Suara Warga

Takut Tidak Terpilih Kepala Daerah Protes RUU

Artikel terkait : Takut Tidak Terpilih Kepala Daerah Protes RUU



1410500696686327640 ilustrasi/Sidang DPR/Fhoto Wikipedia



Persoalan Pemilihan Kepala Daerah, yang akan di kembalikan kepada Lembaga Legeslatif (DPRD) sesuai dengan menjelang di syahkan nya Rencana Undang Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD banyak melahirkan komplik. Satu persatu Kepala Daerah yang di usung oleh Partai Politik, ketika Partainya menyetujui agar Pemilihan Kepala Daerah di kembalikan kerpada DPRD, melakukan aksi mundur dari partainya.

Mundurnya para Kepala Daerah dari partai pengusungnya adalah bentuk protes yang dilakukan oleh Kepala Daerah terhadap persetujuan yang di ambil oleh Partai pengunsungnya terhadap akan di syahkannya RUU Permilihan Kepala Daerah tersebut. Tentu dalam hal ini timbul pertanyaan, kenapa para Kepala Daerah ini Protes jika Pemilihan Kepala Daerah di pilih oleh DPRD, ada apa di balik semua ini?

Sebagai orang awam tentu kita gampang untuk menebaknya. Kepala Daerah yang umumnya masih menjabat satu priode takut jika pemilihan Kepala Daerah di pilih oleh DPRD dia tidak akan terpilih lagi. Atas ketakutannya ini maka dia melakukan protes. Karena selama ini ketika pemilihan Kepala Daerah di pilih langsung oleh rakyat, sang Kepala Daerah bisa membodoh bodohi rakyat. Dengan menebar janji janji manis,tapi kosong belaka. Jika di pilih oleh DPRD, tentu Kepala Daerah yang terpilih tidak akan mampu/dan berani untuk membohongi DPRD.

Banyak yang menganalisa dengan berbagai pendapat, bahwa jika Kepala Daerah dipilih oleh DPRD maka akan terjadi money politik, tawar menawar akan terjadi di sana antara calon Kepala Daerah dengan Anggota DPRD. Lantas apakah jika dipilih langsung oleh rakyat apakah tidak ada money politiknya. Malah ketika Kepala Daerah di pilih langsung oleh rakyat khoss meney politiknya lebih besar. Makanya lahir istilah “ waninyo Piro “

Jika kita jujur sebenarnya Kepala Daerah itu mau dipilih siapapun, hasilnya tetap sama, Jika ia berprofesi sebagai buruh, nelayan, pedagang, pengusaha dan lain sebagai nya, siapapun yang terpilih sebagai Kepala Daerah tetaplah profesinya akan seperti itu juga. Terkecuali jika atok/neneknya, orang tua nya, anak nya atau adik/abang nya yang menjadi kepala daerah, maka nasib nya akan berobah.

Protes yang di lakukan oleh Kepala Daerah terhadap Partai pengusungnya ketika menyetujui wacana pengesahan RUU Pemilihan Kepala Daerah, tentu terlalu berlebihan. Bohong besar jika ada Kepala Daerah yang menyatakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah lebih baik hasilnya di pilih oleh rakyat secara langsung dari pada di pilih oleh DPRD. Malah yang terjadi sebaliknya. Lebih bobrok pemerintahan di Provinsi/ kota/Kabupaten yang kepala daerahnya di pilih langsung oleh rakyatnya.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyatnya selama ini telah melahirkan raja raja kecil di daerah. Kepala Daerah yang terpilih bukan nya memperjuangkan nasib dan penderitaan yang di alami oleh rakyat sebagai pemilihnya, tapi melainkan malah mereka memlahirkan dinasti dinasti yang bernuansa Korupsi.Kolusi dan Nefotisme (KKN). Di daerahnya. Lihat saja bagai mana Ratu Atut Chosiyah ketika menjadi Gubernur Banten. Kemudian Anas Maamun ketika menjabat sebagai Gubernur Riau. Mereka melahirkan dinasti yang penuh dengan tirani.

Nah, bagaimana dengan rakyat yang jambarnya akan di kembalikan kepada DPRD? Apakah mereka protes dengan wacana RUU Pemilihan Kepala Daerah di pilih oleh DPRD, rakyat sepertinya tidak ambil peduli dengan wacana RUU itu walaupun mereka akan kehilangan uang Rp 50.000/kepala. Karena selama ini pun rakyat sudah banyak di bohongi oleh Kepala Daerah yang mereka pilih. Dan yang ironisnya ketika kepala daerah yang mereka pilih tidak menjalankan roda pemerintahan di daerah sesuai dengan amanat yang di berikan oleh rakyat, dan rakyat protes dengan gampang tampa ada beban sang kepala daerah menjawab “ Kepala Kalian kan sudah saya bayar Rp 50.000,- saya mau berbuat apa itu urusan saya bukan urusan kalian “ sadis memang ucapan kepala daerah ini.

Jika mengacu kepada pengalaman selama 10 tahun kepala Daerah di pilih oleh rakyat, tidak terlihat adanya kemajuan, malah yang terjadi kemunduran terutama dalam hal moral. Kepala daerah yang terpilih tidak lagi memiliki moral yang seharusnya melindungi rakyat yang memilihnya, malah mereka melakukan pelecehan terhadap rakyat yang memilihnya. Ingat Aceng Fikri Bupati Garut yang melakukan Poligami dan cerai via SMS, karena kata Aceng Pernikahan itu sama seperti membeli baju di toko, kalau tak cocok yang di pulangkan. Dan baca juga kisah pelecehan sex yang dilakukan oleh Gubernur Riau Anas Maamun, yang dipilih langsung oleh rakyat, tapi akhirnya melecehkan dan menghina rakyat yang memilihnya.

Mengembalikan pemilihan Kepala Daerah kepada DPRD suatu hal yang sangat tepat. Terlepas dari ada tidaknya money politik disana. Yang pasti jika Kepala Daerah di pilih oleh DPRD tanggung jawab terhadap kepala Daerah yang terpilih jika melakukan penyimpangan tidak lagi menjadi tanggung jawab rakyat yang memilihnya, tapi merupakan tanggungjawab DPRD yang telah memilihnya. Rakyat tidak perlu lagi protes kepada Kepala Daerah, tapi melainkan kepada DPRD yang anggotanya di pilih oleh rakyat. Karena selama inipun yang berhak memberhentikan Kepala Daerah terpilih bukan rakyat, tapi melainkan DPRD. Semoga Wacana RUU Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD secepatnya di syahkan menjadi Undang Undang.






Sumber : http://ift.tt/X4NQsa

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz