RUU Pilkada: Rakyat Kembali ke Titik Nol (Tidak Berdaulat)
Oleh : Supriadi Purba
Ada-Ada saja Anggota DPR RI yang diujung keperiodeaanya mengambil sebuah sikap perlawanan politik yang akan menggadaikan hak rakyat. Jelas, terlihat nilai politiknya sangat bobrok mengatasnamakan rakyat dengan mencederai hak rakyat sendiri. Lagi-lagi terlihat bagaimana sebenarnya pemikiran Anggota DPR bukan mewakili rakyat yang memilihnya melainkan atas dasar kepentingan politik yang akan bergerak seiring dengan kepemimpinan Presiden Jokowi yang merupakan pilihan rakyat secara demokratik. Akankah hak rakyat satu-satunya dikebiri oleh kepentingan, atau rakyat akan bertindak dan marah dengan melakukan perjuangan bersama para penentang untuk mengembalikan haknya sebagai warga negera untuk memilih siapa yang menjadi pemimpinnya?
Sudah diduga sebelumnya bahwa akan ada perlawanan dari Koalisi Merah Putih yang mengusung Prabowo-Hatta terhadap terhadap kemenangan Jokowi-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Perlawanan tersebut sejatinya bukan permainan politik yang fair, melainkan satu bentuk tindakan untuk menghambat kepemimpinan Jokowi-JK dengan memperuat posisi di Parlemen walaupun itu menghilangkan hak rakyat.
Pertama adalah UU MD3 yang secara otomatis akan menjadi pegangan Koalisi Merah Putih di Parlemen. Karena seluruh pimpinan DPR, MPR dan turunanya akan dimenangkan otomatis oleh kekuatan mayoritas di Parlemen. Hal ini tidak berarti secara otomatis Kader PDI Perjuangan akan menjadi Ketua DPR RI karena telah memenangkan pemilihan legeslatif 2014 lalu. Cerminan ini juga sudah ditegaskan Prabowo saat dia menyampaikan kata sambutannya dalam satu acara, bahwa kekuatan Koalisi Merah Putih sudah berbuah di Parlement.
Selanjutnya adalah RUU Pilkada yang lagi-lagi dianggap kontroversi, dimana sebelumnya seluruh partai di parlement sudah menyatakan sikap menolak dan tetap pada pemilihan langsung oleh rakyat. Paska kemenangan Jokowi-JK manuver beberapa partai politik terjadi, tinggal PDI Perjuangan, Hanura dan PKB yang masih bertahan pada komitmennya. Sementara Partai yang umumnya di Koalisi Merah Putih berubah haluan 180 drajat, hanya karena alasan yang dianggap tidak masuk diakal atau pembenaran secara sepihak.
Alasan-alasan terkait soal banyaknya konflik yang terjadi serta biaya mahal, adalah alasan yang tidak berdasar. Hanya karena alasan tersebut, hak warga Negara dikebiri, sementara masyarakat dalam menentukan pilihannya terbukti sudah melahirkan beberapa pemimpin yang revolusioner, bahkan Presiden yang dipilih secara langsung, masyarakat sudah memutuskan berpikir realistis dan cenderung menggunakan akal sehat. Selain itu pemimpin di beberapa daerah juga sudah menjadi icon masyarakat, sebut saja Risma sebagai Wali Kota Surabaya, Ridwan Kamil sebagai Wali Kota Bandung, Ahok sebagai Wakil Gubernur DKI yang sebentar lagi akan menjadi Gubernur, Arya Bima Wali Kota Bogor dan masih banyak lainnya. Yang Paling Fenomenal adalah Jokowi yang dipilih rakyat mulai sebagai Wali Kota, Gubernur sampai menjadi Presiden yang akan segera dilantik 20 Oktober 2014.
Jadi lagi-lagi, alasan dan komentar Partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih tersebut adalah wujud dari adanyya rancangan politik busuk yang akan mengancam kepemimpinan Jokowi-JK. Hal tersebut bisa dipastikan dimana dengan disahkannya RUU Pilkada menjadi UU Pilkada maka mayoritas kepala daerah akan dimenangkan oleh Gubernur atau Bupati serta Wali Kota dari Koalisi Merah Putih. Jikalau begitu efektivitas dan kondusitifitas kepemimpinan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden terancam. Intinya itu bukan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, melainkan satu peristiwa politik yang akan mengancam masa depan bangsa Indonesia.
Masyarakat Harus Marah Atas Haknya
Koalisi Merah Putih yang sudah menyepakati RUU tersebut akan leluasa bertindak sebagai penyeimbang dan kompetitor yang kalah jikalau sudah menjadi UU. Kekuatan Partai Penentang dalam hal ini PDI Perjuangan, Hanura dan PKB tidak akan mampu karena bicara soal mayoritas suara di Parlemen. Maka Koalisi Masyarakat sipil yang harus bicara dan menyatakan sikap, masyarakat luas yang harus mengambil sikap atas kesewenang-wenangan Parlemen dalam memutuskan UU. Apalagi bicara seputar hak masyarakat atas pemimpinnya di daerah dimana dia berada.
Tentu hal ini jikalau sudah menjadi bahasa media akan diketahui publik. Pertanyaannya adalah akankah publik melakukan perlawanan, beberapa hari terakhir ada beberapa elemen masyarakat dan akademisi serta media yang sepertinya melihat RUU ini sebagai bagian dari rencana politik busuk dan sudah menyampaikan pendapat serta ajakan untuk menolak. Sikap ini adalah satu bagian yang tidak terpisahkan dari sadarnya masyarakat bahwa kemajuan demokrasi yang sudah dibangun pasca reformasi sudah mengalami perkembangan, kenapa mesti kembali lagi ke jaman dimana hak warga Negara tidak terakomodir.
Masyarakat yang haknya akan hilang satu sisi akan menjadi penonton, dan bagi pemimpin daerah yang terpilih juga tidak pernah merasa berhutang pada rakyat. Misalnya apa yang disampaikan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta seputar RUU Pilkada, dimana ketika seseorang terpilih maka kerja-kerja ke depan tidak usah memikirkan rakyat cukup dengan memberikan entertain kepada anggota DPRD yang memilihnya. Kalau sudah begitu bagaimana bisa terjadi keseimbangan dalam sebuah daerah ketika rakyat hanya sebagai penonton, tentu dalam seluruh kebijakan juga sama dimana rakyat tidak bisa banyak menuntut. Lihat 32 tahun kepemimpinan Orde Baru dimana keseluruhan kebijakan dan kepemimpinan mulai pusat sampai daerah adalah kerja-kerja parlement.
Sumber : http://ift.tt/1xBXB1P