Rezim Orba Bangkit Lagi?
Bumi gonjang ganjing langit kêlap-kêlip, katon lir kincanging alis risang mawèh gandrung, sabarang kadulu wukir moyag-mayig. ….
Perjuangan berdarah-darah yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat diera reformasi untuk mencapai derajat demokratisasi akhirnya tercapai dengan baik (1998), hal ini dibuktikan dengan dilaksanakannya pemilu secara langsung yang berlangsung demokratis; mulai dari pileg, pilkada (walikota/bupati dan gubernur) maupun pilpres.
Pencapaian pemilu secara langsung itu diyakini sebagai kemenangan representasi kedaulatan rakyat.
Namun nada-nadanya pilkada secara langsung itu harus berhenti diusia ‘seumur jagung’ karena menguatnya pandangan fraksi di DPR agar pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD menjelang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dalam waktu dekat ini.
Mayoritas fraksi di DPR RI seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, dan PKS, yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) mendukung Pilkada dipilih oleh DPRD memandang bahwa pilkada secara langsung memerlukan beaya mahal, menimbulkan konflik horisontal ditengah masyarakat dan diduga sarat politik uang.
Konstelasi politik pasca pilpres kian memanas dan menjungkirbalikkan tatanan. Kubu Merah Putih sepertinya kebakaran jenggot karena kekalahan jago yang mereka usung. Kubu itu terus berusaha untuk melakukan manover-manuver akrobatik.
Kubu Merah Putih terus berupaya mengganjal perjalanan pemerintahan Jokowi-JK dengan berbagai pendekatan politis. Upaya itu nampak panik hingga terkesan kurang mempertimbangkan keberlangsungan tata kenegaraan untuk masa depan. Dengan arogan menampakkan kekuatan politik dalam menggapai kekuasaan.
Fraksi-fraksi DPR RI yang sedang membahas RUU Pilkada sekarang ini diyakini tengah melakukan langkah mundur dalam berdemokrasi.
Kalau Pilkada dipilih oleh DPRD nantinya para bupati/wali kota dan gubernur Sakan sibuk hanya untuk mengurusi DPRD, dan bukannya memperhatikan rakyat. Sebab kepala daerah itu merasa berhutang budi kepada DPRD yang telah memilihnya.
Hal itu pernah terjadi waktu pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pilkada. Saat itu terjadi instabiltas di beberapa pemerintahan daerah, akibat semua aktifitas kepala daerah direcoki oleh DPRD. Bahkan dua hari sebelum memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ), sudah ditolak oleh DPRD, karena tidak sesuai dengan kepentingan DPRD.
Manuver Pansus Pilpres, Undang-Undang MD3 dan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) apabila terwujud tentu kontra produktif karena akan menjauhkan rakyat dengan penguasa serta mengurangi interaksi rakyat dengan pemerintahnya. Sebab langkah itu sama dengan perampokan terhadap kedaulatan politik rakyat, yang telah kita perjuangkan bersama melalui gerakan reformasi 1998.
Pilkada melalui DPRD sama saja membuka peluang terjadinya transaksi politik kepada segelintir elit politik yang memiliki agenda politik terselubung. Sangat membahayakan bagi kelangsungan demokrasi jika pilkada dikembalikan ke DPRD.
Bukankah cerita buruk tentang pemilihan kepala daerah lewat DPRD masih kita ingat? Tinggal menyediakan dana besar –politik uang– untuk separuh lebih satu suara maka calon kepala daerah yang memiliki sokongan dana besar pasti akan menang di Pilkada lewat DPRD. Aspirasi rakyat rawan dicurangi oleh ulah politisi tamak.
Pilkada melalui DPRD justru akan membuka peluang besar terjadinya manipulasi suara rakyat. Calon yang dipilih hanya sesuai selera partai, bukan berdasar keinginan mayoritas pemilih. Jangan harap lewat pemilihan di DPRD kita menghasilkan pemimpin seperti Ridwan Kamil di Bandung, Abdulah Aswar Anas di Banyuwangi, Arya Bima di Bogor, Tri Rismaharini di Surabaya ataupun Jokowi-Ahok di Jakarta.
Tidak ada bukti bahwa korupsi, konflik sosial, money politics, dan pecah kongsi itu akibat dipilih langsung oleh rakyat. Buktinya Aceh dan Sumatera Barat bisa melakukan Pilkada langsung serentak pada Desember 2012 lalu, dan aman-aman saja.
Biaya pelaksanaan pilkada bisa ditekan lebih murah lagi jika pembuatan baliho, iklan dan atribut alat peraga kampanye lainnya termasuk di televisi dibatasi, tak ada kampanye terbuka, dan dilakukan langsung oleh penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu.
Hanya perlu dilakukan revisi pasal-pasal efisiensi Pilkada, agar calon yang beruang dan tidak punya modal mempunyai kesempatan yang sama dalam berpolitik.
Diyakini, akrobat politik melalui Pansus Pilpres, Undang-Undang MD3 dan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) itu akan menurunkan simpati rakyat terhadap partai-partai penyokong Kubu Merah Putih pada Pemilu 2019 mendatang.
Harapan untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensiil akan jauh panggang dari api karena eksekutif diperlemah sementa parlemen semakin kuat dan tidak terkontrol. Dalam sistem presidensil, maka mekanisme yang sama juga harus diterapkan pada lembaga eksekutif di bawahnya, provinsi dan kabupaten kota.
Tidak tertutup kemungkinan gelombang protes melalui jalur hukum (Mahkamah Konstitusi) maupun gerakan rakyat dalam skala besar yang cenderung anarkis akan kembali meledak. Revolusi Rakyat akan menjadi paparan sejarah dalam menuntut hak-hak konstitusional rakyat.
Memori rakyat Indonesia masih merekam; bagaimana bergesernya kekuasaan yang terpusat di Jakarta ke daerah-daerah, hingga di pelosok negeri. Selanjutnya, praktik pemilihan ‘kucing dalam karung’ terhadap kepala daerah yang kerap dilakukan di ruang gelap di bilik-bilik DPRD, pun akhirnya berubah menjadi terbuka.
Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, bukan lagi hak istimewa hanya puluhan sampai seratusan anggota DPRD, melainkan menjadi hak semua rakyat melalui Pemilihan Umum (Pemilu) Kepala Daerah langsung. One man one vote.
Akankah masa-masa gelam Rezim Orde Baru bangkit lagi di bumi pertiwi menilik gelagat dari manuver-manuver politik akhir-akhir ini?
Sumber : http://ift.tt/1Bmrx0n