Teganya wakil rakyat rampas hak rakyat
Rasanya cocok bagi wakil-wakil kita di senayan terutama kelompok koalisi MP ditimpali kekesalan dengan pepatah klasik “Hari Panas Kacang lupa kulit atau habis manis sepah dibuang”. Saya tadinya bangga menyaksikan wakil-wakil rakyat yang kritis berbicara dalam berbagai forum baik lewat televisi, radio atau tatap muka melalui seminar dan diskusi terbatas dimuat media cetak di mana-mana, karena betapa konsernnya mereka terhadap kesejahteraan masyarakat bangsa yang di diwakili dan juga kemajuan negaranya. Tegas dan lugas menyoroti kasus seperti korupsi hambalang, kasus Century, pajak, lumpur Lapindo Sidoardjo dan lain-lainnya, karena dianggap merugikan rakyat dan negara. Tapi akhir-akhir ini saya kok kurang simpati bahkan sering kesal kalau menyaksikan tayangan wajah-wajah wakil rakyat yang getol mengotakatik substansi kehidupan demokrasi yang masih remaja. Terutama sebelum dan sesudah Pilpres dalam kemelut berkepanjangan. Sebut saja UU MD3, sekarang RUU Pilkada. Dua hal inilah yang sangat mengganggu pikiran dan perhatian saya. Karena apa?
Pertama : Bapak dan ibu yang duduk sebagai Wakil Rayat di kursi empuk gedung beratap cembung senayan dengan predikat “yang terhormat” adalah utusan dari rakyat. Dipilih dan ditugaskan oleh rakyat, untuk memikirkan kemajuan Negara RI sebagai rumah besar rakyat Indonesia, juga kesejahteraan rakyat banyak. Menampung aspirasi dan memproteksi hak rakyat yang memilih. Salah satu hak sangat hakiki adalah ikut menentukan pemimpinnya baik di tingkat nasional mau pun tingkat daerah, pemilihan Presiden, Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Bupati/Walikota juga wakil-wakilnya yang dijamin konstitusi. Tapi terkesan kepercayaan dari rakyat itu dianggap warisan nenek moyang mereka bahkan sekarang mau dirampas untuk dikuasai sepenuhnya oleh mereka di tingkat pusat sampai ke daerah.
Kedua : Karena kepentingan politik pribadi dan kelompok koalisinya, mandat rakyat itu dijelmakan menjadi mandat absulut pribadi disatukan dalam kelompok koalisi dengan merekayasa pikir dan pandangan serta tafsiran aturan dan perundangan menurut kebenaran individu atau kelompok, dan mengabaikan kesepakatan umum yang sudah ditetapkan bersama sebelumnya. Sikap yang melahirkan faksi bersebrangan wakil-wakil rakyat di senayan. Faksi Merah Putih dan Faksi Indonesia hebat (menurut saya …..). Berpotensi perpecahan membahayakan negara.
Ketiga : Wakil rakyat ini tak peduli terhadap penghargaan dan kehormatan dari rakyat yang mengantar mereka duduk manis di senayan sambil menikmati fasilitas eksklusif luar biasa, dibanding rakyat pengutusnya yang tidur dikolong jembatan dan belum tentu bisa makan sekali sehari. Terkesan tutup mata, tutup hati dan menghindar dari pemberi mandat. Padahal ketika hendak mencari dan merebut kursi di senayan, rakyat kecil jadi obyek diiming-imingi macam-macam. Setelah jadi, malah tak peduli lagi.
Saya merenung dalam keterbatasan nalar saya tentang fakta ini. Mengambil referensi pikiran dan tanggapan dari pengamat lewat debat di televisi. Ada pro dan ada juga kontra. Seperti tidak ada titik temu secara kualitatif. Titik temu yang ada hanyalah titik temu kuantitatif. Maksudnya, karena jumlah wakil rakyat pihak lawan lebih besar merekalah menang. Misalkan golkan UU MD3. Dengan sendirnya peraih suara rakyat terbanyak dalam pileg april 2014 tidak akan berpengaruh apa-apa. Hak konstitusional rakyat yang sudah disalurkan diabaikan dianggap tidak ada. Sebentar lagi kalau berpatokan pada jumlah, maka RUU Pilkada pasti dimenangkan Koalisi MP menjadi Undang Undang. Lagi-lagi peraih suara terbanyak gigit satu jari bukan dua jari. Maka tiga jari yang dikumandangkan di atas kapal Pinisi di Bandar Laut Sunda Kelapa jadi hambar. Lebih kesal lagi, kenapa mereka kita wakilkan untuk menjamin hak kita kok malah dirampas dan diambil alih untuk dikuasai. Tidak salah kalau mereka ini, kita timpali kacang lupa kulit karena hari panas, juga sudah hisap manisnya sampah telantarkan begitu saja. Kesaaaaaaaal…..
Sumber : http://ift.tt/1s9JkEU
Pertama : Bapak dan ibu yang duduk sebagai Wakil Rayat di kursi empuk gedung beratap cembung senayan dengan predikat “yang terhormat” adalah utusan dari rakyat. Dipilih dan ditugaskan oleh rakyat, untuk memikirkan kemajuan Negara RI sebagai rumah besar rakyat Indonesia, juga kesejahteraan rakyat banyak. Menampung aspirasi dan memproteksi hak rakyat yang memilih. Salah satu hak sangat hakiki adalah ikut menentukan pemimpinnya baik di tingkat nasional mau pun tingkat daerah, pemilihan Presiden, Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Bupati/Walikota juga wakil-wakilnya yang dijamin konstitusi. Tapi terkesan kepercayaan dari rakyat itu dianggap warisan nenek moyang mereka bahkan sekarang mau dirampas untuk dikuasai sepenuhnya oleh mereka di tingkat pusat sampai ke daerah.
Kedua : Karena kepentingan politik pribadi dan kelompok koalisinya, mandat rakyat itu dijelmakan menjadi mandat absulut pribadi disatukan dalam kelompok koalisi dengan merekayasa pikir dan pandangan serta tafsiran aturan dan perundangan menurut kebenaran individu atau kelompok, dan mengabaikan kesepakatan umum yang sudah ditetapkan bersama sebelumnya. Sikap yang melahirkan faksi bersebrangan wakil-wakil rakyat di senayan. Faksi Merah Putih dan Faksi Indonesia hebat (menurut saya …..). Berpotensi perpecahan membahayakan negara.
Ketiga : Wakil rakyat ini tak peduli terhadap penghargaan dan kehormatan dari rakyat yang mengantar mereka duduk manis di senayan sambil menikmati fasilitas eksklusif luar biasa, dibanding rakyat pengutusnya yang tidur dikolong jembatan dan belum tentu bisa makan sekali sehari. Terkesan tutup mata, tutup hati dan menghindar dari pemberi mandat. Padahal ketika hendak mencari dan merebut kursi di senayan, rakyat kecil jadi obyek diiming-imingi macam-macam. Setelah jadi, malah tak peduli lagi.
Saya merenung dalam keterbatasan nalar saya tentang fakta ini. Mengambil referensi pikiran dan tanggapan dari pengamat lewat debat di televisi. Ada pro dan ada juga kontra. Seperti tidak ada titik temu secara kualitatif. Titik temu yang ada hanyalah titik temu kuantitatif. Maksudnya, karena jumlah wakil rakyat pihak lawan lebih besar merekalah menang. Misalkan golkan UU MD3. Dengan sendirnya peraih suara rakyat terbanyak dalam pileg april 2014 tidak akan berpengaruh apa-apa. Hak konstitusional rakyat yang sudah disalurkan diabaikan dianggap tidak ada. Sebentar lagi kalau berpatokan pada jumlah, maka RUU Pilkada pasti dimenangkan Koalisi MP menjadi Undang Undang. Lagi-lagi peraih suara terbanyak gigit satu jari bukan dua jari. Maka tiga jari yang dikumandangkan di atas kapal Pinisi di Bandar Laut Sunda Kelapa jadi hambar. Lebih kesal lagi, kenapa mereka kita wakilkan untuk menjamin hak kita kok malah dirampas dan diambil alih untuk dikuasai. Tidak salah kalau mereka ini, kita timpali kacang lupa kulit karena hari panas, juga sudah hisap manisnya sampah telantarkan begitu saja. Kesaaaaaaaal…..
Sumber : http://ift.tt/1s9JkEU