebih menjadi favorit Presiden dibandingkan anggota Senat untuk menduduki jabatan eksekutif. Belakangan, kalangan akademisi semakin menjadi pertimbangan pula bagi Presiden.
Prosedur pengisian jabatan kabinet di AS membutuhkan tahap yaitu seleksi, clearance, nominasi, konfirmasi, dan persetujuan. Proses seleksi dilakukan oleh unit kerja kepresidenan bagi presiden baru atau selama masa jabatan berlangsung. Hingga pelantikan, setiap Presiden tak kurang harus mempersiapkan 30 kandidat untuk jabatan kabinet dan calon pemimpin birokrasi Gedung Putih. Presiden Reagen (1981) mempercayakan kepada sebuah tim yang terdiri atas teman-temannya untuk mempersiapkan. Sementara Presiden Clinton membentuk sebuah tim khusus yang berdiam di Gedung Putih yang terdiri atas: Hillary (ibu negara), Warren Christopher (birokrat senior era Presiden Johnson dan Carter, kemudian menjadi Menteri Luar Negeri, 1993-1997), Kepala Sekretariat Kantor Wakil Presiden, rekan pengacara, dan pemimpin perusahaan Arkansas. Proses seleksi ini digambarkan sebagai tindakan yang “a complicated process, largely conducted behind closed doors .”
Hasil seleksi itu lalu dirumuskan dan digodok oleh Direktur Kantor Personel Kepresidenan (salah satu birokrasi di lingkungan Gedung Putih). Selanjutnya, Kantor Personel akan menghasilkan berkas yang dilakukan cleareance dari Dinas Pajak (Internal Revenue Service, untuk memeriksa ketaatan membayar pajak penghasilan), FBI, Kantor Urusan Etika Pemerintahan, dan badan-badan federal terkait. Dalam proses ini kandidat harus mengisi aplikasi dalam 24 jam. Di situ antara lain ditanyakan soal rekam medis, apakah pernah memperkerjakan pembantu rumah tangga, apakah pernah melakukan perjalanan dengan tiket di atas US$ 100, hingga hal-hal lain yang berhubungan dengan diri, keluarga, dan relasi dengan Presiden. Sesudah itu akan diteliti oleh staf hukum Gedung Putih mengenai aktivitas kandidat dan apakah berpotensi memiliki konflik kepentingan dengan jabatan menteri, dan sebagainya. Semua aplikasi dalam rangka clearance itu memiliki formulir-formulir standard an dapat diakses oleh publik.
Selanjutnya, jika clearance telah menghasilkan daftar kandidat yang tidak bermasalah, maka dikirim ke Senat untuk dipersiapkan proses hearing dan di badan inilah persetujuan akan diperoleh. Sebelum hearing staf Senat dalam komisi terkait akan memeriksa dengan teliti berkas yang dikirim oleh Gedung Putih dan dalam praktik, Senator dengan caranya sendiri diizinkan untuk memperoleh informasi lain yang dibutuhkan atas profil kandidat. Proses hearing itu berlangsung terbuka. Sesudah Senat memberikan persetujuan, maka Presiden akan melantik menteri secara resmi. Kadangkala Senat menolak calon yang dihadirkan, sehingga Gedung Putih kembali bekerja untuk menyaring kandidat hingga proses clearance. Oleh sebab itu, tak semua dari 14 kementerian segera terisi serentak dan dilantik bersama-sama.
Demikianlah, jika melihat perbandingan dengan AS, maka rekrutmen kabinet tidak sekadar tunjuk nama dan lantik nama. Lebih-lebih di Indonesia, yang mana Presiden dapat pula mempertimbangkan rekomendasi atau preferensi partai pendukung, gender, dan lain-lain. Membentuk kabinet memang “a complicated process, largely conducted behind closed doors.”
Sumber : http://ift.tt/1yxkYpW
Menurut UUD 1945, Pasal 17 ayat 1 hingga 4 mengatur bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Preisden. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Pembentukan, perubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Telah dibentuk UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam Pasal 6, diatur bahwa Presiden harus sudah membentuk kabinet maksimal 14 hari kerja usai dilantik. Undang-undang memberikan daftar 34 urusan pemerintahan yang dapat dikelola oleh sebuah kementerian.
Tetapi hingga hari ini, 25 Oktober 2014, kabinet Presiden Joko Widodo belum terbentuk. Berbagai spekulasi mengemuka. Dari sulitnya kesepakatan akibat transaksi politik—yang seharusnya dihindari oleh Presiden sesuai janji saat kandidasi lampau—hingga persoalan teknis. Baik konstitusi dan undang-undang tidak memberikan rambu-rambu tegas, kecuali soal jangka waktu pembentukan kabinet. Presiden telah bekerja usai dilantik. Berbagai pertemuan dengan kepala negara dan kepala pemerintahan asing misalnya, tidak didampingi oleh seorang menteri, yang menjadi kelaziman dalam praktik pemerintahan. Kabinet Indonesia Bersatu II, telah dinyatakan berhenti bersamaan dengan purna masa bakti Presiden Yudhoyono per 20 Oktober lalu. Hanya 15 kementerian yang memiliki Wakil Menteri, jabatan setara eselon I tetapi bukan bagian dari kabinet, sehingga praktis struktur kabinet telah dianggap belum terisi, termasuk posisi Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kepala Badan Koordinasi Penaman Modal (BKPM), Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Sekretaris Kabinet. Tak ada unit kerja di lingkungan kepresidenan yang memiliki posisi politik untuk bukan saja mendampingi Presiden, tetapi memberikan dukungan dan layanan administrasi terkoordinasi untuk Presiden yang memasuki awal-awal masa bakti. Termasuk posisi Staf Khusus warisan Presiden terdahulu. Praktis, Presiden Joko Widodo “sendirian” dalam melaksanakan pekerjaannya.
Tim Transisi yang dipimpin oleh Rini Soemarno bukan unit kerja resmi di lingkungan kepresidenan, sehingga secara hukum dan politik sesungguhnya tidak bisa bertindak, bahkan sekedar menyampaikan kepada publik, rencana dan perilaku Presiden sehari-hari di awal memasuki Istana Negara. Kisruh rencana pengumuman kabinet di Pelabuhan Priok yang lalu menunjukkan situasi “kesendirian” Presiden Joko Widodo.
“Presiden Joko Widodo memanggil sejumlah tokoh yang diduga akan menjadi menteri”, demikian uraian berita atau ungkapan reporter televisi dalam mengkonfirmasi tindakan Presiden sebagai bagian dari aksi pembentukan kabinet. Publik tak pernah tahu siapa saja kandidat menteri—yang mestinya dipersiapkan Joko Widodo sejak jauh hari. Uniknya, kandidasi menteri didahului dengan informasi bahwa Presiden Joko Widodo menyerahkan nama-nama ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPTAK) yang belakangan menuai kontroversi karena diduga sejumlah kandidat menghadapi potensi persoalan hukum di kelak kemudian hari. Permintaan persetujuan DPR soal pembentukan, pengubahan, dan penggabungan struktur kabinet pun relatif baru dikirimkan yang nampaknya bisa memperlambat daya kerja Presiden dalam menuntas format kabinetnya.
Selama ini tak pernah ada format baku bagaimana rekrutmen kabinet dilakukan. Tetapi dari Presiden ke Presiden, ini merupakan pekerjaan awal yang selalu memperoleh sorotan luas. Konstitusi sama sekali tidak pernah berbicara komposisi, syarat, jangka waktu, dan struktur kabinet. Ia dianggap “hak prerogatif” Presiden, yang akhir-akhir ini pun dipertanyakan efektifitasnya.
Di Amerika Serikat (AS), Presiden terpilih yang telah bersumpah pun, menghadapi kekosongan aparatur saat memasuki Gedung Putih, akan tetapi telah tersedia unit kerja yang bekerja terus menerus sebagai bagian birokrasi yang mempermudah perilaku dan tindakan-tindakan kepala pemerintahan baru. Jumlah struktur kabinet adalah 14 kementerian termasuk satu orang Jaksa Agung yang memimpin Kementerian Kehakiman, yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi, Kementerian Pendidikan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kehakiman, Kementerian Perhubungan, Kementerian Permukiman dan Pembangunan Perkotaan, dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri. Semua dibentuk dengan undang-undang tersendiri yang berkembang sejak 1789. Serupa Indonesia, Konstitusi AS pun tak terlalu banyak mengatur soal kabinet. Bagaimanapun, kabinet hanyalah salah satu sumber informasi dan memberikan nasehat kepada Presiden. Aktivitas pemerintahan, termasuk keputusan dan pengendalian, di tangan Presiden. Setiap menteri dicalonkan oleh Presiden dan harus memperoleh persetujuan Senat.
Setiap anggota Kongres tidak boleh diajukan sebagai menteri. Tidak ada ketentuan rinci soal persyaratan menteri, kecuali Menteri Pertahanan yang harus dari kalangan sipil. Namun hingga kini Presiden AS selalu mempertahankan persyaratan tertentu guna mengisi jabatan kementerian tertentu. Misalnya, Jaksa Agung harus selalu orang berpendidikan hukum. Menteri Pertanian harus selalu orang yang paham urusan pertanian dan umumnya diambil dari negara bagian yang memiliki “prestasi”pertanian tinggi seperti Kansas dan Texas. Menteri Keuangan harus memiliki pengalaman panjang di sector finansial. Menteri Perdagangan harus akrab dengan organisasi dunia usaha. Menteri Tenaga Kerja harus memiliki pengalaman di organisasi perburuhan. Menteri Pendidikan harus telah bekerja sebagai pendidik sebelumnya (lihat dalam Anthony J. Bennett, The American President’s Cabinet , New York: St. Martin’s Press, 1996).
Saat menunjuk kandidat, umumnya Presiden akan memilih figur yang separtai. Sejak tahun 1961 (era Presiden Kennedy) hingga 1992 (era Presiden Clinton), 60% kandidat menteri adalah mereka yang telah berpengalaman dalam birokrasi. Preferensi berikutnya adalah pendukung dan teman-teman Presiden terpilih. Umumnya secara pribadi mereka telah terlibat sejak kampanye kepresidenan di tingkat negara bagian maupun nasional. Variasinya bermacam-macam: pengacara, teman sekelas, ketua kampanye lokal, atau bekas stafnya jika Presiden terpilih sebelumnya telah menjadi Gubernur negara bagian.
Profesi hukum telah lama menjadi sumber rekrutmen pejabat eksekutif terutama bagi Partai Demokrat. Kalangan finansial dan bisnis menjadi prioritas dalam mengisi jabatan Kementerian Keuangan dan Perdagangan. Anggota DPR lebih menjadi favorit Presiden dibandingkan anggota Senat untuk menduduki jabatan eksekutif. Belakangan, kalangan akademisi semakin menjadi pertimbangan pula bagi Presiden.
Prosedur pengisian jabatan kabinet di AS membutuhkan tahap yaitu seleksi, clearance, nominasi, konfirmasi, dan persetujuan. Proses seleksi dilakukan oleh unit kerja kepresidenan bagi presiden baru atau selama masa jabatan berlangsung. Hingga pelantikan, setiap Presiden tak kurang harus mempersiapkan 30 kandidat untuk jabatan kabinet dan calon pemimpin birokrasi Gedung Putih. Presiden Reagen (1981) mempercayakan kepada sebuah tim yang terdiri atas teman-temannya untuk mempersiapkan. Sementara Presiden Clinton membentuk sebuah tim khusus yang berdiam di Gedung Putih yang terdiri atas: Hillary (ibu negara), Warren Christopher (birokrat senior era Presiden Johnson dan Carter, kemudian menjadi Menteri Luar Negeri, 1993-1997), Kepala Sekretariat Kantor Wakil Presiden, rekan pengacara, dan pemimpin perusahaan Arkansas. Proses seleksi ini digambarkan sebagai tindakan yang “a complicated process, largely conducted behind closed doors .”
Hasil seleksi itu lalu dirumuskan dan digodok oleh Direktur Kantor Personel Kepresidenan (salah satu birokrasi di lingkungan Gedung Putih). Selanjutnya, Kantor Personel akan menghasilkan berkas yang dilakukan cleareance dari Dinas Pajak (Internal Revenue Service, untuk memeriksa ketaatan membayar pajak penghasilan), FBI, Kantor Urusan Etika Pemerintahan, dan badan-badan federal terkait. Dalam proses ini kandidat harus mengisi aplikasi dalam 24 jam. Di situ antara lain ditanyakan soal rekam medis, apakah pernah memperkerjakan pembantu rumah tangga, apakah pernah melakukan perjalanan dengan tiket di atas US$ 100, hingga hal-hal lain yang berhubungan dengan diri, keluarga, dan relasi dengan Presiden. Sesudah itu akan diteliti oleh staf hukum Gedung Putih mengenai aktivitas kandidat dan apakah berpotensi memiliki konflik kepentingan dengan jabatan menteri, dan sebagainya. Semua aplikasi dalam rangka clearance itu memiliki formulir-formulir standard an dapat diakses oleh publik.
Selanjutnya, jika clearance telah menghasilkan daftar kandidat yang tidak bermasalah, maka dikirim ke Senat untuk dipersiapkan proses hearing dan di badan inilah persetujuan akan diperoleh. Sebelum hearing staf Senat dalam komisi terkait akan memeriksa dengan teliti berkas yang dikirim oleh Gedung Putih dan dalam praktik, Senator dengan caranya sendiri diizinkan untuk memperoleh informasi lain yang dibutuhkan atas profil kandidat. Proses hearing itu berlangsung terbuka. Sesudah Senat memberikan persetujuan, maka Presiden akan melantik menteri secara resmi. Kadangkala Senat menolak calon yang dihadirkan, sehingga Gedung Putih kembali bekerja untuk menyaring kandidat hingga proses clearance. Oleh sebab itu, tak semua dari 14 kementerian segera terisi serentak dan dilantik bersama-sama.
Demikianlah, jika melihat perbandingan dengan AS, maka rekrutmen kabinet tidak sekadar tunjuk nama dan lantik nama. Lebih-lebih di Indonesia, yang mana Presiden dapat pula mempertimbangkan rekomendasi atau preferensi partai pendukung, gender, dan lain-lain. Membentuk kabinet memang “a complicated process, largely conducted behind closed doors.”
Sumber : http://ift.tt/1yxkYpW