Suara Warga

Pemilukada Tak Langsung, Merampas Hak Suara dan Kebebasan Berpikir

Artikel terkait : Pemilukada Tak Langsung, Merampas Hak Suara dan Kebebasan Berpikir

25 September sepertinya akan menjadi babak baru dalam demokrasi Indonesia. Saat itulah, kedaulatan rakyat dikembalikan ke tangan yang ‘berhak’, Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah). Ini sesuai dengan apa yang digariskan dalam Pancasila, sila keempat; Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dari banyak dalih mengapa pemilihan kepala daerah harus melalui DPR (D) itulah kira-kira landasan filosofisnya. Sementara dalih-dalih lain saya nilai hanya berputar pada persoalan teknis dan manajemen, ketimbang persoalan filosofis dan ideologis.

Kenapa baru sekarang? Itulah pertanyaan yang segera mengemuka, mengkritisi sekaligus menuduh bahwa kelompok yang sekarang mengusung hanya berorientasi pada kekuasaan. Terlebih, mereka yang sepakat Pilkada tak langsung adalah koalisi yang gagal pada Pemilu Presiden. Sehingga menurut saya, tuduhan bahwa inilah cara mereka mengerecoki Pimpinan hasil Pemilu juga tak berlebihan. Ini juga ditunjukkan, bahwa pandangan mereka tentang banyak hal, berbeda dengan pandangan para pengusung calon pilpres yang menang.

Berbeda, itu memang hakikat semesta. Tetapi berbeda, itu bukan asal beda! Karena asal beda, itu dangkal, tanpa jelas landasan berpikirnya. Bersikap, sebagai bentuk reaksi atas ‘lawan’. Jadi sama sekali bukan didasarkan pemikiran, atau bertindak berdasarkan apa yang semestinya untuk dilakukan. Meminjam istilah seorang teman kompasianer, ngomong dulu baru kemudian cari alasan pembenaran atas omongan yang sudah dikemukakan. Bukan ngomong untuk sesuatu yang memang perlu untuk diomongkan. Tetapi, itulah suasana politik yang kini saya rasakan sedang melanda negeri ini. Dua kubu saling berhadapan, dan diantaranya ada yang sekedar waton beda.

Kembali pada persoalan demokrasi, sorot tajam rasa, mata dan telinga ada pada pembahasan RUU Pemilukada. Melihat mereka sebagian adalah bagian dari produk reformasi, saya agak heran saat mereka sepakat ‘kembali’ ke era yang dulu dengan segenap jiwa mereka tumbangkan. Apalagi, saya yakin mereka tidak buta mata dan hati. Mereka mendengar, tetapi karena mereka ‘harus’ beda, itulah sebabnya mereka mengambil pilihan yang tak sama dengan yang semestinya mereka pilih.

Saya memang memilih Jokowi sebagai presiden pada Pilpres lalu, tetapi bagi saya Pemilu langsung bukan tentang Jokowi dan koalisinya. Ini tentang kedaulatan rakyat, yang dengan nyawa diperjuangkan oleh banyak aktivis 98. Menafsirkan sila keempat, “permusyawaratan/perwakilan” dengan meniadakan pemilihan langsung oleh rakyat, saya rasa ini adalah tafsir dangkal. Ini adalah tafsir hasil indoktrinasi orde baru, yang ternyata masih cukup ampuh mengkooptasi alias menghegemoni pemikir di era reformasi. Penyeragaman pendidikan era orde baru berbuah manis, generasi tak mampu berpikir kreatif, dan memiliki keberanian untuk berpikir di luar koridor yang telah mereka tetapkan. Tak ubahnya seperti paradigma tentang gambar pemandangan. Sehingga Pemilukada tak langsung, bagi saya tidak saja merampas hak rakyat tetapi merampas kebebasan berpikir.




Sumber : http://ift.tt/1xZ3fey

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz