Pemilu Sosiometri Berbasis Desa (Alternatif Deadlock RUU Pilkada)
OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di tengah perdebatan soal RUU Pilkada antara system langsung dan perwakilan, yang direncanakan disyahkan pada akhir bulan ini, kiranya perlu pula dimajukan konsep alternative, —meski toh konsep ini masih jauh dari matang untuk segera diimplementasikan.
Menurut saya setidaknya ada dua masalah dasar dalam system pemilu kita. Pertama, soal pemastian kemudahan penggunaan hak pilih pasif (dipilih) bisa diakses oleh semua orang, baik kaya maupun miskin.
Dan, yang kedua, pengupayaan agar penggunaan hak pilih aktif (memilih), betul-betul berdasarkan penilaian autentik (mengenali dengan sebenarnya). Sehingga dipastikan merupakan sebuah pilihan yang berdasar kriteria kualitas, bukan karena uang saku, atau peruntung-untungan tampang (ganteng atau cantik) yang sama sekali tidak dikenal dengan sebenar-benar kenal. Sehingga pada gilirannya akan melahirkan sosok pemimpin yang berkualitas, karena sejatinya pemilu hanyalah instrument semata.
Pemilu Sosiometri Berbasis Desa
Dalam kerangka peta problem dasar Pemilu Indonesia tersebut, solusi yang bisa dipertimbangkan adalah Pemilu dengan sistem sosiometri berbasis desa —untuk memudahkan penyebutan selanjutnya disingkat PS. Dengan metode sosiometri maka setiap orang secara otomatis bisa mengakses hak dipilih dan hak memilih sekaligus.
Sosiometri yang mula asalnya dikembangkan oleh Moreno and Jenning ini, merupakan metode untuk mengumpulkan data tentang pola dan struktur hubungan antara individu-individu dalam kelompok. Metode ini didasarkan atas postulat-postulat bahwa kelompok mempunyai struktur yang terdiri dari hubungan-hubungan interpersonal yang kompleks.
Hubungan-hubungan ini dapat diukur secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Posisi tiap-tiap individu dalam struktur kelompoknya dan hubungannya yang wajar dengan individu yang lain dapat diukur dengan metode ini (Wayan Nur Kencana, 1993). Sosiometri juga dikatakan sebagai sarana untuk mengkaji “tarikan” (attraction) dan tolakan (repulsion) anggota-anggota suatu kelompok (Hotman M. Siahaan, 2005).
Dalam bahasa sederhananya, inti dari sosiometri jika diaplikasikan dalam PS adalah seseorang diminta untuk memilih satu orang lain dan dia juga berhak untuk dipilih oleh orang lain. Dan, terpilih tertinggi dalam batas kuota tertentu merupakan elite jadi atau elite terpilih.
Sementara itu, yang dimaksud dengan berbasis Desa ialah Pemilu yang diadakan dan berpangkal di tingkat Desa yang untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar pada pemilihan-pemilihan elite pada level-level di atasnya hingga pada tingkat nasional. Konstituennya warga Desa, bukan dari partai politik. Dan, daerah pemilihannya (dapil) juga Desa masing-masing.
Dengan berbasis Desa maka penggunaan hak pilih dijamin benar-benar berdasar penilaian autentik (dikenali dan mengenali dengan sebenar-benar kenal) sehingga elite yang terpilih pun best of the best. Sebab Desa merupakan komunitas yang memiliki hubungan personal yang lebih intens dan konvensional bahkan sepanjang hayat. Dengan karakter dasar yang demikian maka proses seleksi, kampanye dan pengawasan (controlling) elite yang dilahirkan oleh PS ini pada dasarnya juga bersifat “proses sepanjang hayat” itu. Dan, ini merupakan jaminan kualitas PS.
Di samping itu, mengangkat konsep PS tataran politik praktis sama halnya mengapresiasi keberadaan Desa menurut proporsinya. Dalam sejarah nusantara dicatat bahwa salah satu akar pemikiran utama demokrasi asli Indonesia sesungguhnya adalah tradisi rembug (musyawarah) desa (Lihat: Yudi Latif, 2012). Dan, sebagaimana desa sebagai zelfbesturende landchappen (daerah swapraja) dan volksgetneenschappen (daerah yang bersifat istimewa) diakui oleh Konstitusi UUD 1945 “yang asli” (Pasal 18 beserta penjelasannya).
Aplikasi PS
Jika sungguh berijtihad menggunakan sosiometri dalam sistem Pemilu, hal yang pertama dan utama dipikirkan adalah pemastian pilihan pada berbagai varian yang ada dari sosiometri itu benar-benar cocok, sederhana dan dapat dipraktekkan.
Sebagai gambaran awal dari mekanisme PS itu dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama , PS ditingkat Desa menghasilkan DPR Desa. Kedua , Anggota DPR Desa dikirim ke tingkat Kabupaten/Kota untuk mengadakan PS Kabupaten guna memilih DPR Kabupaten/Kota, sementara yang tidak terpilih, ditetapkan menjadi DPR Desa.
Kemudian, ketiga , Anggota DPR terpilih Kabupaten/Kota dikirim di tingkat Provinsi untuk mengadakan PS Provinsi guna memilih DPR Provinsi, sementara yang tidak terpilih ditetapkan sebagai DPR Kabupaten/Kota. Dan, keempat , Anggota DPR terpilih Provinsi dikirim di tingkat Nasional untuk mengadakan PS Nasional guna memilih DPR Nasional, sementara yang tidak terpilih ditetapkan sebagai DPR Provinsi.
Kemudian, bagaimana dengan pemilihan elite eksekutif? Oleh para DPR yang notabene para pemangku amanat kedaulatan rakyat ini kemudian dipilih para punggawa eksekutif pada level masing-masing, mulai dari Kades, Bupati/Walkot, Gubernur, hingga Presiden. Jadi para eksekutif ini merupakan mandataris para pelaksana kedaulatan rakyat. (Pada konteks ini istilah DPR bisa ekuivalen dalam arti MPR menurut pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang asli).
Dengan demikian sistem PS akan melahirkan pengemban dan mandataris kedaulatan yang seperti dikatakan di atas sebagai best of the best. Sebab, disamping mobilitas politik yang ada di dalamnya bisa diakses oleh semua warga karena sifat sosiometri yang memang terbuka, juga penyaringannya berjenjang, akan tetapi tetap simpel dan murah.
DPR Desa adalah seleksi dari dan oleh warga desa terbaik. DPR Kabupaten/Kota adalah seleksi dari dan oleh angota-anggota DPR Desa terbaik. DPR Provinsi adalah seleksi dari dan oleh angota-anggota DPR Kabupaten/Kota terbaik. Dan, DPR Nasional adalah seleksi dari dan oleh anggota-anggota DPR Provinsi terbaik.
Dengan demikian dalam tataran hipotesa, Pemilu Sosiometri Berbasis Desa adalah sistem Pemilu yang paling cocok dengan kondisi sosial-budaya Indonesia yang asli. ***
Sumber : http://ift.tt/1lTBWwQ
Di tengah perdebatan soal RUU Pilkada antara system langsung dan perwakilan, yang direncanakan disyahkan pada akhir bulan ini, kiranya perlu pula dimajukan konsep alternative, —meski toh konsep ini masih jauh dari matang untuk segera diimplementasikan.
Menurut saya setidaknya ada dua masalah dasar dalam system pemilu kita. Pertama, soal pemastian kemudahan penggunaan hak pilih pasif (dipilih) bisa diakses oleh semua orang, baik kaya maupun miskin.
Dan, yang kedua, pengupayaan agar penggunaan hak pilih aktif (memilih), betul-betul berdasarkan penilaian autentik (mengenali dengan sebenarnya). Sehingga dipastikan merupakan sebuah pilihan yang berdasar kriteria kualitas, bukan karena uang saku, atau peruntung-untungan tampang (ganteng atau cantik) yang sama sekali tidak dikenal dengan sebenar-benar kenal. Sehingga pada gilirannya akan melahirkan sosok pemimpin yang berkualitas, karena sejatinya pemilu hanyalah instrument semata.
Pemilu Sosiometri Berbasis Desa
Dalam kerangka peta problem dasar Pemilu Indonesia tersebut, solusi yang bisa dipertimbangkan adalah Pemilu dengan sistem sosiometri berbasis desa —untuk memudahkan penyebutan selanjutnya disingkat PS. Dengan metode sosiometri maka setiap orang secara otomatis bisa mengakses hak dipilih dan hak memilih sekaligus.
Sosiometri yang mula asalnya dikembangkan oleh Moreno and Jenning ini, merupakan metode untuk mengumpulkan data tentang pola dan struktur hubungan antara individu-individu dalam kelompok. Metode ini didasarkan atas postulat-postulat bahwa kelompok mempunyai struktur yang terdiri dari hubungan-hubungan interpersonal yang kompleks.
Hubungan-hubungan ini dapat diukur secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Posisi tiap-tiap individu dalam struktur kelompoknya dan hubungannya yang wajar dengan individu yang lain dapat diukur dengan metode ini (Wayan Nur Kencana, 1993). Sosiometri juga dikatakan sebagai sarana untuk mengkaji “tarikan” (attraction) dan tolakan (repulsion) anggota-anggota suatu kelompok (Hotman M. Siahaan, 2005).
Dalam bahasa sederhananya, inti dari sosiometri jika diaplikasikan dalam PS adalah seseorang diminta untuk memilih satu orang lain dan dia juga berhak untuk dipilih oleh orang lain. Dan, terpilih tertinggi dalam batas kuota tertentu merupakan elite jadi atau elite terpilih.
Sementara itu, yang dimaksud dengan berbasis Desa ialah Pemilu yang diadakan dan berpangkal di tingkat Desa yang untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar pada pemilihan-pemilihan elite pada level-level di atasnya hingga pada tingkat nasional. Konstituennya warga Desa, bukan dari partai politik. Dan, daerah pemilihannya (dapil) juga Desa masing-masing.
Dengan berbasis Desa maka penggunaan hak pilih dijamin benar-benar berdasar penilaian autentik (dikenali dan mengenali dengan sebenar-benar kenal) sehingga elite yang terpilih pun best of the best. Sebab Desa merupakan komunitas yang memiliki hubungan personal yang lebih intens dan konvensional bahkan sepanjang hayat. Dengan karakter dasar yang demikian maka proses seleksi, kampanye dan pengawasan (controlling) elite yang dilahirkan oleh PS ini pada dasarnya juga bersifat “proses sepanjang hayat” itu. Dan, ini merupakan jaminan kualitas PS.
Di samping itu, mengangkat konsep PS tataran politik praktis sama halnya mengapresiasi keberadaan Desa menurut proporsinya. Dalam sejarah nusantara dicatat bahwa salah satu akar pemikiran utama demokrasi asli Indonesia sesungguhnya adalah tradisi rembug (musyawarah) desa (Lihat: Yudi Latif, 2012). Dan, sebagaimana desa sebagai zelfbesturende landchappen (daerah swapraja) dan volksgetneenschappen (daerah yang bersifat istimewa) diakui oleh Konstitusi UUD 1945 “yang asli” (Pasal 18 beserta penjelasannya).
Aplikasi PS
Jika sungguh berijtihad menggunakan sosiometri dalam sistem Pemilu, hal yang pertama dan utama dipikirkan adalah pemastian pilihan pada berbagai varian yang ada dari sosiometri itu benar-benar cocok, sederhana dan dapat dipraktekkan.
Sebagai gambaran awal dari mekanisme PS itu dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama , PS ditingkat Desa menghasilkan DPR Desa. Kedua , Anggota DPR Desa dikirim ke tingkat Kabupaten/Kota untuk mengadakan PS Kabupaten guna memilih DPR Kabupaten/Kota, sementara yang tidak terpilih, ditetapkan menjadi DPR Desa.
Kemudian, ketiga , Anggota DPR terpilih Kabupaten/Kota dikirim di tingkat Provinsi untuk mengadakan PS Provinsi guna memilih DPR Provinsi, sementara yang tidak terpilih ditetapkan sebagai DPR Kabupaten/Kota. Dan, keempat , Anggota DPR terpilih Provinsi dikirim di tingkat Nasional untuk mengadakan PS Nasional guna memilih DPR Nasional, sementara yang tidak terpilih ditetapkan sebagai DPR Provinsi.
Kemudian, bagaimana dengan pemilihan elite eksekutif? Oleh para DPR yang notabene para pemangku amanat kedaulatan rakyat ini kemudian dipilih para punggawa eksekutif pada level masing-masing, mulai dari Kades, Bupati/Walkot, Gubernur, hingga Presiden. Jadi para eksekutif ini merupakan mandataris para pelaksana kedaulatan rakyat. (Pada konteks ini istilah DPR bisa ekuivalen dalam arti MPR menurut pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang asli).
Dengan demikian sistem PS akan melahirkan pengemban dan mandataris kedaulatan yang seperti dikatakan di atas sebagai best of the best. Sebab, disamping mobilitas politik yang ada di dalamnya bisa diakses oleh semua warga karena sifat sosiometri yang memang terbuka, juga penyaringannya berjenjang, akan tetapi tetap simpel dan murah.
DPR Desa adalah seleksi dari dan oleh warga desa terbaik. DPR Kabupaten/Kota adalah seleksi dari dan oleh angota-anggota DPR Desa terbaik. DPR Provinsi adalah seleksi dari dan oleh angota-anggota DPR Kabupaten/Kota terbaik. Dan, DPR Nasional adalah seleksi dari dan oleh anggota-anggota DPR Provinsi terbaik.
Dengan demikian dalam tataran hipotesa, Pemilu Sosiometri Berbasis Desa adalah sistem Pemilu yang paling cocok dengan kondisi sosial-budaya Indonesia yang asli. ***
Sumber : http://ift.tt/1lTBWwQ