Suara Warga

Robot Tanpa Nurani, Refleksi Kepemimpinan Masa Kini

Artikel terkait : Robot Tanpa Nurani, Refleksi Kepemimpinan Masa Kini



Ide dan Judul dari Bapak Sampun Sepuh Sanget yang mengirimkannya ke saya lewat pesan di inbox, dan memang keadaan ini sedang kita butuhkan. Kita membutuhkan pemimpin bukan robot-robot partai dan robot kelompok. Saat kampanye pilpres yang lalu, ramai-ramai menggunakan dan menyatakan salah satu capres sebagai boneka. Boneka dan robot tidak beda jauh. Sekarang siapa boneka dan robot itu?

Hampir semua pemimpin saat ini, mulai dari paling atas hingga paling rendah sejatinya semuanya adalah boneka dan robot-robot, tepatnya wayang, dari dalang partai dan sekelompok elit. Asiomo, robot dari Honda yang mulai maju sehingga bisa berjalan seperti manusia dengan kecepatannya hampir berimbang dengan manusia, pengenalan akan obyek bergerak, sehingga tahu jarak dan dengan itu bisa menyapa orang yang mendekat. Membedakan suara, dan beberapa kemajuan lainnya yang mendekati kemampuan sikap manusia.

Ironisnya justru manusia yang oleh Sang Pencipta dianugerahi akal budi, persaan dan hati, dan kemampuan memilih yang baik dan benar dibanding yang biasa saja dan apabila yang buruk namun malah tidak digunakan sebagaimana mestinya. Tawaran-tawaran buruk, suap, korupsi, fitnah, dan tindak buruk lainnya diamini.

Perintah partai yang membodohi dirinya, dengan mendukung hal-hal yang nyata dan jelas membebani rakyat, dinyatakan sebagai membela kepentingan rakyat, dan itu dilakukan di depan televisi disiarkan sehingga jutaan orang mendengarkan betapa bebal dan matinya nurani mereka. Contoh nyata, jelas-jelas korupsi, nyata dengan kekayaannya yang tidak sesuai dengan profilnya, namun bersikukuh tidak melakukan itu, cengengesan digelandang KPK, merasa tidak bersalah sama sekali, bersama-sama bersekongkol untuk melakukan demokrasi yang jelas-jelas menciderai demokrasi itu sendiri. Pemutarbalikan fakta dikemas dengan bahasa orasi indah yang jauh dari esensi, dan secara faktual salah, dan itu dilakukan dengan kebanggaan. Bangga atas kebodohannya.

Robot tidak ada yang diprogram bersorak atas keburukan dan menghujat kebaikan. Lihat saat ini sedang hangatnya orang menhujat kebaikan dan pelaku kebenaran. Korupsi dan persoalan bangsa yang lain hanya diserahkan kepada KPK.

Harapan mulai menyala, ketika banyak yang memiliki nurani. Saat ini sedang ramai persoalan Bapak Basuki Tjahaya Purnama yang berani menyatakan berbeda dengan penggedenya. Prinsip yang dipegang menjadikan dia musuh bersama oleh beberapa kelompok yang merasa tertusuk.

Bapak Presiden terpilih yang berkali-kali berseberangan dengan beberapa kepentingan atasan dan kolega ataupun anak buah yang mengkhianati rakyat. Justru tindakannya ini dijadikan sasaran tembak untuk menjatuhkan kebiasaan baiknya.

Ibu Risma walikota Surabaya, berani memberikan gebrakan tidak populer, yang tidak disukai oleh masyarakat, pejabat baik atasan atau bawahan. Berani menuntut pihak-pihak yang merugikan kepentingan warga dan publik.

Itu beberapa contoh dari eksekutif dari daerah, ada juga dari legeslatif yang ditunjukkan Ibu Lily Wahid dan Gus Choi serta salah seorang Bapak dari Fraksi PPP yang berani berkata berbeda dengan fraksi dan partainya. Berkilah sesuai prosedur, sudah sesuai dengan mekanisme sering menjadi alasan untuk menutupi kesalahan. Kesalahan komunal dianggap benar atau bersembunyi sehingga seolah-olah benar?

Nurani yang hampir mati, itu sekarang mulai menggeliat, harapan makin mendekati nyata.

Salam Damai….




Sumber : http://ift.tt/1xOJSVw

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz