Pemilihan Kepala Daerah Tak Langsung, Kemunduran Demokrasi?
PEMBAHASAN RUU Pilkada mengenai pemilihan kepala daerah melalui DPRD sedang jadi isu hangat dalam dua hari terakhir ini. Koalisi Merah Putih kecuali PKS, menyetujui usulan ini. Sementara PDIP dan koalisinya tidak setuju.
Usulan ini diajukan karena selama 10 tahun penerapan pilkada langsung terjadi inefisiensi anggaran. Jumlah kepala daerah di Indonesia dengan 34 provinsi serta lebih dari 500 kabupaten ditambah dengan banyaknya rencana pemekaran baru, memerlukan biaya anggaran yang sangat tinggi.
Jika RUU ini disetujui maka negara dapat menghemat anggaran negara hingga Rp 10 triliun yang dapat dialokasikan ke berbagai sektor strategis untuk menunjang perekonomian maupun sektor penting lainnya untuk kepentingan rakyat.
Benarkah Kemunduran Demokrasi?
Rencana RUU ini dituduh membuat demokrasi menjadi pincang karena tidak mengikutsertakan rakyat dalam pemilihan. Bukankah selama ini Indonesia dikenal dengan semboyan ‘dar rakyat untuk rakyat oleh rakyat’? Namun pada kenyataannya semboyan hanyalah semboyan.
Dari banyak pilkada yang telah masyarakat ikuti, kita sama sekali tidak mengenal sosok kepala daerah yang memimpin daerah atau wilayah regional kita. Yang kita tahu hanyalah brosur-brosur kampanye dan sebagainya. Bahkan dalam bili suara, yang dicoblos adalah sosok yang paling tampan dari kandidat yang lain. Ada juga yang hanya sekadar mencoblos demi berpartisipasi. Yang barangkali banyak dilakukan adalah banyaknya warga pemilih yang memilih setelah calon pemimpin daerah itu melakukan aktifitas demi meraih simpati rakyat. Misalnya sengaja membangun jalan, membangun masjid, atau mengajak ibu-ibu pengajian ziarah gratis. Yeah, hal ini yang dialami ibu saya. Walhasil, ternyata pemenang Pilkada kebanyakan yang menang adalah yang punya modal besar.
Kalaulah pemerintah gencar menyosialisasikan profil para kandidat, tentu masyarakat akan lebih tahu calon-calon pemimpinnya. Jadi tidak beli kucing dalam karung. Tidak sekadar hafal nama atau wajah dari brosur-brosur kampanye yang mengotori jalan.
Akhirnya dengan adanya RUU Pilkada ini, saya setuju-setuju saja. Ada baiknya dilakukan dengan proses ala penjaringan CPNS. Dengan persyaratan dan klasifikasi yang tepat. Atau jika memang pemilihan langsung tetap dilaksanakan, bersediakah pemerintah sekadar mengenalkan sosok calon pemimpin pada warga? Meski pastinya akan lebih menelan banyak biaya, tapi itulah harga mahal demi sebuah demokrasi.
*
Sumber : http://ift.tt/1qH5SeC
Usulan ini diajukan karena selama 10 tahun penerapan pilkada langsung terjadi inefisiensi anggaran. Jumlah kepala daerah di Indonesia dengan 34 provinsi serta lebih dari 500 kabupaten ditambah dengan banyaknya rencana pemekaran baru, memerlukan biaya anggaran yang sangat tinggi.
Jika RUU ini disetujui maka negara dapat menghemat anggaran negara hingga Rp 10 triliun yang dapat dialokasikan ke berbagai sektor strategis untuk menunjang perekonomian maupun sektor penting lainnya untuk kepentingan rakyat.
Benarkah Kemunduran Demokrasi?
Rencana RUU ini dituduh membuat demokrasi menjadi pincang karena tidak mengikutsertakan rakyat dalam pemilihan. Bukankah selama ini Indonesia dikenal dengan semboyan ‘dar rakyat untuk rakyat oleh rakyat’? Namun pada kenyataannya semboyan hanyalah semboyan.
Dari banyak pilkada yang telah masyarakat ikuti, kita sama sekali tidak mengenal sosok kepala daerah yang memimpin daerah atau wilayah regional kita. Yang kita tahu hanyalah brosur-brosur kampanye dan sebagainya. Bahkan dalam bili suara, yang dicoblos adalah sosok yang paling tampan dari kandidat yang lain. Ada juga yang hanya sekadar mencoblos demi berpartisipasi. Yang barangkali banyak dilakukan adalah banyaknya warga pemilih yang memilih setelah calon pemimpin daerah itu melakukan aktifitas demi meraih simpati rakyat. Misalnya sengaja membangun jalan, membangun masjid, atau mengajak ibu-ibu pengajian ziarah gratis. Yeah, hal ini yang dialami ibu saya. Walhasil, ternyata pemenang Pilkada kebanyakan yang menang adalah yang punya modal besar.
Kalaulah pemerintah gencar menyosialisasikan profil para kandidat, tentu masyarakat akan lebih tahu calon-calon pemimpinnya. Jadi tidak beli kucing dalam karung. Tidak sekadar hafal nama atau wajah dari brosur-brosur kampanye yang mengotori jalan.
Akhirnya dengan adanya RUU Pilkada ini, saya setuju-setuju saja. Ada baiknya dilakukan dengan proses ala penjaringan CPNS. Dengan persyaratan dan klasifikasi yang tepat. Atau jika memang pemilihan langsung tetap dilaksanakan, bersediakah pemerintah sekadar mengenalkan sosok calon pemimpin pada warga? Meski pastinya akan lebih menelan banyak biaya, tapi itulah harga mahal demi sebuah demokrasi.
*
Sumber : http://ift.tt/1qH5SeC