Suara Warga

Motif Ekonomi, Sebagai Solusi Krisis Politik

Artikel terkait : Motif Ekonomi, Sebagai Solusi Krisis Politik

Pagi ini, setelah mendegar hiruk-pikuk mengenai sidang Paripurna RUU Pilkada Tidak Langsung. Sambil naik bis ke kantor, saya menuliskan beberapa ide seperti ini. Diantara alasan-alasan lainnya, salah satu alasan terbesar pilkada tidak langsung adalah beban ongkos politik parpol yang semakin besar. Ongkos pembiayaan parpol dalam partisipasi perebutan puncak hirarki birokrasi tertinggi di tiap-tiap daerah. Adanya pemborosan anggaran yang sangat besar yang dikeluarkan negara untuk proses pemilu langsung. Jika hal itu memang menjadi alasan kuat, maka “akan digunakan untuk apa, dana demokrasi itu kelak?”, sampai saat ini, saya belum mendengar program pengalihan dana tersebut. Artinya memang, parpol pengusung alasan tersebut, tidak mempunyai sama sekali strategi komprehensif dan integral mengenai usulan revisi RUU Pilkada Langsung. Aku menduga, parpol secara sporadis hanya menampung keluhan para Legistator yang terhimpit beban utang karena modalnya habis dalam pilkada langsung. Parpol hanya menampung “suara” koleganya, lalu berkasak-kusuk untuk diusulkan dibahas. Selanjutnya, evaluasi dan proyeksi lainnya, tidak ada dipikirkan lagi. Di negara Prancis, sebuah RUU sebelum diketuk palu, akan melalui perdebatan sengit, proses konsultasi ke institusi-institusi negeri/swasta yang terkait, bahkan tiap parpol membuka “hearing” dengan konstituennya berkaitan dengan RUU tersebut. Biasanya membutuhkan waktu 10 tahun untuk menjadi UU. Ini serius!

Demokrasi adalah salah satu bentuk perwakilan yang mendekati adil, dibanding sistem politik lainnya. Demokrasi perwakilan memberikan peluang untuk mengakomodir semua suara terkait dalam pengelolaan berbangsa dan bernegara. Permasalahan pelik dari sistem demokrasi perwakilan, adalah tingkat pasrtisipasi rakyat dalam memberikan suara, konsistensi perjuangan suara rakyat dari jalanan ke parlemen, mengubah suara rakyat menjadi solusi dari setiap permasalahan dalam bernegara, yaitu lewat ideologi partai. Partai harus menjadi cerminan murni suara rakyat. Partai bak kantong-kantong suara yang terus berteriak untuk tetap didengarkan. Semakin banyak ideologi yang terwakili, semakin demokratis negara tersebut. Jadi, parpol adalah “penyambung suara rakyat”, “pendengar keluhan rakyat”, “pejuang kepentingan rakyat”. Mereka harus benar-benar mengetahui apa yang menjadi keinginan rakyat.

Jadi bukan, mekanismenya entah itu langsung atau tak langsung untuk memilih pemimpinnya, melainkan pendekatan yang paling adil untuk mendengarkan keinginan rakyat tentang kriteria pemimpin ideal untuk rakyat (baca: mayoritas pemilih). Bagaimana cara untuk meningkatkan partisipasi pemilih sebenarnya masalah utama dalam penyelenggaraan demokrasi. Makin banyak yang ikut, makin baik pesta demokrasi itu. Jika pesta itu berongkos mahal, itu sudah menjadi resiko “beban” dari pemilihan sistem ini. Yang terpenting adalah bagaimana rakyat berani menyuarakan yang sebenarnya dan memberikan suaranya kepada legislator.

Pemilihan secara langsung baru dilakukan 3 kali sejak lepas Orde Batu. Iya, orde formalitas sebuah sistem demokrasi. Jadi, belum bisa dijadikan tolak ukur “kegagalan” mengenai sistem pilkada langsung. Apa yang terjadi dalam 3 periode itu, jangan-jangan, kegagalan datang dari para pemain demokrasi itu sendiri: yang berlogika ‘bodoh’, euforia, instant dan tanpa visi-ideologi. Mereka tak pernah menyemai “ideologi” di depan rakyat, berharap memanen suara rakyat. Mereka tak pernah berdialog secara langsung, mengenai permasalahan rakyat, tetapi berharap dipercaya untuk memperjuangkan suara rakyat. Utopis. Mereka mengabaikan beberapa etape penting dalam mengedukasi rakyat mengenai ide keterwakilan. Apa yang terjadi, mereka hanya bisa berteriak “Saya akan memperjuangkan nasib rakyat (demi mengubah nasib dirinya)!. Endingnya, mereka harus mengeluarkan biaya untuk menggerakkan “suara” masuk ke TPS. What a shame political!

Evaluasi harus menyeluruh, tidak saja difokuskan kepada potong kompas, menyalahkan mekanisme pemilihan. Lalu, tiba-tiba berhipotesa bahwa pilkada tidak langsung lebih baik. Bisa jadi kegagalan itu, dikarenakan parpol tidak memahami apa makna, posisi, peran dan fungsi parpol? Bagaimana proses keterwakilan, konsistensi menyuarakan aspirasi, penghindaran transaksi tukang guling suara dengan jabatan, dsb. Kepercayaan ini yang harus terus dibangun, untuk disempurnakan, yang mencakup: ideologi partai, kualitas calon legislatif, mekanisme kampanye, program kerja nyata, dsb. Persoalan utama demokrasi perwakilan hanyalah tingkat partisipasi dan kepercayaan rakyat saja. Jika mau fokus dimasalah ini, Indonesia akan menjadi role model sistem demokrasi yang lebih baik dibanding negara mana pun.

Mari kita lihat ideologi parpol yang ada: nasionalis, demokrat, sosialis, agamis, liberal, konservatif? Parpol di Indonesia benar-benar berbeda nama tapi serupa jiwa, tak punya ideologi. Padahal parpol adalah cerminan dari ide-ide dari pemikir untuk merumuskan solusi dalam setiap permasalahan yang ada. Misalnya, parpol konservatif, pasti sangat jelas menentang RUU Pilkada Tidak Langsung, karena secara fundamental mencederai ideologi demokrasi yang mencerminkan perampasan suara. Berbeda dengan suara parpol berideologi Liberal, bisa jadi dia setuju karena berdasarkan pemikiran (biasanya didasari atas studi dan konsultasi terlebih dahulu untuk menangkap suara rakyat yang sebenarnya); aturan tersebut harus diubah karena rakyat yang meminta. Jadi, setiap ideologi mempunyai usulan-rumusan dengan alasan yang berbeda-beda. Semakin variatif idenya, maka semakin terakomodir suara rakyat yang beragam itu. Endingnya, tinggal diadu saja siapa yang mendapatkan dukungan terbanyak. Parpol ideologis itu adalah solusi, jika semua konsisten dengan jalan ide masing-masing. Dalam perjuangan politik tidak ada namanya KOALISI, yang ada hanyalah OPOSISI.

Baiklah… , saya kembali ke logi mereka saat ini. Jika mereka mengabaikan “soal kepercayaan” dan mendahulukan berpikir “soal efektifitas ongkos politik”. Dalam pandangan saya, itu mencerminkan beberapa hal:

(1) parpol sudah kehilangan akal untuk mendapatkan dana (peluang ngembat APBN kecil karena KPK makin galak, memeras pengusaha juga makin susah, karena monitor masyarakat makin kuat, memasang orang beruang/terkenal untuk maju di pilkada, semakin sulit karena rakyat mau kompetensi). Dalam politik abal-abal, parpol memang tak ubahnya sebagai badan usaha, harus mempunyai investor untuk mendanai. Jika tidak, daya saing parpol tersebut kalah dengan parpol yang lebih gemuk dananya. Apakah ideologi sudah dijadikan solusi?

(2) dengan tidak mengeluarkan banyak uang untuk pilkada, diharapkan pemimpin yang terpilih “menyumbang” kepada parpol koalisinya. Pilkada tidak langsung, bukan soal akan berkurangnya peluang korupsi, tetapi hanya membelokkan “uang sandera” saja, yang sebelumnya uang tersebut dikembalikan ke pengusaha via proyek, maka dengan pilkada tidak langsung dikembalikan ke parpol dalam bentuk “bagi-bagi komisi”. Bingo! Motif ekokomi bermain, berkorban sedikit untuk mendapatkan lebih banyak. Kenapa harus “cuci uang” dulu via proyek ke pengusaha. Jika “utang” sudah bisa dihindari. Bravo!

(3) Kongkalikong agar suap menjadi mitos dalam demokrasi, rakyat tak perlu tahu, karena rakyat tidak ada kesempatan untuk disuap sekarang. Dalam pemilu langsung, sangat vulgar rakyat dapat uang, serangan fajar benar-benar nyata, tak sungkan-sungkan semua parpol melakukan. Dengan pilkada tak langsung ini, maka sekarang urusan penyuapan pun, dikuasai oleh wakil rakyat. Rakyat dijauhkan dari dosa politik uang.Motif ekonomi, sebagai solusi dalam krisis perpolitikan. Miris!

Paris, 26/09/2014




Sumber : http://ift.tt/ZXjzNN

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz