Suara Warga

UUPA "Benteng Pertahanan" UUPilkada Bagi Aceh

Artikel terkait : UUPA "Benteng Pertahanan" UUPilkada Bagi Aceh


Keistimewaan dan kekhususan Aceh diberikan terakhir kali oleh Negara Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (lebih dikenal dengan UUPA) yang dilahirkan oleh sebuah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Negara Indonesia Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.


Salah satu kekhususan bagi Aceh yang dituangkan dalam UUPA tersebut adalah mengenai Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Sehingga, jika ada Undang-Undang terbaru yang mengatur masalah tersebut, terhalangi bagi Aceh untuk diterapkannya. Kecuali dengan permohonan dari rakyat itu sendiri kepada Pemerintah Pusat seperti Calon Independen yang akhirnya diperbolehkan di Aceh untuk ikut serta dalam Pilkadasung.


Berikut kutipan Pasal 65, 66, 67, 68, 69, dan 70 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengenai Pemilihan Kepala Daerah secara langsung :



BAB X



PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR,



BUPATI/WAKIL BUPATI, DAN WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA



Bagian Kesatu



Umum



Pasal 65



(1) Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.






(2) Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.



(3) Biaya untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dibebankan pada APBA.



(4) Biaya untuk pemilihan bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dibebankan pada APBK dan APBA.



Bagian Kedua



Tahapan Pemilihan



Pasal 66



(1) Tahapan dan jadwal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota ditetapkan oleh KIP.



(2) Proses pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dilakukan melalui tahap persiapan, pencalonan, pelaksanaan pemilihan, serta pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan.



(3) Tahap persiapan pemilihan meliputi:



a. pembentukan dan pengesahan KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota;



b. pemberitahuan DPRA kepada KIP Aceh mengenai berakhirnya masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur;


c. pemberitahuan DPRK kepada KIP kabupaten/kota mengenai berakhirnya masa jabatan bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;



d. perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/ wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;



e. pembentukan Panitia Pengawas, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan Gampong, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara; dan



f. pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan.



(4) Tahap pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:



a. pendaftaran dan penetapan daftar pemilih;



b. pendaftaran dan penetapan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;



c. kampanye;



d. pemungutan suara;



e. penghitungan suara; dan



f. penetapan pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota terpilih, pengesahan dan pelantikan.



(5) Pendaftaran dan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, meliputi:



a. pemeriksaan administrasi pasangan bakal calon oleh KIP;



b. penetapan pasangan calon oleh KIP; dan



c. pemaparan visi dan misi pasangan calon dalam rapat paripurna istimewa DPRA/DPRK.



(6) Tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), aayt (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh KIP dengan berpedoman pada qanun.






Bagian Ketiga



Pencalonan



Pasal 67



(1) Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diajukan oleh :



a. partai politik atau gabungan partai politik;



b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal;



c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau



d. perseorangan.



(2) Calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:



a. warga negara Republik Indonesia;


b. menjalankan syari’at agamanya;


c. taat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


d. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang sederajat;



e. berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;


f. sehat jasmani, rohani, dan bebas narkoba berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;


g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi;



h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;


i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;


j. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;


k. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;


l. tidak dalam status sebagai penjabat Gubernur/bupati/walikota; dan


m. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.



Pasal 68



(1) Selain syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), calon perseorangan harus memperoleh dukungan sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota.



(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan identitas bukti diri dan disertai dengan pernyataan tertulis.



Pasal 69



Tahap pengesahan dan pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur terpilih meliputi:



a. penyerahan hasil pemilihan oleh KIP Aceh kepada DPRA dan untuk selanjutnya diteruskan kepada Presiden;



b. pengesahan Gubernur/Wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden; dan





c. pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Gubernur/Wakil Gubernur dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia di hadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam rapat paripurna DPRA.



Pasal 70



Tahapan pengesahan dan pelantikan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota terpilih meliputi:



a. penyerahan hasil pemilihan oleh KIP kabupaten/kota kepada DPRK dan untuk selanjutnya diteruskan kepada Gubernur;


b. pengesahan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden; dan



c. pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dilakukan oleh Gubernur atas nama Presiden Republik Indonesia di hadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah dalam rapat paripurna DPRK.




Diketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, berbunyi :





BAB XL



KETENTUAN PENUTUP



Pasal 269



(1) Peraturan perundang-undangan yang ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.



(2) Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang berkaitan secara langsung dengan otonomi khusus bagi Daerah Provinsi Aceh dan kabupaten/kota disesuaikan dengan Undang-Undang ini.



(3) Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA.



Pasal 270



(1) Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional dan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah diatur dengan peraturan perundang-undangan.



(2) Kewenangan Pemerintah Aceh tentang pelaksanaan Undang-Undang ini diatur dengan Qanun Aceh.



(3) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota tentang pelaksanaan Undang-Undang ini diatur dengan qanun kabupaten/kota.



***



Undang-Undang Pilkada hasil kesepatakan DPR RI ternyata tidak bisa diterapkan di Aceh. Karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.



Karena dalam Pasal 269 UUPA menyatakan bahwa segala Undang-Undang yang berkenaan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA.



UUPA merupakan “Benteng Pertahanan” bagi Aceh terhadap segala peraturan perundang-undangan lain yang sifatnya umum, karena UUPA merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus.


Di dalam Undang-Undang Pilkada juga tertuang bahwa UU Pilkada tidak dapat diterapkan di Aceh. berikut bunyinya:



BAB VII


KETENTUAN PENUTUP



Pasal 179



Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Penyelenggaraan pemilihan Kepada Daerah di provinsi Aceh, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri.




***



Bunyi dalam Pasal 179 Undang-Undang Pilkada sangat jelas bahwa untuk Aceh tidak dapat diberlakukan Undang-Undang Pilkada, karena Aceh telah mengatur dengan sendirinya dalam Undang-Undang Nomro 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.



Jika ingin merubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, maka sepenuhnya harus ada pertimbangan dan persetujuan dari DPRA.






Sumber : http://ift.tt/1t40rol

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz