Suara Warga

Pilkada Langsung, Proses Politik "Tebak-Tebak Buah Manggis"

Artikel terkait : Pilkada Langsung, Proses Politik "Tebak-Tebak Buah Manggis"

By. Manihot Ultissima(MU)

14102465421731705529Ilustrasi Pilkada

Sumber : http://ift.tt/WKtZOM

Rancangan Undang-undang tentang Pilkada sebagai RUU pecahan dari UU No.32 tentang Pemerintahan Daerah ( Pemda) menuai kontroversi, keinginan sebagian besar anggota dewan melalui fraksinya masing masing agar Pilkada dikembalikan proses pemilihannya kepada masing-masing DPRD mendapat kecaman dari sebagian lainnya.

Seperti kita tahu, semenjak reformasi bergulir, dimana arus tuntutan rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, jujur dan adil mengemuka dengan begitu kencangnya. Bak aliran banjir, dengan cepat tatanan demokrasi Republik Indonesia berubah, proses demokrasi Pancasila yang mengamanatkan terjadinya musyawarah untuk mufakat di lembaga perwakilan rakyat - terutama di daerah - bergeser menjadi tatanan demokrasi Liberal Ala barat melalui proses pemilu secara langsung.

Tentu saja harapan awal seluruh rakyat di daerah-daerah dari proses Pilkada langsung demikian besar dan antusias, mula-mula ekspektasi itu kentara dalam setiap dialog-dialog kebangsaan oleh para pemikir dan ahli tata negara, lalu dengan jelas di”bumikan” dalam setiap berita, artikel dan literatur tentang demokrasi, dan akhirnya gong-pun ditabuh untuk mengukuhkan proses Pilkada secara langsung disetiap penjuru tanah air.

Memang harus kita sadari bahwa proses Pemilihan yang dilaksanakan secara langsung memberikan banyak sekali keuntungan bagi rakyat, salah satu yang utama tentu saja adalah agar semua orang dapat dengan leluasa mengenal siapa calon pemimpinnya di daerah, baik itu di level Gubernur sebagai Kepala Daerah Propinsi maupun Bupati/ Walikota sebagai Kepala Daerah setingkat Kabupaten/Kota, sehingga dengan dasar pengenalan yang baik, diharapkan para pemilih mempunyai dasar akses yang kuat dan dukungan yang jelas terhadap pemerintah Daerahnya masing-masing.

Seiring dengan bergilirnya pemerintahan, pasang surutnya sejarah dan timbul tenggelamnya pemikiran, Pilkada langsung telah tumbuh bersama proses kematangan wajah demokrasi, meskipun semakin terlihat premature, pilkada langsung menjadi salah satu pilihan untuk menegaskan bahwa reformasi telah berhasil merubah tatanan kejumudan politik ORBA, lain itu semua implikasi negatifnya seakan dikesampingkan jauh-jauh.

Pilkada langsung seakan-akan menjadi satu-satunya jurus ampuh untuk menghasilkan pemerintahan daerah yang Transparan, adil dan Jujur , sebagaimana amanat reformasi.

Tapi pertanyaan besarnya, sudahkah pilkada langsung itu telah benar-benar menuju kepada pemenuhan ekspektasi rakyat ?, atau jangan-jangan malah semakin menjauhkan akar budaya Pancasila dari ruh bangsa ini ??.

Selama ini slogan liberalisasi dalam seluruh aspek kehidupan telah dianggap sebagai dewa penyelamat bangsa dari jurang kehancuran multi krisis di tahun 1998. Sosial, Ekonomi, Politik, dan wajah demokrasi kita era reformasi sekarang adalah gambaran dari sebuah demokrasi Liberal yang canggung, ibarat kata Warkop DKI, “ maju kena mundur-pun kena “.

Proses Demokrasi melalui Pilkada langsung dihampir seluruh wilayah tanah air telah mengaskan jika kultur dan akar pemikiran bangsa kita, bisa jadi memang tidak cocok dengan hal ini, terlalu mahal harga yang harus dibayar rakyat untuk sebuah proses Pilkada langsung, Harta, kesempatan, waktu dan terutama nilai budaya bahkan terkadang nyawa seringkali menjadi tumbal yang tiada harganya untuk pilkada langsung.

Alih-alih menghasilkan pemerintaha daerah yang dicita-citakan. Konflik antar etnis, antar kepentingan, antar golongan bahkan antar Agama kadangkala terjadi sebagai noktah pewarna lukisan berjudul Pilkada langsung, dengan hasil lukisan yang jauh dari indah. Pilkada Langsung bahkan disinyalir telah memunculkan raja-raja kecil di daerah dengan kekuasaan yang hampir absolut.

Dalih kemenangan suara mayoritas dijadikan dasar tindakan yang membuat kening kita berkerut, mempermaikan anggaran, memanipulasi kebijakan, bahkan kasus terbaru menunjukan moral pemimpin daerah yang demikian rendah.

Jika hasil akhir Pilkada langsung tidak menjawab terhadap keinginan dan cita-cita rakyat, lalu kenapa tidak kita kembalikan saja kepada asalnya dulu, toh kualitas pemerintahan jebolan academia Pilkada langsung sebagian besar tidak jauh lebih baik dari era ORBA dulu ??.

Selamat berwacana dan berpikir ulang, siapatahu banyak keuntungan yang dapat kita lakukan dengan Pilkada yang dilakukan oleh DPRD… toh pilkada langsung-pun selama ini tak lebih seperti tebak tebak buah manggis…….. ciao saja lah !.

Kebun singkong, 8 September 2014




Sumber : http://ift.tt/1wackPG

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz