Suara Warga

Jokowi dan Prabowo "Terpaksa" Bertemu kok.., Apa Istimewanya ?

Artikel terkait : Jokowi dan Prabowo "Terpaksa" Bertemu kok.., Apa Istimewanya ?

Salah satu semboyan yang cukup masyhur, “Bila ingin damai, maka bersiaplah berperang”. Semboyan yang berasal dari zaman Romawi itu, yakni “Si Vis Pacem Para Bellum”, bisa pula dimaknai, “Bila sudah berhadap-hadapan untuk berperang, maka berdamailah”, khususnya jika kekuatan pihak yang berseteru cukup seimbang dan mereka sulit untuk saling menaklukkan. Begitulah tampaknya kondisi Prabowo bersama KMP-nya versus Jokowi dengan KIH-nya.



Pemerintahan Jokowi bisa dipastikan terkunci jika melawan secara frontal Prabowo dan KMP, Sementara itu Prabowo juga tidak bisa berbuat terlalu jauh, konstitusi tidak memberi banyak keleluasaan untuk menjatuhkan Jokowi yang terpilih dengan suara terbanyak Kondisi ini mau tidak mau memaksa Jokowi mengambil inisiatif untuk mengurangi tekanan terhadap pemerintahannya kelak. Di sisi lain Prabowo tentu tidak mungkin menolak keinginan Jokowi untuk bertemu. Menolak bertemu akan merugikan bagi Prabowo secara pribadi. Sebagai seorang prajurit tentu tidak kesatria dan tidak elok jika dia menolak keinginan kompetitornya hanya untuk bertemu. Beliau akan dicela dan disamakan publik dengan Megawati yang sampai hari ini masih enggan mencairkan hubungan dengan SBY. Publik tentu masih bisa memaklumi Ibu Mega, sebagai seorang perempuan -menurut pandangan tradisional masyarakat- wajar jika beliau punya watak yang lebih didominasi oleh perasaan. Hal yang sangat berbeda jika Prabowo yang mengambil sikap sebagaimana “lazimnya” para perempuan itu.



Dilihat dari sisi pandang itu, tidak ada yang istimewa menyangkut pertemuan antara Jokowi dan Prabowo, keduanya memang “terpaksa” bertemu. Persepsi keterpaksaan itu muncul mengingat momennya agak terlambat, hanya beberapa hari menjelang pelantikan Jokowi. Sebelumnya ada upaya dari kubu Jokowi untuk menarik partai-partai di KMP dan ternyata kurang berhasil. Bahkan KIH mengalami kekalahan demi kekalahan secara beruntun.



Jokowi butuh untuk bertemu kubu Prabowo dan Prabowo tidak boleh menolak. Walhasil pertemuan tersebut bisa jadi hanya sebuah hiburan di pentas politik, menyenangkan hati rakyat dan menenangkan pasar. Hal ini tentu saja tetap bermanfaat. Komunikasi Jokowi-Prabowo ini juga bisa menepis berbagai rumor bersifat paranoid yang sebelumnya dimunculkan sebagian kalangan pengamat maupun pendukung Jokowi. Cairnya ketegangan juga diharapkan akan membungkam media-media provokator pendukung kedua pihak.



Apakah hubungan Jokowi dan Prabowo sejatinya nanti akan tetap cair, bahkan menjadi sahabat. Jika itu terjadi tentu saja hal yang baik, namun bukan yang terpenting. Mencairnya hubungan Jokowi dan Prabowo, tidak serta merta menghilangkan esensi keberadaan Koalisi Merah Putih. KMP tetap relevan dengan catatan koalisi ini beropoisi secara sehat, menjadi pengontrol pemerintah yang objektif dan konstruktif. Loyal terhadap negara dan rakyat, bukan terhadap seseorang sebagai pribadi.



Jokowi menjadi presiden di satu sisi dan kuatnya KMP di sisi lain, semoga ini skenario Tuhan untuk membuat Indonesia lebih baik. Inilah saat dimana pemimpin terpilih mesti sungguh-sungguh dan bekerja keras untuk memenuhi semua janjinya, serta waspada terhadap adanya para oportunis yang menjadi penumpang gelap demokrasi.




Sumber : http://ift.tt/1wcZAEX

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz