Suara Warga

Jokowi Dilantik, Lalu Dimakzulkan, Politik Melankolis Koalisi Prabowo dan Strategi Jokowi

Artikel terkait : Jokowi Dilantik, Lalu Dimakzulkan, Politik Melankolis Koalisi Prabowo dan Strategi Jokowi

Tanggal 20 Oktober 2014 Jokowi terpaksa harus dilantik. Wacana di dalam koalisi Prabowo untuk menjungkalkan atau menjegal atau memakzulkan Jokowi merupakan wujud politik melankolis ala koalisi Prabowo. Sesungguhnya dalam lubuk hati terdalam, koalisi Prabowo - yang tetap gagal move on - di MPR dan DPR sebenarnya ogah-ogahan melantik Jokowi. Namun, karena bagian dari strategi menjungkalkan Jokowi, Jokowi harus dilantik dahulu. Setelah dilantik agenda politik DPR akan mencari alasan agar secara politis Jokowi dimakzulkan alias di-impeached. Bagaimana, apa petunjuk awal, dan strategi pemakzulan Jokowi oleh koalisi Prabowo yang disebut politik melankolis? Mari kita bahas dengan hati gembira ria.

Alasan melankolis, delusif dan ilusif terkait dengan keberadaan Prabowo di panggung politik nasional. Koalisi Prabowo masih diliputi perasaan menang di dalam diri mereka. UU MD 3, Pilkada oleh DPRD, perebutan dan penguasaan pimpinan DPR dan MPR adalah sebagian dari upaya balas dendam dan melankolisme politik. Ada tiga melankolisme politik yang dialami Prabowo dan mitra koalisinya.

Pertama, Prabowo merasa kuat. Koalisi Prabowo yang diliputi oleh dendam kesumat itu akan menjadi sampai saat ini masih merasa kuat. Kekuatan di parlemen dianggap segala-galanya. Meskipun sesungguhnya tanpa kekuasaan di pemerintahan, lembaga legislatif tetap saja kekuatan yang sesungguhnya ada di tangan pemerintah. Legitimasi menjalankan roda pemerintahan ada pada Jokowi. Namun, dengan menguasai DPR dan MPR mereka berpikir akan mengganggu pemerintahan menjadi tak efektif.

Kedua, Prabowo dan Gerindra dianggap orang dan partai penting. Pada saatnya Golkar, PAN, PPP akan sadar bahwa Prabowo itu tidak memiliki kekuatan apa-apa. Bukti Prabowo tidak memiliki kekuatan adalah Prabowo kalah melawan Jokowi. Prabowo juga tak memberikan kontribusi apa-apa untuk Golkar, PAN, PPP. Dan, sesunguhnya kebesaran Prabowo hanya ilusi dan delusi koalisi Prabowo yang akan segera berakhir dalam benak para politikus. Dengan Gerindra-nya yang hanya 11% di parlemen, Prabowo mengatur-atur koalisi permanen juga sebenarnya memalukan Golkar, PAN dan PPP serta Demokrat.

Ketiga, Prabowo dan koalisi Prabowo merasa rakyat mendukung mereka. Mereka lupa bahwa mereka secara bersama-sama tengah menggali kubur mereka untuk tahun 2019. Pemilihan presiden berlangsung langsung dan calon independen yang muncul akan sangat kuat. Parpol tak dibutuhkan oleh presiden yang dipilih rakyat secara langsung pada 2019.

Bagaimana pemakzulan akan diskenariokan?

Petunjuk awal akan adanya pemakzulan adalah berbagai pernyataan politik yang saling mendukung. (1) pernyataan Hashim adik Prabowo yang akan menjegal Jokowi meskipun disanggah, (2) tuduhan kepada Jokowi korupsi oleh Rachmawati, (3) Prabowo yang tetap kepedean dan tak mengakui kemenangan Jokowi, (4) sikap Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang menunjukkan permusuhan dengan Jokowi tak kunjung habis, (5) politisasi kasus bus Transjakarta. Kelima butir tersebut yang menjadi perekat koalisi Prabowo yang sangat ingin berkuasa dengan cara apapun.

Selain itu, sikap ngotot Aburizal Bakrie yang bersumpah akan mengubah banyak undang-undang untuk kepentingan kelompok, setelah keberhasilan UU MD3, Pilkada DPRD, menunjukkan upaya melawan dan merecoki pemerintahan Jokowi. Sikap Ical ini sebenarnya menggambarkan kepentingan kubu Prabowo terkait dengan penguasaan bisnis, hegemoni ekonomi, sumber daya alam, mineral, migas dan APBN yang sebelumnya banyak dikuasai oleh Golkar selama 10 tahun harus terlepas ke kelompok Jokowi. Pergeseran ini tidak dikehendaki oleh kubu Prabowo karena sikap, tekad dan sifat Jokowi yang akan melakukan pembersihan yang jelas akan sangat merugikan para mafia di bidang hukum, politik dan ekonomi.

Strategi koalisi Prabowo dalam pemakzulan yang mereka tengah persiapkan adalah skenario seperti ketika menjungkalkan Gus Dur. Kasus Gus Dur yang menerima US 3,5 juta sebagai sumbangan untuk seorang ‘kiai’ dipolitisir oleh Amien Rais untuk menjatuhkan Gus Dur.

Pemakzulan terhadap Jokowi akan melalui politisasi kasus bus karatan TransJakarta. Pemakzulan seperti itu dianggap tepat oleh kubu Prabowo. UU MD3 menjelaskan tentang skenario mengangkat Prabowo menjadi presiden setelah dimakzulkan MPR. Padahal, untuk memakzulkan Jokowi perlu suara 2/3 anggota MPR. Mereka tetap tak peduli dan akan melakukan pemakzulan dengan cara apapun.

Perecokan terhadap pemerintahan dan program Jokowi dibayangkan dan diharapkan akan melunturkan popularitas Jokowi. Dengan kondisi prestasi pembangunan politik yang lemah, maka kriminalisasi dan politisasi kasus yang dituduhkan kepada Jokowi akan berjalan mulus. Mereka lupa Kejaksaan Agung ada di bawah kendali presiden. Namun, bagi mereka hal ini tak dipikirkan dan dinafikan. Bahwa kejagung lebih dekat dengan presiden dianggap angin lalu.

Selain itu, program-program Jokowi yang pro rakyat pun akan dijegal di DPR. Kondisi kisruh ini akan menghambat pembangunan dan Jokowi akan disalahkan. Pada saat seperti itulah upaya pemakzulan akan dilakukan. Mereka tak peduli bahwa DPR yang merecoki dan tak pro rakyat akan menemukan kecaman dari masyarakat dan media.

Akankah skenario pemakzulan dalam semangat politik melankolis ala kubu Prabowo benar-benar dilakukan? Jawabnya tidak. Kenapa?

Pertama, perlawanan Jokowi adalah menggembosi koalisi Prabowo dengan menyeret PPP, PAN dan Golkar keluar dari koalisi permanen. Nanti tinggal Gerindra, PKS dan Demokrat. Cara yang dilakukan Jokowi adalah mengganti menteri yang tak cakap.

Kedua, sosok Setya Novanto yang tidak memiliki kredibilitas tinggi di bidang hukum membuat bargaining position Ketua DPR rendah. Dengan demikian kubu Jokowi akan melakukan tekanan kepada Setya Novanto.

Ketiga, rakyat dalam posisi wait and see yang tidak disadari oleh kubu Prabowo yang terlena dengan politik melankolisme mereka. Gerakan rakyat membela Jokowi akan masif jika Jokowi tampak didzolimi oleh DPR dan MPR. Kekuatan rakyat dan pendukung Jokowi ini terlihat dengan jelas.

Keempat, kecerdikan dan ketegasan politik Jokowi secara politik yang tak dipahami publik dan kubu Prabowo. Jokowi memiliki kecerdikan terkait pencitraan, penegakan hukum dan kredibilitas dan akuntabilitas serta integritas yang kuat. Contoh, Jokowi tetap melanjutkan proses hukum terhadap kasus Obor Rakyat. Ini menunjukkan Jokowi bukan ‘pemaaf’ dan memiliki jiwa ‘tegas’.

Ketegasan dan ketegaan Jokowi terbukti dengan meninggalkan Hashim dan Prabowo demi perjuangan lebih besar: menjadi Presiden RI. Padahal semua orang tahu peran Prabowo dan Hashim dalam mengangkat Jokowi menjadi gubernur DKI. Jokowi dengan tegas dan tega - tidak melankolis - meninggalkan Prabowo dan Hashim yang keki dan sewot.

Kelima, KPK dan Kejagung akan digunakan Jokowi sebagai alat dan senjata untuk membidik para anggota DPR, kroni kubu Prabowo yang bermasalah secara hukum. Dengan penekanan ini maka kompromi politik akan tercapai dan koalisi Prabowo akan ‘ngeper’. Bukan tidak mungkin melalui berbagai maneuver, koalisi Prabowo akan tinggal menyisakan PKS dan Gerindra dengan Demokrat menjadi seperti ayam tanpa induk.

Jadi, upaya dan wacana pemakzulan yang didasari oleh nafsu dendam politik melankolis itu akan berakhir justru menekan kubu Prabowo. Jokowi - dengan menerapkan program pro rakyat, dan terpakas menerapkan program pro rakyat - akan memenangi pertarungan dengan dukungan rakyat. Hasilnya justru DPR akan berpihak ke kubu Jokowi dengan PPP, PAN dan Golkar kabur dari koalisi Prabowo - dengan PKS dan Gerindra serta Demokrat menjadi tiga parpol sisa yang mengamalkan politik melankolis balas dendam ala Prabowo.

Salam bahagia ala saya.




Sumber : http://ift.tt/1txhbuj

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz