Suara Warga

Aksi FPI, Antara Ilusi Identitas dan Simbolisasi Paksa

Artikel terkait : Aksi FPI, Antara Ilusi Identitas dan Simbolisasi Paksa

Pintu masuk mencandra tindak serampangan yang rutin di lakukan FPI adalah ini: ilusi identitas. Bantal argumen kehadiran mereka yang membuat jengah banyak pihak, tak lain klaim bahwa mereka representasi Islam. Padahal senyatanya berbalik punggung. Kalaupun bisa di katakan “ya” bahwa mereka Islam, tak lain adalah peragaan simbolik, ikonik, dan retorika verbal semata.

Lantas, postur Islam seperti apakah yang rada-rada mirip dengan FPI? Baik dari segi metodologi aksi, penghayatan ideologis, ataupun dalam mendefinisikan musuh yang dilawan, nyaris tak ada tautologis apapun. Jadi, sekali lagi, FPI hanya mencuri simbolisasi.

Serumit menganyam tikar di malam gulita, untuk memperoleh titik kesamaan antara gerakan frontal FPI (yang bernuansa kekerasan fisik), dengan tipe-tipe perlawanan kelompok Islam yang pernah kita kenal (yang juga mengambil garis perlawanan tegas).

Dunia moderen mengenal perlawanan Islam bukanlah gerakan membabi buta. Melainkan ada reasoning yang jelas. Bahwa mereka memperjuangkan hak-hak dasar untuk berdaulat (HAMAS, Palestina atau FIS, Alzajair); bergulat mengembalikan kejayaan Islam klasik (Jamaat Islam); mengibarkan romantika khilafah (Hijbut Tahrir); atau menggelorakan Pan Islamika (Ikhwanul Muslimin).

Di luar konteks setuju tidaknya tipologi perlawanan Islam yang barusan di sebut, yang jelas di situ ada ruang nalar yang bisa dikenali dengan gampang.

Pertama, ada diskursus ideologis yang kuat, argumentatif, tekun dan koheren. Kedua, target perjuangan yang jelas disertai kesediaan untuk membayar resiko besar. Ketiga, mendefinisikan lawan secara pasti. Keempat, sosialisasi gagasan atau kampanye terstruktur. Kelima, terakhir, pewarisan nilai-nilai kejuangan via edukasi dan kaderisasi. Keseluruhan poin itu, kita sebut saja sebagai “dinding moralitas”.

Perkara inilah, yakni dinding moralitas yang tak kita temukan dalam FPI. Gerakan yang mereka bangun murni memanfaatkan sejumlah celah dan kelemahan-kelemahan sistem sosial politik yang berada dalam proses transisi (belum mencapai stabilitas penuh, dan dalam tahapan konsolidasi demokrasi). Ruang gerak mereka terasa leluasa karena masyarakat dan negara masih terpragmentasi.

Kalaupun berkaca pada perjalanan gerakan Islam di negeri ini, maka FPI hanya berhasil melakukan pengulangan-pengulangan “kesalahan” serupa di era lampau.

Di era mempertahankan kemerdekaan, misalnya, tatkala terjadi kekacauan sistemik, lahir lah berbagai kelompok, laskar, gerombolan, dan apa saja, atas nama ilusi identitas dan pencurian simbol. Ilusi identitas di era itu tak lain adalah menyatakan diri merdeka sebagai bebas berbuat apa saja, termasuk merampok, menggarong, dan menyerang saudara sendiri. Sementara pencurian simbolik, tak lain dengan mengibarkan warna-warna bendera suku, golongan, ras, dan kedaerahan.

Pun di fase berikutnya, entah di zaman Malari maupun reformasi. Catatan sejarah berjejal dengan cerita bagaimana ilusi identitas Islam dan simbolisasi Islam hanya dijadikan palu bagi penguasa tertentu, guna menggedor lawan, menakut-nakuti pihak yang berbeda. Di era Malari, seperti disebut oleh Dokumen Ramadi, ilusi identitas Islam dan pencurian simbolisasi Islam dilakukan dengan mengerahkan masa dari Banten. Sementara di era reformasi, kita ingat dengan aksi-aksi PAM Swakarsa.

Apa bentuk pengulangan kesalahan masa lalu dalam gerakan Islam yang sporadis?

Menurut Eep Saefulloh Fatah, ada empat ciri. Masing-masingnya: (1) Tidak tekun dalam mengelola isu, hanya retorika sesaat, dan mengandalkan efek demonstratif. Pola seperti ini jauh dari riset mendasar, kajian utuh, maupun desain argumentasi gerakan yang kokoh. (2) Terjebak pada persoalan “kulit luar” yang tak penting, dan melupakan sisi substansi dalam sebuah persoalan. Kata pendeknya, ciri ini adalah tak mampu merumuskan agenda aksi dan isu yang berdimensi jangka panjang serta tak mampu mengusung agenda perubahan secara baik. (3) Terlalu mengandalkan kerumunan, yang gampang dibakar, liar, dan kacau, alias tak mampu membuat barisan yang disiplin, rasional, dan terkelola. (4) Gampang dijadikan alat permainan politik oleh pihak yang lebih cerdas dan berkuasa. Mengutip istilah Ruth Mc Vey, gerakan Islam seperti ini hanya jadi palu, dipakai untuk menggedor dan meruntuhkan, untuk kemudian di simpan kembali ke gudang belakang, ketika sudah selesai digunakan.

Perspektif dari Eep ini cukup membantu dalam memahami aksi-aksi FPI selama ini. Persoalannya, apakah kita hanya selesai menafsir? Seraya menguar-uar kejengkelan dalam lalu lintas wacana, atau menghamburkan kemarahan dalam media sosial?

Sedikit banyak, cara-cara datar tersebut cukup membantu. Paling tidak bertukar keyakinan di antara pelbagai kelompok Islam moderat —yang tak setuju FPI, bahwa tak semua gerakan Islam harus berciri FPI. Kontribusi lain dari wacana tanding atas aksi FPI juga meluluhkan kesan negatif dari kelompok non Islam, bahwa FPI sama sekali bukan wakil Islam Indonesia.

Di luar itu, masih ada agenda yang bisa dilakukan bersama. Tak lain dengan membatalkan klaim-klaim FPI sendiri, bahwa mereka didukung umat, disupport ulama, dan mereka telah berjasa dalam menyalurkan aspirasi Islam. Mari kita imajinasikan bahwa ada kalangan Habaib yang jernih, Ulama yang bijak, dan organisasi Islam yang moderat, bersama-sama membuat kontras dengan aksi-aksi FPI. Barangkali itu langkah yang perlu…








Sumber : http://ift.tt/1s7yIac

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz