SISTEM REKRUITMEN DAN PROMOSI JABATAN DI INSTANSI PEMERINTAH
Oleh : eN-Te
Secara normatif, seseorang dapat membina dan mengembangkan jenjang karier mulai dari bawah hingga dapat mencapai puncak dari piramida sebuah organisasi. Begitu pula seharusnya yang terjadi di instansi-instansi Pemerintah. Kondisi tersebut, tidaklah menggambarkan bahwa seseorang tidak dapat meningkatkariernya bila tidak melalui tahap-tahap secara gradual. Gradasi hanyalah menggambarkan proses alamiah untuk menuju dan mencapai pada suatu titik tertinggi (kesempurnaan). Seseorang dapat saja meningkat karier dan mencapai posisi tertentu melalui sistem promosi yang tidak melalui tahap-tahap secara gradual dan wajar, sepanjang itu memungkinkan untuk dicapainya. Akan menjadi hal yang dianggap distorsi bahkan menunjukkan gejala anomali bila proses mencapai posisi tertentu tersebut tidak memperhatikan aspek-aspek “kepatutan”yang menjadi parameter penilaian dengan mengabaikan nilai-nilai sportivitas dan fairness.
Aspek-aspek “kepatutan” yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas kompetisi dapat menjadi rambu-rambu dan panduan secara jelas dan ajeg dalam membuat pemetaan jenjang karier, sistem rekruitmen, dan sistem promosi. Bahwa seseorang dapat saja mencapai posisi tertentu dengan tidak melalui jalan atau tahapan secara gradual, bila ia secara personal dapat menunjukkan kompetensi dan kapabilitas untuk mencapai dan menempati posisi tersebut. Jika aspek-aspek “kepatutan” ini sengaja dibuat kabur dan buram, hal itu memberikan implikasi yang kurang baik bagi pola pengembangan karier, sistem rekruitmen, dan promosi, bahkan dapat merusak sistem secara keseluruhan.
***
Saya yakin, setiap orang pasti berkeinginan memiliki jenjang karier yang mulus, sehingga pada suatu tahap tertentu mendambakan dapat mencapai posisi puncak. Untuk mencapai posisi puncak tersebut, tentu saja setiap individu (orang) memiliki cara dan kiat-kiat tersendiri. Cara tempuh atau kiat-kiat tersebut dapat dilakukan secara normatif dan atau harus menempuh pola-pola yang tidak lazim yang dikembangkan secara khusus, tidaklah menjadi hal yang harus diperdebatkan sepanjang tetap berada pada koridor yang semestinya. Tentu saja, pola dan atau cara yang dikembangkan tersebut tidak bertentangan dengan aspek-aspek “kepatutan” dan juga nilai-nilai sportivitas. Karena pengabaian terhadap pertimbangan-pertimbangan moral dapat memberikan implikasi buruk terhadap motivasi, prestasi, dan kinerja personal secara individual. Di ujung lorong dari proses distortif dan anomalitas akan bermuara pada kinerja organisasi secara keseluruhan.
Berdasarkan hal tersebut, saya ingin menggambarkansecara sepintas terhadap pemetaan jenjang karier, sistem rekruitmen dan promosi untuk mengisi posisi-posisi atau jabatan struktural di suatu lembaga atau instansi Pemerintah. Fenomena ambiguitas pola pemetaan jenjang karier, sistem rekruitmen, dan promosi pada “Lembaga A”Provinsi Sulawesi Selatan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat yang berada di tingkat Provinsi, dapat menjadi contoh kasus.Apakah pola pemetaan dan pengembangan jenjang karier dan proses rekruitmen untuk mengisi posisi-posisi pada jabatan-jabatan sturktural tertentu telah melalui sebuah sistem promosi yang baik dan benar ataukah tidak. Posisi-posisi pada jabatan struktural tersebut dari tingkat atau eselon yang paling bawah sampai pada tingkat atau eselon yang paling atas.Tingkat jabatan struktural pada “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat yang berada di tingkat Provinsi dari eselon IV sampai dengan tingkat jabatan struktural yang paling atas, yakni eselon II. Model dan proses rekruitmen dan promosi untuk mengisi jabatan-jabatan struktural di “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan tersebut pada beberapa kasus suksesi, baik karena alasan-alasan normatif karena pejabat yang mengisi posisi tertentu itu telah memasuki masa purnabhakti dan atau karena alasan rotasi demi penyegaranorganisasi, memberikan kesan “mengabaikan” prosedur baku dari pakem yang sudah ditetapkan sesuai dengan aturan yang berlaku.
***
Menurut ketentuan baku sebagaimana pakem aturan legal formal, yang selama ini praktek yang lazim telah berjalan, seseorang dapat mencapai dan menempati posisi jabatan struktural tertentu bila telah memenuhi syarat dan ketentuan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Seseorang pegawai pada suatu instansi pemerintah berhak dipromosikan dan dapat saja menempati posisi jabatan strutural tertentu bila telah memenuhi syarat. Apakah syarat tersebut berkaitan dengan syarat administratif maupun berkaitan dengan syarat kemampuan personal. Jika hal ini dapat berjalan normal, semestinya promosi pengisian posisi pada jabatan struktural (tertentu) di “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan tidak harus mengalami hambatan, yang seperti selama ini kita saksikan.Lagi pula, semua proses akan berjalan dengan lancar bila jenjang karier sudah terpetakan secara jelas dari awal dengan mekanisme dan sistem promosi yang jelas, transparan, dan akuntabel.
Berbeda halnya dengan instansi-instansi swasta. Pada instansi swasta, pemetaan dan pengembangan jenjang karier dan sistem promosi sudah ditetapkan melalui sebuah sistem baku, yang dikenal dengan nama merit system. Dengan model merit system, seseorang karyawan sejak awal direkrut sudah dapat dengan jelas memetakan rencana-rencana prospektif secara bertahap dalam pengembangan jenjang kariernya. “Pengkondisian” oleh manajemen melalui model “fair play” seperti ini malah memberikan ruang gerak kompetisi yang lebih dinamis dan produktif bagi semua karyawan. Masing-masing karyawan akan memiliki motivasi intrinsik maupun ekstrinsik dan merasa tertantang untuk memberikan kinerja yang terbaik bagi organisasi (instansinya).
***
Dengan demikian, model dan proses rekruitmen dan promosi pada “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan sebagai UPT Pusat di tingkat provinsi pada beberapa kali proses suksesi maupun rotasi, menampakkan diri dalam potret “pengabaian” prosedur baku secara “telanjang”. Bukan saja soal “pengabaian” prosedur legal formal, tetapi juga melanggar etika kepatutan. Bagaimana mungkin, seseorang, baik secara prosedur administrasi “tidak memenuhi syarat” untuk diusulkan maupun tidak memiliki keterkaitan pengembangan jenjang karier secara historikal, dapat saja dipromosikan dan malah lolos seleksi untuk menduduki suatu posisi jabatan struktural tertentu di sebuah instansi? Lebih celaka lagi, bila seseorang yang ditunjuk dan ditetapkan untuk menduduki posisi puncak di sebuah instansi tersebut, malah tidak melalui tahap-tahap seleksi sebagaimana prosedur baku yang selama ini berlaku.
Boleh saja berlindung di balik alasan bahwa kewenangan penetapan dan pengangkatan seseorang untuk menempati suatu jabatan struktural tertentu pada suatu instansi (Pemerintah) seperti “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan, menjadi kewenangan mutlak pejabat di atasnya. Tentu saja, tidak hanya karena pertimbangan kompetensi dan kapabilitas personal individual, tetapi juga, dalam praktek umum lebih karena faktor “relasi dan kedekatan personal”. Tapi perlu juga diingat bahwa di samping harus memenuhi syarat administrasi, kompetensi dan kapabilitas personal individual, bahkan juga karena faktor “relasi dan kedekatan personal”, seseorang yang ditunjuk dan diangkat (dipromosikan) harus juga memiliki akseptasi atau akseptabilitas (keberterimaan).Dalam konteks ini dapat dipahami kondisi psikologis “sebagian besar”karyawan atau pegawai di “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan yang sedikit resisten(si) karena merasa telah “dizholimi” secara vulgar dalam kaitan dengan proses rekruitmen jenjang karierdan sistem promosi.
***
Saya tidak berpretensi untuk mempengaruhi persepsi semua karyawan di “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan di mana penulis juga adalah bagian yang tak terpisahkan, karena juga termasuk salah satu personil staf, melalui tulisan ini agar “terhipnotis” sehingga mau menerima argumentasi saya, kemudian sependapat dan sepaham dengan saya. Melainkan, lepas dari semua itu, saya ingin mencoba memberi gambaran dari perspektif lain, untuk melihat persoalan pola pemetaan dan pengembangan jenjang karier dan sistem promosi di “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan, apakah sudah berjalan sesuai dengan prosedur yang benar. Saya merasa terdorong untuk menuangkan ide atau gagasan ini, setelah pada Kamis, 25 September 2014, kembali “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan mendapat kesempatan memperoleh “hadiah” berupa pelantikan personil staf untuk mengisi jabatan struktural eselon III dan eselon IV yang praktis hampir satu tahun tidak terisi (lowong). Terlebih ada dua Kepala Bidang (Kabid) di “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan mendapat promosi dan dilantik menjadi pimpinan puncak di lembaga lain. Sebenarnya gagasan ini sudah lama muncul, sesaat setelah mendapat informasi tentang pelantikan pimpinan puncak “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan, yang dalam pandangan saya kurang mengakomodasi kepentingan internal di “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan, karena bagi saya, profil (calon) pimpinan tersebut tidak mempunyai hubungan historis apalagi hubungan genealogis secara langsung dengan “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan.
Terminologi “hadiah” yang saya gunakan untuk mendeskripsikan promosi personil staf untuk mengisi salah satu jabatan struktural eselon III dan eselon IV di “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan di atas, mungkin agak sedikit kedengaran vulgar, karena dalam pandangan saya persoalan ini masih perlu ditata ulang. Hal ini penting, mengingat masalah ini tidak semata-mata (hanya) menyangkut prosedural administrasi, kompetensi, kapabilitas personal, tetapi juga karena masalah “pengabaian historikal”terhadap kejelasan dan keberlanjutan (pengembangan) jenjang karier.
Saya menyadari bahwa pernyataan pada paragraf (terakhir) di atas bisa menimbulkan bermacam-macam tafsir (multi-tafsir). Karena bisa jadi memunculkan kontroversi dan polemik. Bisa saja anggapan saya ini terlalu prematur dan subyektif. Dalam posisi dan konteks apapun, senetral apapun sebuah pernyataan, akan memberikan implikasi, khususnya pada tataran tafsir.Karena itu, saya harus dapat memposisikan diri saya sebagai seorang “pengamat”, yang tidak hanya melihat dari sisi luar, tetapi juga harus dapat memotret dari sisi dalam. Dengan posisi tersebut, saya ingin mengatakan bahwa sesubyektif apapun perspektif dalam tulisan ini, dapat menjadi “sebuah renungan”, bahwa kita harus senantiasa selalu melakukan muhasabah, agar terjadi evaluasi dan perbaikan secara bertahap dan berkelanjutan demi untuk menghadirkan yang terbaik bagi organisasi, sebagai kontribusi bagi bangsa yang kita cintai ini.
Dengan demikian, ke depan kita berharap, pola pemetaan dan kontinuitas pengembangan jenjang karier, dan sistem promosi senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan secara normatif maupun etika kepatutan. Tidak hanya semata-mata melihat dari sisi kemampuan personal, ya kompetensi, ya kapabilitas, ya “relasi personal”, tetapi juga yang perlu harus dipertimbangkan adalah akseptasi atau akseptabilitas (keberterimaan). Hal ini penting untuk menghindari resistensi dari internal organisasi, yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh terhadap kinerja organisasi (instansi) secara keseluruhan pula.Yang terpenting adalah menunggu “terobosan” apa dilakukan para “pejabat” tersebut, apalagi dapat meretas kebiasaan jalan pembaruan dan dapat merombak mindset unit kerja centris dan monopoli kegiatan atas nama tugas dan fungsi. Jangan sampai setelah berakhir masa tugas, bukan “cerita manis” yang ditinggalkan, melainkan membuat “dongeng palsu” untuk mencari “kenyamanan personal” yang cenderung ingin asal bapak senang (ABS).
***
Lepas dari semua argumen rasional yang mungkin, saya juga merasa bersyukur karena jabatan struktural dan III dan eselon IV di “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan tersebut, akhirnya, memiliki “tuannya”. Secara pribadi saya juga merasa bahagia, karena dua calon yang diusulkan dan dipromosikan untuk mengisi jabatan tersebut, adalah teman-teman baik, karena itu bisa saya katakan mempunyai kedekatan secara personal dengan mereka. Di samping itu, dengan terisinya posisi tersebut oleh “tuannya”, maka salah satu masalah “krusial” menyangkut pengisian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) pada subbagian dari jabatan tersebut sedikit banyak telah mendapat jalan keluar. Dengan demikian, persoalan-persoalan menyangkut pembayaran tunjangan kinerja (tukin) pegawai sudah mulai terurai. Karena selama ini, diduga keterlambatan dan tersendatnya pembayaran tukin bagi pegawai di “Lembaga A” Provinsi Sulawesi Selatan berkaitan dengan belum ditindaklanjutinya pengisian SKP pada subbagian tersebut. Sementara di pihak lain, kita sudah kadung berharap agar pembayaran tukin tersebut sesegera mungkin terealisir. Meski juga harus diantisipasi segera dengan akan terjadinya kekosongan jabatan setelah “ditinggal pergi” dua Kepala Bidang yang telah promosi jabatan ke instansi lain.
Hemat saya, mungkin segera diidentifikasi personil-personil (SDM) potensial yang ada untuk juga mendapat kesempatan dipromosikan jenjang karier. Dan sesuai dengan etika kepatutan dan secara prosedur normatif berdasarkan jenjang karier, maka hendaknya jabatan-jabatan yang akan lowong tersebut diisi oleh eselon di bawahnya. Jika setelah prosedur normatif ini telah dilalui dan tidak terjaring profil yang “layak” menduduki posisi tersebut, baru melangkah menjaring personil staf potensial, bahkan bila perlu membuat terobosan dengan mengadopsi model lelang jabatan . Langkah terakhir baru “mencari” dari pihak eksternal. Itupun harus senantiasa memperhatikan histori jenjang karier, sinkronisasi dan relevansi tugas sebelumnya dengan tugas fungsi yang ada di “Lembaga A”Provinsi Selatan. Jangan sampai terkesan asal dropping, alias duli tuanku.
Mengakhiri tulisan ini, saya juga perlu menyampaikan selamat kepada pejabat yang dilantik, baik pejabat eselon IV, eselon IIIdan pejabat eselon II,serta dua Kabid yang mendapat promosi memimpin di lembaga lain, semoga dapat menjalankan tugas dan amanah secara baik dan profesional dan senantiasa mengutamakan akses untuk semua (acses for all) dalam setiap momentum kegiatan realisasi program kerja lembaga. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita dalam memberikan pengabdian yang terbaik bagi bangsa dan negara yang tercinta ini. Amien YRA.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 29 September 2014
Sumber : http://ift.tt/Yz826l