Suara Warga

SBY Itu Seperti yang Tidak Ikhlas untuk Turun Tahta

Artikel terkait : SBY Itu Seperti yang Tidak Ikhlas untuk Turun Tahta

Gunung Slamet di Jawa Tengah mengeluarkan lava panas, alias meletus. Disusul kemudian gunung Lokon di Sulawesi Utara juga ikut-ikutan meletus juga. Sudah pasti warga di sekitar kedua gunung berapi tersebut saat ini dicekam keprihatinan, dan mengundang perhatian – tentu saja. Begitu headline media cetak dan elektronik mengabarkan.

Sama halnya dengan kabar dari Ibu kota, Jakarta.Selain berdebar-debar menunggu pelantikan Presiden dan wakil Presiden anyar hasil Pilpres yang kemarin dulu tak kalah mendebarkan juga, kita pun disuguhi pula dengan gonjang-ganjing yang diteriakan para pecundang dari koalisi merah putih produknya Prabowo Cs. Yang tak lain dan tak bukan yakni terkait UU MD3, dan UU Pemilukada yang konon akan kembali diserahkan kepada DPRD.

Inilah masalahnya. Kabar itu sungguh-sungguh membuat kita, sebagai rakyat menjadi geram dibuatnya. Bagaimanapun memilih pemimpin pemerintahan yang selama ini dilaksanakan dengan melibatkan rakyat secara langsung adalah suatu hal yang memiliki arti tersendiri dalam kehidupan berdemokrasi di negeri ini. Kita semua, atawa rakyat di Indonesia ini paling tidak dapat menikmati arti kemerdekaan dalam menjunjung kedaulatan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi tiba-tiba saat ini kondisi itu dijungkir-balikkan kembali oleh mereka yang tergabung dalam koalisi merah putih (Partai Gerindra, Golkar, PAN, PPP, Demokrat, dan PKS) dengan bermacam-macam argumen.

Seperti yang diungkapkan Fadli Zon, bahwa hal itu (Pemilukada oleh DPRD) telah sesuai dengan Sila ke-4 dari Panca Sila, yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Alasan lain karena selama ini Pemilukada langsung kental dengan money politics, alias bagi-bagi duit untuk mendapat dukungan. Disusul pula dengan argumentasi yang katanya pemilukada langsung itu rawan konflik horizontal. Dan yang tak kalah menggebu-gebunya adalah alasan bahwa pemilukada langsung banyak menelan dana negara yang lumayan gede. Bahkan masih kata Fadli Zon, sebagian besar rakyat telah mendukung terhadap UU Pemilukada yang mereka gulirkan tersebut. Demikian juga dengan pelaksanaan Pemilukada langsung mereka tuding sebagai produk demokrasi liberal dari Barat sana.

Begitulah. Bermacam argumentasi, atawa dalih yang mereka kemukakan dengan berbusa-busa, terus digembar-gemborkan. Apalagi dengan adanya ‘angin sejuk’ yang dihembuskan dari istana negara, alias sikap diamnya pucuk pemimpin negara, yang tak lain adalah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, yang juga sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, tampaknya kondisi akibat wacana RUU Pemilukada yang sebentar lagi akan disahkan, semakin meruncing saja.

Ya. Kondisi semacam ini, atawa akan munculnya chaos, atawa paling tidak kubu-kubuan yang bertentangan diakhir pemerintahan SBY, tampaknya seperti amat sangat diharapkan oleh ayahnya Ibas ini. Betapa tidak. SBY dan Partai Demokratnya sudah menyetujui, demikian juga RUU itu sendiri tokh disodorkan Pemerintah (SBY) ke DPR.

Sehingga kita, sebagai rakyat, berkesimpulan bahwa diakhir pemerintahannya, SBY seakan tidak ikhlas melepaskan jabatannya sebagai Presiden. Bahkan dengan serta-merta, beliau justru menerbitkan UU MD3 yang di dalamnya merubah tata cara pembentukan pimpinan DPR dari yang asalnya berasal dari partai peraih suara terbanyak, sekarang diganti dengan cara dipilih oleh semua anggota DPR. Kemudian disusul dengan menyodorkan RUU Pemilukada yang didalamnya berisi antara lain terkait pemilukada Bupati/Walikota langsung, dirubah dengan cara dipilih oleh DPRD.

Maka jangan salahkan kita, sebagai rakyat negeri ini, akan merasa kehilangan hormat terhadap Presiden yang dikenal santun dan mengerti terhadap rakyatnya. Malahan sebaliknya, telunjuk seluruh rakyat menuding Anda sebagai orang yang picik dan licik, karena telah menjungkir-balikkan kembali tatanan berdemokrasi yang selama ini Anda bangun, yang katanya untuk menuju masyarakat demokrasi yang madani malah justru kembali kepada masa Orde Baru yang telah dikubur oleh Orde Reformasi.

Apa boleh buat. Tragedi yang disebabkan bencana alam seperti meletusnya gunung Slamet dan Lokon, telah membuat kita semua prihatin. Sebagaimana juga sikap Presiden SBY yang membiarkan rakyat Indonesia kebingungan, dan juga gontok-gontokkan oleh sikapnya yang diam setelah pemerintahan SBY sendiri menerbitkan dua buah UU yang kontroversial tersebut.

Sungguh. Kita prihatin oleh sikap SBY. Mengapa RUU Pilkada muncul diahir masa jabatan Anda ?***




Sumber : http://ift.tt/1D4xOiQ

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz