Suara Warga

Pilkada Tak Langsung, Bahaya Laten Demokrasi Primitif

Artikel terkait : Pilkada Tak Langsung, Bahaya Laten Demokrasi Primitif

Pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Panja DPR RI yang sedang berlangsung menjadi ajang adu kekuatan antara partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih vs Kubu Jokowi.

Pembahasan masih berjalan alot terkait pemilihan gubernur dan bupati/wali kota secara langsung atau tidak langsung (dipilih oleh DPRD).

Sikap fraksi yang menyetujui pilkada tak langsung (Gerindra, Golkar, PAN, PPP, Demokrat ) justru menguatkan kesan koalisi merah putih masih menyimpan dendam karena kalah dalam pilpres 2014 dibanding argumentasi yang diajukan, bahwa pilkada tak langsung dapat menghemat biaya, serta meminimalisir bentrok pendukung cagub/cabub.

Lebih jauh, masyarakat bahkan berpikir partai yang menyetujui pilkada tak langsung hanyalah ekspresi frustasi dari politikus busuk yang kalah dalam pemilu, karena dalam pikirannya, semua tindakan dikalkulasi dengan uang; untung-rugi.

Demokrasi menurut politisi busuk, adalah suara yang banyak itulah pemenangnya. Meskipun Colombus penemu benua Amerika bilang, bumi itu bulat, tapi jika separo penduduk + 1 orang di dunia ini mengatakan bumi itu datar, maka klaim penduduk itulah yang diakui. Demokrasi demikian tak butuh kebenaran, meski dengan landasan ilmu pengetahuan.

Politisi busuk juga punya argumentasi, pilkada tak langsung dapat menghemat duit negara. Tak perlu bikin kotak suara ribuan dan surat suara jutaan lembar. Cukup bikin kotak suara dua - tiga biji sesuai peserta pemilu dan ditaruh diruang gedung DPRD.

Politisi busuk punya alasan, pilkada tak langsung dapat meminimalisir bentrokan antar pendukung. Bahkan mereka yang kalah tidak marah dan melakukan kekacauan. Atau melaporkan ke MK.

Itulah kampanye yang dilakukan oleh anggota partai pendukung pilkada tak langsung. Dan argument demikian terus dijual siang-malam di koran dan televise. Dan jika dicermati, terkesan argument yang masuk akal.

Dan faktanya memang demikian. Negara ini perlu mengeluarkan ratusan milyar untuk biaya pilkada. Sementara, untuk menjadi cagub-cabub, dibutuhkan modal minimal 2-10 milyar dan belum tentu cagup/cabub tersebut menang dalam pemilihan.

Fakta selanjutnya, karena aturan demokrasi itu adalah separo + 1 pemilih yang menang, maka artis bisa jadi bupati. Karena yang banyak yang menang maka keturunan cina bisa jadi gubernur. Karena memperoleh suara 53 koma sekian persen, maka rakyat jelata bisa jadi presiden di republic ini. Inilah demokrasi menurut minset politisi busuk.

Definisi demokrasi seperti diuraikan diatas memang terlihat logis. Cuma celakanya pemahaman demikian dianut sebagian besar politisi negeri ini. Padahal mereka itu lupa, bahwa pemahaman demokrasi yang banyak yang menang hanyalah terjadi di jaman primitive yang tak kenal peradaban.

Diawal kemerdekaan, soal demokrasi, Sukarno pun mengeluh, “dikiranya Indonesia merdeka ini, rakyat bisa naik sepur (kereta api) gratis”. Maka Sukarno punya ide demokrasi terpimpin. Rakyat perlu tauladan. Naik angkutan bus atau sepur meskipun itu milik negara, rakyat mesti bayar. Kecuali ABRI.

Di jaman Orde Baru yang merupakan koreksi terhadap Orde Lama, Soeharto menerapkan demokrasi Pancasila dengan ABRI sebagai kaki tangannya. Pemimpin daerah wajib dari ABRI. Lalu media Koran harus punya SIUP. Partai politik cukup dua biji dan satu biji golongan karya. Semua partai wajib berazas pancasila.

Di jaman orba, orang macam Jokowi cukup mimpi jadi presiden. Artis dedy miswar, cukup jadi bintang film doang. Orang keturunan cina jangan harap jadi PNS dan anak PKI harus tahu diri, jangan berkoar-koar bangga jadi anak PKI, jika ketahuan, dipastikan hidup susah.

Kemudian reformasi datang dan menjungkir balikkan demokrasi terpimpin idenya Sukarno dan demokrasi pancasila rezim Suharto.

Penuh eforia rakyat campur baur bersama politisi sejati maupun politisi abal-abal menyambut reformasi. Para politisi abal-abal lalu bikin partai baru. 48 partai politik ikut pemilu pertama di jaman reformasi. Ternyata rakyat sudah cerdas, selusin partai dapat kursi di DPR, sisanya rontok. Hingga pemilu 2014, tinggal diikuti oleh 12 partai.

Tidak perlu surat keputusan pengadilan, akhirnya partai politik bubar dengan sendirinya.

Reformasi yang telah menelan korban jiwa dan biaya social tinggi, kini akan dikhianati. Gerombolan politisi busuk dengan pemahaman demokrasi primitifnya akan menghapus system pilkada langsung.

Padahal demokrasi yang sejatinya memilih pemimpin secara langsung, dapat menghidupkan ekonomi rakyat. Dari tukang sablon sampai percetakan dapat rejeki pemilu. Jikapun terdapat pihak yang kalah dan ngotot mau menang, para pengasong minuman bisa jualan ditengah demonstran. Jika pun para pendukung yang kalah bikin kekacauan, silakan diproses sesuai hokum.

Konsekuensi demokrasi adalah munculnya pihak yang kalah dan menang. Pihak yang menang sudah pasti senang. Sementara pihak yang kalah, akan sakit hati. Namun dapat legowo menerima kekalahannya. Karena mereka paham, demokrasi modern dibangun berdasar sendi-sendi peradaban dan consensus bersama.

Nah, jika mereka sudah membangun consensus demokrasi, namun mengingkarinya karena kalah, pantasnya mereka ini di buang ke laut saja. sebab mereka bukan politikus, tapi manusia primitive.

salam demokrasi




Sumber : http://ift.tt/WyHTDC

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz