Suara Warga

Joko Widodo ”Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur”

Artikel terkait : Joko Widodo ”Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur”

Seandainya Pengesahan UU MD3, Pengesahan Tatib DPR, Pengesahan UU Pilkada, Pemilihan Pimpinan DPR, Pemilihan paket pimpinan MPR sepenuhnya dimenangkan oleh kubu KIH, niscaya situasinya bukan menjadi tenang damai, akan tetapi lebih memanas gerah yang bakal dirasakan oleh lawan-lawan politik koalisi IH di DPR bahkan mungkin menebar sampai ke MPR, menyusul perubahan-perubahan sporadis bukan berasal dari KMP terhadap penguasaan secara mutlak Negara oleh satu tangan presiden Jokowidodo, tetapi oleh kendali dibelakang layar seorang pemimpin besar ialah ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri.

Siklus kepemimpinan Negara, seperti mengulang masa kegelapan ORDE BARU di bawah kepemimpinan Jenderal Suharto. Bukan karena kepemimpinan Jokowidodo dalam wujud aslinya, tetapi yang sontak dadakan menjadi berbanding 180 derajat seketika muncul kedikatatoran baru, akan tetapi kekuasaan Presiden dipegang penuh dari balik layar, oleh seorang ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri, yang dengan kekerasan hatinya ingin melampiaskan dendam kesumatnya kepada lawan-lawan politiknya yang berani menurut persepsinya telah menghinakan merendahkan derajat putra pemimpin besar revolusi Bungkarno, si Penyambung lidah Rakyat. Dan sontak program pemerintahan Presiden baru terpilih Jokowidodo diperintahkan untuk mengembalikan hak-hak ayahanda tercintanya yang telah dicabut oleh Ket MPR, serta harus melanjutkan program kerja pemerintahannya dikala itu.

Kebanggaan trah Sukarno inipun betambah-tambah, inilah Megawati Ketua Umum PDIP, yang hanya dengan setengah hati mendorong Jokowidodo untuk jadi Presiden, ternyata mampu melambungkan nama seorang mantan Walikota berlatar belakang wong cilik, apa ini bukan menjadi bukti, bahwa Megawati yang selama ini tidak mau berdamai dengan siapapun juga yang telah menyakitinya, yang telah mengalahkannya dalam Pilpres 2004, maupun pada 2009, bisa Berjaya bahkan berkali lipat? Ternyata kini saksikanlah ternyata mampu memenangkan pertarungan maha besar . Mampu memenangkan PILPRES, sampai dengan pemilihan ketua DPR, sampai dengan ketua MPR.

Ketua Umum PDIP dan Sekjen PDIP Puan Maharani , akan menjelaskan kepada mereka bahwa kemenangan yang diperoleh dalam pemilu legislatif hanya sebesar kurang lebih 17 % itu membuktikan bahwa para kader muda dari kubu Jokowi yang suka bersuara lantang menginginkan pembaharuan, masih perlu belajar banyak kepada trah Soekarno yang sudah banyak mengeyam ilmu secara langsung, merupakan ilmu warisan dari mendian Presiden pertama RI. Hai sebagian para kader muda kubu jokowi yang mengagap diri kalian sebagai kader yang waskita, kader yang penuh kebijaksanaan, yang yang ternyata tidak ada bukti untuk memenangkan pemilu legislatif ternyata kalian cuma mampu meraih 17 %. Apa itu dapat dibanggakan, akan tetapi apabila saya dan anak saya jangankan 100 % bergerak, kalaupun hanya meraih 75 % potensi dan kekuatan saya kukeluarkan niscaya perolehan hasil pemilu bukan lagi 27 % tetapi pasti lebih dari itu.

PDIP tidak membutuhkan kader-kader muda yang hanya omong besar saja tetapi kerjanya nol, Kali ini Ketua Umum memaafkan kepada kalian atas usul-usul kalian agar jajaran pimpinan puncak PDIP memberikan dukungan serius kepada Jokowidodo. Lihatlah hanya dengan setengah-setengah, akan tetapi hasilnya tidak setengah-setengah, toh akhirnya Jokowidodo bisa memenangkan pemilu Presiden, itu semua karena keahlian dan profesional ketua umum untuk memikat suara hati rakyat Indonesia, sama sekali bukan dari usaha para relawan. Oleh sebab itu jauh-jauh hari sudah saya peringatkan kepada Jokowidodo, agar tidak pakai relawan-realawanan, dan PDIP tetap tidak mengabulkan apapun yang menjadi permintaan bantuan untuk membeli perlengkapan berkampanye.

Puan Maharani mendapat tugas dari Ketua Umum agar dalam memberi dukungan kepada Jokowi, tidak boleh sepenuhnya, cukup setengah-setengan atau orang menyebutnya setengah hati. Bagi yang tidak sependapat, PDIP memberikan jalan untuk keluar dari PDIP. Bukankah dengan dukungan setengah hasti saja, semua bisa disapu bersih? Alasan lain Megawati , PDIP adalah partai tradisional yang memegang teguh Soekarnoisme, apapun alasannya secara jujur masih belum bisa menerima kubu Jokowidodo yang mewakili nafas pembaharuan partai. Bukankah hal itu wajar-wajar saja? Lagi pula Jokowi selama ini lebih mengutamakan relawan dari pada kader-kader PDIP?

Dalam pencalonan jadi presiden atas usungan PDIP sebenarnya, Jokowi dalam kompetisi kali ini justru terlihat penuh beban dan tak legowo , karena Jokowi dibebani mandat dari Megawati, semakin tertekan dan merasa beban berat, Beban ini karena tanggung jawabnya di Jakarta belum mencapai hasil yang maksimal, seperti diharapkan.

Megawati tentu saja berkiprah dibelakang layar, sebagai dalang yang memainkan lakon dengan sesuka hatinya , kadang Yudhistira diperankan sebagai Karna, kadang sebagai Dursasana , yang paling mengesankan untuk penonton adalah ketika Yudhistira nantinya diperankan sebagai si keras kepala Duryudana. Si Duryudana yang mewarisi kelakuan Ibu Suri Hastina yang ambisius Dewi Setyawati istri almarhum Prabu Santanu yang bijak.

Politik Keras Kepala Megawati Soekarno Putri: tetap diam di singgasananya. Sekian banyak saran, harapan dan keinginan dilontarkan kepadanya oleh para petinggi Koalisi Indonesia Hebat. Semua tak membuat Mega tergerak hati nuraninya.

Dan pada puncaknya, Hak prerogative Presiden Jokowidodo dikebiri, lebih dari tarik ulur kepentingan, maunya Presiden terpilih harus konsisten dengan apa yang pernah dijanjikan kepada rakyat, namun sekarang Ibu Suri Setyowati menginginkan Menteri dari PDIP harus sekian, orangnya ini, orangnya itu, si dia, si anu, dan sebagainya membuat kepala pusing tujuh keliling. Jokowi semakin jengkel , sebagai Presiden seharusnya berkuasa atas pengangkatan pembantu-pembantu Presiden, tetapi kali ini ada Presiden yang kayak kerbau dicocok hidungnya. Jumlah menteri harus sekian, si dia tidak pantas jadi menteri, si dia berbau kolonial,dan sebagainya.

Lagi-lagi Ibu Suri pengaruhnya semakin menggila. Presiden Yudhistira, maksudnya Presiden Jokowidodo bermaksud mencairkan permusuhan yang sudah lama terjadi antara IbuSuri, baik dilingkungan keluarga dekatnya yaitu Ibu Rachmawati, maupun konflik yang berkepanjangan dengan Bapak SBY, Pak Prabowo, namun apa daya, Ibu Suri Hastina Dewi Setyawati memang sangat keras kepala, Santanu sendiri kewalahan yan g akhirnya meninggal karena Stro k e . Namun semua itu tidak menjadi pelajaran yang baik, malah menambah, membabi buta. Musuh-musuhnya agar diisolir, baik di legislate maupun yang ada diluar legislative, walaupun semua pihak sudah menjelaskan permasalahannya kepada Jokowi. (Masing-masing pihak mempunyai alasannya sendiri-sendiri. Dengan Rachmawati, saat itu sebagai pendiri Partai Pelopor, pernah mengajukan gugatan ke MK terkait program empat pilar kebangsaan karena dinilai berpotensi terjadi pelanggaran hukum menyangkut penggunaan APBN hingga memiliki potensi konflik. Namun gugatan ditolak MK.Dengan SBY, sudah berlangsung lama sejak 2004 sampai 2014 ini, ketegangan politik Megawati Soekarnoputri vs Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terus membara. Dengan Prabowo Subianto yang merasa dikhianati karena partai banteng itu menetapkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden, ). Akhirnya mereka malah nekad buat kisruh di Parlemen dan diluar parlemen dengan caranya sendiri-sendiri.

Berikutnya Ibu Megawati akan memerintahkan Presiden Jokowidodo, dengan agak memaksakan kehendak harus diturutinya a.l.harus dilaksanakannya terus di antaranya outsourching kaum buruh , tidak peduli apa menyebabkan sakit hati bagi wong cilik apa tidak. Teruskan kebijakan yang mirip-mirip kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), lanjutkan kebijakan yang serupa dengan penjualan Indosat, penjualan kapal tanker VLCC milik Pertamina, dan kemudian pihak Pertamina harus menyewa dengan harga mahal, penjualan aset yang dikelola BPPN ke pihak asing. Tanah air masih banyak memiliki puluhan ribu pulau, kalau hanya diambil oleh asing 2 buah pulau Sipadan dan Ligitan apalah artinya,

Masalah keamanan Negara, memang penting, tetapi lihat negara-negara timur tengah banyak terjadi peperangan, rakyat hidupnya sengsara, kalau hanya sekali-kali terjadi perasaan rakyat merasa tidak aman dan tenteram karena banyaknya terjadi kasus peledakan dan terror bom pada banyak tempat di Indonesia itu wajar saja. Peledakan bom yang paling dahsyat adalah di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menewaskan 183 orang, itu masih kecil dibandingkan dengan korban perang di timur Tengah.

Kalaupun ada terjadi konflik yang menelan banyak korban yang disebabkan oleh SARA di beberapa tempat di daerah, antara lain di Ambon, Poso dan Sambas, tidaklah menyebabkan Indonesia bubar.

Untunglah segala sesuatu yang dibayangkan seperti ceritera diatas, tidak pernah terjadi, rakyat melalui DPR yang relatif melek dan lebih mengerti dari takyat kebanyakan lainnya, belum dapat dilihat apakah PDIP akan memperbaiki kesalahan dan kelemahan saat berkuasa, diharapkan Jokowi saat berkuasa nanti hal negatif yang terjadi saat mereka berkuasa tidak kembali terulang. Disinilah pentingnya arti penyeimbang sebenarnya dari DPR. Presiden Jokowi menjalankan roda pemerintahannya dengan lurus tidak melanggar UU, UUD 45 dan Pancasila, DPR mengawasinya dengan penuh Hikmat Kebijaksaan Permusyawaratan Perwakilan, di damping penyeimbang lainnya Mahkamah Agung, sehingga diharapkan pemerintahan Jokowidodo, akan berhasil membangun Indonesia sejahtera, adil Makmur. Semoga Jokowi selalu mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Jokowidodo”Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur” Amin




Sumber : http://ift.tt/1yPHtu9

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz