Suara Warga

Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Efektifkah?

Artikel terkait : Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Efektifkah?



Sumber Ilustrasi: http://ift.tt/1oK62EI Sumber Ilustrasi: http://ift.tt/1oK62EI



Sore ini, rencananya Presiden Joko Widodo akan mengumumkan jajaran kabinetnya. Dari berbagai berita yang beredar, terselip berita rencana pemerintahan Jokowi – JK untuk membentuk kementerian baru, yaitu Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Pertanyaannya, “Efektifkah?”

Tinjauan Sejarah Pembentukan

Selama ini, bidang agraria ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional. Namun, berdasarkan catatan sejarahnya, pembentukan Kementerian Agraria bukan sesuatu yang baru. Kementerian Agraria pernah terwujud pada saat Orde Lama, yaitu pada masa Kabinet Ali-Wongso-Arifin tahun 1953 (Sumber: Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria, Tubagus Haedar Ali). Sayangnya, pada tahun 1965, Kementerian Agraria berubah status menjadi Direktorat Jenderal Agraria di bawah lingkungan Kementerian Dalam Negeri.

Tarik ulur terus berlanjut. Menteri Negara Agraria kembali dibentuk pada tahun 1993 dengan tugas dan wewenang berkaitan dengan urusan pertanahan/agraria. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid pada tahun 1999, Menteri Negara Agraria dihapus dan BPN dipimpin oleh Kepala BPN yang dirangkap Menteri Dalam Negeri.

Era kabinet Presiden Megawati tahun 2001 lain lagi. Kepala BPN dijabat oleh seseorang yang diangkat tersendiri, tidak dirangkap oleh Menteri Dalam Negeri. Baik pada masa Abdurrahman Wahid maupun Megawati, tata guna tanah dan pengaturan penguasaan tanah menjadi tugas, wewenang, dan tanggung jawab Deputi Bidang Tata Laksana Pertanahan.

Bagaimana halnya dengan bidang Tata Ruang? Tata Ruang, saat ini selain berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum cq Direktorat Jenderal Penataan Ruang, juga tersebar di beberapa kementerian lain. Kementerian lain yang juga mengurusi tata ruang contohnya, Direktorat Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup yang ada di Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri. Pengaturan yang tidak berada pada satu lembaga terkadang menyebabkan tumpang tindih kewenangan serta permasalahan koordinasi. Ujungnya bermuara pada rumitnya proses pemanfaatan ruang maupun perubahan peruntukan dan fungsi ruang.

Sama halnya dengan bidang agraria, bidang tata ruang juga mengalami pasang surut. Menurut catatan sejarahnya, (Sumber: Kelembagaan Tata Ruang di Lingkungan Departemen PU, Renyansih & Budisantoso), sejak masa Orde Baru, sempat bernama Direktorat Tata Kota dan Daerah di bawah Departemen Pekerjaan Umum. Pada tahun 1977, namanya sedikit berubah menjadi Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah di lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Tahun 1994, mengalami pergantian nama menjadi Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Perdesaan (BTPP).

Pada era reformasi, 1999, lahirlah Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah (Kimbangwil). Tahun 2001, lahir Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah dengan Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Saat ini, Direktorat Jenderal Penataan Ruang ada di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum.

Bidang Penataan Ruang dalam Undang-Undang Penataan Ruang

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memang tidak secara spesifik mengatur tentang Menteri atau Kementerian yang membidangi Tata Ruang. Dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 hanya diamanatkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh seorang Menteri. Tapi, ada satu yang pasti. Dalam Undang-Undang tersebut secara jelas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Sehingga, tidak hanya mengatur dan menata ruang darat atau tanah saja. Walaupun, patut diakui, penataan ruang yang ada saat ini, masih kental dengan aroma penataan “ruang darat”. Penataan ruang yang cenderung menitikberatkan pada penataan “ruang darat” ini pula yang menyebabkan ruang lainnya sedikit terabaikan.

Kaitan Agraria dan Tata Ruang

Bidang Agraria/Pertanahan, sering terkait dengan hal penataan hak atas tanah atau pendataan hak atas tanah (land register). Saat ini, masih banyak persoalan terkait dengan penatagunaan tanah, pengendalian penguasaan tanah, pendataan hak atas tanah/pemilikan tanah, serta verifikasi tanah-tanah negara yang masih dikuasai pihak lain. Tentunya ini merupakan pekerjaan rumah yang harus dihadapi. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, pengertian agraria secara luas juga meliputi bumi, air, dan ruang angkasa (pasal 1) sedangkan pengertian agraria secara sempit, yaitu tanah (pasal 4).

Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang, salah satunya juga mengatur tentang peruntukan (land use).

Upaya penggabungan antara Agraria dengan Tata Ruang, menurut hemat saya, terkait dengan simpang siurnya pengaturan antara pendataan hak atas tanah (land register) dengan peruntukkannya (land use). Sering kita jumpai ketidaksesuaian antara status tanah dengan peruntukannya. Dengan menjadikan Agraria dan Tata Ruang di bawah satu atap Kementerian, diharapkan, terdapat kesesuaian antara penataan hak atas tanah dan peruntukannya. Walaupun, tetap pula menyisakan tanya, “Bagaimana dengan penataan ruang laut, ruang udara, dan ruang bawah bumi?”. Tentunya masih pula dilakukan koordinasi dengan kementerian lainnya.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang

Akankah Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang dibentuk oleh Presiden Jokowi berjalan efektif dalam menjawab berbagai permasalahan penatagunaan tanah dan tata ruang? Mungkin belum bisa terjawab secara pasti. Masih menunggu kiprahnya ke depan. Namun, upaya penggabungan antara agraria dan tata ruang diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan terkait sengketa lahan antara peruntukan dan status lahannya.

Langkah paling dekat setelah pembentukan kementerian baru tersebut adalah penyusunan struktur organisasi kementerian. Diharapkan struktur organisasi yang terbentuk dapat mengakomodasi sinkronisasi penanganan antara peruntukan lahan (land use) dan status lahannya (land register). Keselarasan antara tata ruang dengan agraria. Selain itu, untuk memudahkan koordinasi, bidang penataan ruang yang saat ini masih tersebar di berbagai kementerian lain dapat dilebur atau ditarik ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Pada akhirnya. reformasi pertanahan dapat terwujud untuk menyelesaikan rumitnya penyelesaian sengketa lahan yang menyangkut kewenangan beberapa kementerian. Semoga. (Del)




Sumber : http://ift.tt/1uYEZlw

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz