Suara Warga

Indonesia Punya Ahok, Australia Punya John So

Artikel terkait : Indonesia Punya Ahok, Australia Punya John So



14143305041701081935

John So (Kiri) dan Ahok (Kanan). Pilih pemimpin gahar atau pemimpin unyuuu?



“Coba lihat….di negara laen mana bisa orang Cina memimpin?”


“Udah bagus, Ahok orang Cina bisa jadi Wagub. Kurang hebat apa demokrasi kita?”


Komentar-komentar ini seringkali kita temui di dunia maya. Hal yang lucu dan menggemaskan mengenai Indonesia adalah bagaimana kita selalu membanggakan diri sebagai bangsa yang multikultur namun di sisi lain, ketika kita melihat etnis/agama minoritas memimpin di suatu wilayah maka kerap kali hal tersebut masih jadi semacam pencapaian yang ruarrrrr biasaaaa….


Nah apakah benar, hanya di Indonesia saja (Selain Singapura dan Tiongkok) dimana Tionghoa yang dianggap minor bisa “bebas” berpolitik? Dan yang paling penting kita disini akan menguak mitos: Benarkah pemimpin dari etnis/kepercayaan minoritas tidak akan lebih mampu membangun dan mensejahterahkan rakyatnya ketimbang pemimpin sesama etnis/seagama?


Sementara Indonesia masih sibuk berdebat halal/haram kepemimpinan seseorang, negara Barat seperti Australia pernah memberikan kesempatan pada seorang warga Tionghoa untuk memimpin salah satu kota terbesar di dunia. Bagi WNI yang bermukim di Melbourne, nama John So mungkin bukanlah nama yang asing. Mantan Lord Mayor ke-102 tersebut memimpin kota Melbourne untuk dua buah periode yakni pada 2001-2004 dan 2004-2008.


Lalu apa korelasi menarik antara Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan John So? Nah mari kita simak.


1. Sama-Sama Tionghoa Tapi…..



Ya…ini sudah cukup jelas. Tapi ada sejumlah perbedaan. Basuki atau Zhong Wanxie dikategorikan sebagai Tionghoa peranakan karena ia lahir di Belitung, Indonesia. Sementara John So adalah imigran murni kelahiran Hongkong, 2 Oktober 1946. Pada usia 17 tahun, John menginjakkan kaki di Australia sebagai seorang pelajar SMA. Setelah menyelesaikan jenjang Diploma dan Bachelor of Science dari University of Melbourne, John memulai karir profesional sebagai guru fisika SMA. Sisi entrepereneurship sempat membawanya untuk membuka Dragon Boat Restaurant pada tahun 1976.



Andaikata Ahok adalah Tionghoa generasi pertama yang lahir di Cina daratan, apakah ia bisa tetap diterima sebagai pemimpin? Bangsa Cina yang notabene masih sesama bangsa Asia saja masih sering “dikafirkan.”



2. Sama-Sama Yang Pertama / “Minoritas Memimpin Mayoritas.”



Dengan perginya Jokowi ke istana negara, Ahok kini mendobrak sebuah kultur kepemimpinan dimana untuk pertama kalinya orang Tionghoa menjabat sebagai Gubernur Ibukota DKI Jakarta. Sementara itu John So adalah Lord Mayor Melbourne Tionghoa yang pertama.



Keduanya sama-sama berasal dari kaum minoritas dan diberi beban tanggung jawab untuk memimpin berbagai etnik multikultur di kotanya. Di tahun 2001, kala John So naik jabatan, etnis Tionghoa di kota Melbourne saat itu bahkan tidak termasuk dalam daftar 5 imigran pendatang terbesar (Inggris, Italia, Vietnam, Yunani dan Selandia Baru) yang lahir diluar Australia. Meski tidak secara spesifik diketahui berapa jumlah total warga keturunan Tionghoa (lahir di Australia maupun lahir diluar Australia) saat itu, hanya diketemukan 1.8% (59,521 warga) pengguna bahasa Kanton. Kanton sendiri merupakan bahasa yang berasal dari daerah Provinsi Guangdong, Cina Selatan.



1414332444220442277

Sumber: Sensus Nasional Australia 2001



Terpilihnya John So merupakan sebuah kemenangan multikulturalisme dan kesetaraan hak di Australia. Sebuah negara yang padahal 40 tahun lalu masih mengadopsi kebijakan rasis “White Australia Policy” dimana pendatang dari latar belakang non-Eropa menerima perlakuan diskriminatif untuk masuk Australia ketimbang pendatang Eropa.



Info Pendek: “ White Australia Policy” (1901-1973) dipercaya dimulai ketika Undang-Undang Pembatasan Imigrasi 1901 dikeluarkan. Setiap pendatang non-Eropa harus menghadapi “tes dikte 50 kata” dalam berbagai bahasa Eropa secara acak. Meski bahasa resmi adalah bahasa Inggris, setiap imigran non-Eropa harus siap dites dengan bahasa Italia, Prancis, dll sehingga kegagalan mereka hampir dapat dipastikan.



Berbeda dengan situasi di Indonesia dimana rasisme lebih dikompori oleh perbedaan agama dan kecemburuan sosial, maka rasisme di Australia saat itu lebih dikompori oleh “rasa takut akan kualitas superior” yang dimiliki orang Asia (khususnya Tionghoa dan Jepang).



“Bukanlah kualitas buruk mereka, melainkan kualitas-kualitas baik yang dimiliki ras alien (Tionghoa) ini yang membuatnya berbahaya ditengah kita. Daya juang mereka yang tak kenal lelah, kemampuan beradaptasi pada tugas baru, kegigihan dan kesanggupan hidup dengan taraf kualitas rendah yang membuat mereka sebagai pesaing berat,” (Alfred Deakin – Attorney General for Australia / Perancang UU Immigration Restriction Act 1901)




3. Sama-Sama Dipilih Langsung Oleh Rakyat



Meski sekarang berstatus independent, tak mampu dipungkiri bahwa Ahok berpolitik di suatu lingkungan dimana sokongan partai politik masih jadi semacam kebutuhan signifikan dalam meraih jabatan. Memang Ahok maupun John So sama-sama terpilih melalui pemilihan langsung, namun John So terpilih selama dua periode melalui jalur independen via sebuah tim kecil bernama Melbourne Living. Karirnya relatif cepat mengingat ia pertama kali masuk dunia politik tahun 1991 sebagai anggota Melbourne City Council.



Secara historis, John merupakan Lord Mayor Melbourne pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya pemilihan Mayor dilakukan tidak langsung oleh Councillors sebagai representasi rakyat. Bukan cuma sekali, tapi dua kali lho…!!!



4. Sama-Sama Berprestasi



Meski cuma berstatus Wakil Gubernur, Ahok tidak tenggelam dalam bayang-bayang Jokowi. Ia dikenal berprestasi dalam memberantas birokrat korup, tegas menghadapi premanisme di Tanah Abang, transparansi kinerja lewat media sosial YouTube dan membuka komunikasi pada masyarakat melalui pembagian nomor telepon pribadi sang Wagub.



Bagaimana dengan John So? Jauh sebelum Jokowi menggemparkan dunia dengan meraih peringkat ke-3 dalam kompetisi pretijius World Mayor Award 2012, John sempat menorehkan kesuksesan dengan menjuarai acara tersebut, 6 tahun yang lalu. Majalah The Economist melabeli Melbourne sebagai “The Most Liveable City” tiga kali pada 2002, 2004 dan 2005. Di masa jabatan pertamanya, John dikenal sangat aktif dalam mempromosikan pariwisata, memberantas kriminal dan juga menekan Pemerintah Federal untuk membangun museum Aborigin di Melbourne.



Suksesnya penyelenggaran Commonwealth Games 2006 di masa jabatan kedua turut melambungkan nama John. Sebuah event yang berkontribusi penting dalam memenangkan penghargaan World Mayor Award 2006 bagi John So.



Popularitas John bahkan turut menginspirasi pembuatan baju T-Shirt “John So, he is my bro” dan “John So for PM” (Perdana Menteri). Sebuah lagu juga dengan judul yang sama turut dipublikasikan dan memenangkan banyak hati “Melburnians” (sebutan untuk warga Melbourne).



Sekat-sekat etnis tiba-tiba menghilang dan mungkin tidak banyak pemimpin di Australia yang menimbulkan euforia begitu rupa bahkan hingga memberi harapan akan adanya Perdana Menteri Tionghoa pertama di Australia.



Entah suatu kebetulan, Indonesia pada tahun 2018 akan menyelenggarakan Asian Games. Apabila Ahok masih tepilih lagi untuk periode kedua pada 2017 nanti, maka ini akan menjadi kesempatan bagi dirinya untuk menorehkan tinta emas di mata internasional. Bukan tidak mungkin, apabila Ahok sanggup melebihi Jokowi dan memenangkan ajang World Mayor Award.



Renungan:



Berulang kali kita dengar: “awas kalau orang keturunan menjabat, nanti kita akan jadi bangsa kacung ataulah….negara kita akan digadaikan.” Sementara itu di Australia, orang-orang keturunan justru dimanfaatkan untuk membangun jaringan dengan negara lain yang merupakan tanah nenek moyangnya. Kedekatan kultur dan bahasa membuat John So sanggup membangun kerja sama dengan negara-negara Asia khususnya Tiongkok. Apalagi mengingat Melbourne juga menjadi bagian integral keanggotaan dari Business Partner City Network. Selain Auckland (Selandia Baru), semua anggotanya adalah kota-kota Asia.



Disini kita melihat hal yang miris di mana negara lain melihat divesifikasi sebagai ajang pemberdayaan, networking dan alat untuk ekspansi. Sementara di Indonesia, diversifikasi justru dipandang sebagai ancaman.



Mungkin ini adalah cara bagi beberapa orang untuk menyembunyikan fakta bahwa mereka sebenarnya tak mampu memberdayakan manusia Tionghoa, sehingga mereka percaya bahwa asing jauh lebih sanggup memberdayakan manusia Tionghoa. Orang minder cenderung menjadi orang paranoid. Merasa kalah dan gagal menanam pengaruh, orang Tionghoa dipercaya pada akhirnya akan membelot dan memperbudak diri pada asing ketimbang berkontribusi untuk Indonesia.



Fakta menarik mengenai John So, adalah di masa jabatannya yang ke-2, ia memiliki wakil seorang homoseksual. Bayangkan kalau skenario ini terjadi di Indonesia. Sudah lahir dari Hong Kong…eh wakilnya gay lagi. Pasti akan muncul fatwa dan ceramah-ceramah menyeramkan bahwa azab akan datang…kelak…suatu saat nanti. Kapan? Yah pokoknya kapan-kapan deh. Dan kita penduduk kotanya akan “dipastikan” turut masuk neraka apabila mencoblos kader “Cina kafir dan homo kafir” tersebut.





Sumber: News.com.au

Sumber: News.com.au



Anda Mungkin Tertarik Baca:


1. Israel, Palestina, 1948 FAQ


2. Tidak Hadiri ILC, Benarkah Ahok Pengecut?


3. Kemerdekaan Indonesia, “Earned” atau “Given.”


4. Akankah Film Musa Bernasib Seperti NOAH?


5. Ini Jawaban Ahok Bila Anak Istrinya Dibunuh








Sumber : http://ift.tt/1oKOWXd

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz