Menyoal Pemilu
MENYOAL PEMILIHAN UMUM
Perilaku Pemilih Pemilu 2014
Sejak pemilihan umum (pemilu) pasca orde baru (orba) tahun 1999, persentase partisipasi warga untuk memilih terus menurun. Bahkan, meskipun sistem pemilu telah dilakukan secara langsung sejak 2004. Tidak berkorelasi positif terhadap tingkat pasrtisipasi pemilih dalam pemilu. Tentu saja hal ini menjadi tantangan besar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena, ketika alam demokrasi sedang tumbuh dan berkembang dengan suburnya. Pada saat bersamaan, pemilih yang notabene sebagai rakyat sekaligus pelaku demokrasi justru menunjukkan keogahannya pada pemilu sebagai sistem yang dipercaya paling baik saat ini untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil di parlemen.
Sumber: Perludem 2013
Dari data di atas dapat dilihat bahwa pemilu 1999 angka partisipasi pemilih khususnya pemilihan legislatif (pileg) masih sangat tinggi yaitu di angka 93%. Angka tersebut menurun pada tahun 2004 menjadi 84% dan terus menurun menjadi 71% pada pemilu 2009. Meskipun pada pemilu 2014 kali ini target Komisi Pemilihan Umum (KPU) tercapai dengan meraih angka partisipasi sebesar 75,11% (www.kompas.com). Hal tersebut belum patut dibanggakan, karena angka partisipasi hanya mampu dicapai 0,11% lebih dari target KPU dan meningkat sekitar 4% dari pemilu 2009.
Dari kajian Mujani dkk (2012), setidaknya ada tiga model yang dapat dipakai untuk melihat perilaku memilih warga yaitu model sosiologis, model psikologis dan model pilihan rasional. Model sosiologis yaitu ketika perilaku memilih warga didasarkan pada kesamaan atau kedekatan kelas sosial, agama dan etnik atau ras serta bahasa. Sementara model psikologis didasarkan pada sejauh mana pemilih masuk dan terlibat dalam pemilu, meliputi informasi dan pengetahuan politik yang dimiliki, rendah tingginya ketertarikan politik, baik buruknya kesadaran politik warga, serta kemampuan mengidentifikasi diri dengan kelompok atau partai politik (parpol) tertentu. Sedangkan model pilihan rasional yaitu keadaan ketika perilaku memilih didasarkan pada sejauh mana pilihan-pilihan yang ada dirasa mampu membantu pemilih memenuhi kepentingan dasarnya berupa kehidupan ekonomi.
Lalu dari tiga model perilaku memilih di atas, kiranya model mana yang paling memengaruhi perilaku pemilih di Indonesia? Pertanyaan ini pun masih susah untuk dijawab. Namun, dari kesimpulan kajian Mujani dkk tersebut, disebutkan bahwa secara empiris pemilih Indonesia semakin rasional ditandai oleh semakin sedikitnya warga yang merasa bahwa ikut pemilu merupakan kewajiban seorang warga negara yang baik (civic duty). Rasionalitas pemilih itu juga sejalan dengan pendapat banyak kalangan bahwa saat ini pemilu masih dianggap sebagai bentuk demokrasi prosedural. Belum sampai pada tahap demokrasi substansial yang mengedepankan pilihan rasional tetapi berdasarkan pada kerangka ideologi yang sangat kuat.
Memilih dalam pemilu di negeri ini memang belum ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap warga pemilih. Ini berbeda dengan Australia misalnya, yang mewajibkan setiap warganya untuk memilih dan dikenai sanksi jika tidak memilih dalam pemilu. Akibatnya, warga tidak memiliki kewajiban untuk memilih apalagi bagi sebagian yang lain merasa bahwa pemilu tidak berdampak signifikan terhadap kehidupan terutama dalam ekonomi. Boleh jadi, hal ini–rasionalitas–warga memang menjadi poin penting penyebab masih tingginya angka golput.
Selain itu, warna atau corak parpol juga penulis yakin turut memengaruhi perilaku pemilih dalam pemilu. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak parpol sekarang yang tidak memiliki ketegasan warna–ideologi, gagasan, tujuan–satu sama lain. Hampir semua warna tersebut tumpang tindih satu sama lain yang berujung pada munculnya warna abu-abu (ketidakjelasan). Semua partai terutama pada pemilu 2014 ini justru semakin mengarah pada jenis dan karakteristik partai catch-all (meraup semua atau terbuka).
Sulit untuk menentukan partai mana sekarang ini yang dapat dikatakan sebagai partai kader atau partai massa. Beberapa partai justru semakin mengarah ke model partai kartel dan firma, sebagaimana yang dikategorisasikan oleh Krouwel (2006). Sehingga, di satu sisi membuat sebagian pemilih ikut kesulitan menentukan kesamaan ideologi dan visinya dengan suatu partai. Sisi lain pula membuat sebagian pemilih kritis merasa malas (jenuh) karena pengorganisasian parpol yang semakin terbuka justru mencairkan atau mengaburkan permasalahan ideologi. Padahal ideologi, gagasan, visi dan tujuan menjadi yang paling dasar dalam mengelola parpol (Firmanzah 2011).
Selain permasalahan model perilaku pemilih dan warna parpol, masalah lain yang penulis anggap penting dalam memengaruhi perilaku memilih warga yaitu permasalahan hukum yang menimpa banyak kader-kader parpol terutama kasus korupsi. Ketika masyarakat diajak berkampanye menjauhi korupsi dan memusuhi koruptor karena dianggap merugikan negara dan masyarakat. Ketika itu juga justru banyak bermunculan kasus-kasus korupsi yang menerpa kader-kader parpol. Hebatnya lagi, wabah kemanusiaan korupsi ini hampir menjalar ke semua partai yang ada mulai dari partai kecil sampai partai besar, partai nasionalis sampai partai agama sekalipun dihajar oleh wabah korupsi.
Laporan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) misalnya, hingga Januari 2014 terdapat 318 pimpinan daerah yang tersangkut kasus korupsi dari total 524 kepala dan wakil kepala daerah (www.jpnn.com ). Tentu saja, bisa dipastikan hampir semua kepala dan wakil kepala daerah itu merupakan kader-kader parpol. Anggapan bahwa parpol dan anggotanya itu selalu dekat dengan isu korupsi semakin diyakini publik karena institusi parpol dan parlemen selalu mendapat penilaian negatif dari masyarakat. Berdasarkan survei Global Corruption Barometer (GCB) oleh Transparancy International Indonesia (TII) misalnya, menempatkan parlemen sebagai lembaga terkorup (4,5%) dan parpol (4,3%) di urutan ketiga (www.pekanbaru.co ). Akhirnya, tidak salah jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu karena merasa semua parpol yang berkompetisi tidak ada yang benar-benar bersih.
Prediksi untuk Pilpres
Pengalaman pelaksanaan pileg kemarin yang tetap menunjukkan rendahnya angka partisipasi memilih. Memunculkan kekhawatiran yang sama terhadap pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) nanti. Ini sah-sah saja, karena data grafis di atas memperlihatkan bahwa angka partisipasi dalam pilpres juga menurun, dimulai pada angka 79% tahun 2004 lalu turun menjadi 77% pada pilpres 2009 putaran pertama, semakin turun lagi ke angka 73% pada pilpres putaran kedua. Tentu tren ini diyakini akan sama pula kejadiannya dengan pilpres 2014 sekarang. Namun, penulis justru berkeyakinan lain bahwa angka partisipasi pilpres 2014 ini akan mengalami perbaikan bahkan lebih tinggi ketimbang angka partisipasi pileg kemarin keyakinan ini dilatari oleh beberapa hal yakni figuritas kandidat calon, harapan baru, iklim politik, angka pemilih pemula dan beberapa faktor pendukung lain yang penulis yakin akan mampu mendorong warga pemilih untuk mencoblos pada 9 Juli mendatang.
Rendahnya partisipasi dalam pilpres juga sebenarnya boleh jadi diakibatkan munculnya keadaan split ticket voting (STV), keadaan ketika diselenggarakannya dua pemilu untuk periode yang sama. Penelitian Grofman dkk (2000) justru menunjukkan bahwa STV, seperti yang dilaksanakan oleh Indonesia melalui pileg dan pilpres malah dapat menurunkan gairah politik warga pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Karena, pemilihan dengan model STV ini dianggap inefisien dan inefektif, juga merugikan bagi parpol sebab bisa jadi pilihan partai pada pileg itu tidak berbanding lurus dengan memilih capres yang diusung oleh parpol yang dipilihnya saat pileg.
Namun, sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya bahwa penulis berkeyakinan bahwa pilpres kali ini akan terselenggara dengan cukup sengit. Tingkat partisipasi warga untuk memilih juga akan mengalami perbaikan atau bahkan meningkat dari angka partisipasi pileg yang 75,11%. Kenapa? Karena, dalam kompetisi pilpres kali ini hanya ada dua pasang kandidat capres yang pada saat bersamaan bukan petahana. Visi dan misi yang disampaikan meskipun memiliki kesamaan substansi, tetapi tetap dapat memberi angin segar bagi bangsa setelah 10 tahun lamanya dipimpin dalam rezim yang sama. Keyakinan ini juga penulis rasakan dari kondisi psikologis warga pemilih tua maupun pemula memiliki semangat dan atensi yang tinggi terhadap penyelenggaraan pilpres. Semangat dan atensi ini penulis yakini akan sama pula tingginya pada saat hari pencoblosan nanti di bilik suara.
Pengawasan Pemilu
Salah satu hal krusial dalam pemilu yaitu masalah pengawasan, secara prosedural masalah pengawasan diatur dalam UU 8/2012 tentang pemilu. Pengawasan secara resmi diperankan oleh lembaga resmi negara yang bahkan telah diakui konstitusi yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kedudukan pengawas pemilu ini berada mulai di tingkat pusat yaitu Bawaslu, tingkat provinsi yaitu Bawaslu provinsi, tingkat kabupaten yaitu Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), tingkat kecamatan yaitu Panwas Kecamatan (Panwascam), tingkat desa yaitu Panitia Pengawas Lapangan (PPL).
Faktor besar kesuksesan pengawasan menurut penulis yaitu sikap independen dan nonpartisan yang harus dimiliki oleh tiap-tiap individu pengawas. Independensi menjadi kata kunci bagi seorang pengawas karena jika pengawas pemilu tidak independen dan partisan maka kecenderungan untuk melakukan kecurangan dengan memenangi secara sengaja parpol atau calon tertentu. Tindakan-tindakan macam ini justru dapat menodai kesehatan demokrasi dan berdampak buruk pada iklim demokrasi. Jika terjadi perilaku pengawas macam ini maka akan muncul distrust masyarakat terhadap pengawas dan meragukan kredibilitasnya.
Referensi:
Firmanzah, 2011, Mengelola Partai Politik Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Grofman, dkk, 2000, A New Look at Split-Ticket Outcomes for House and President: The Comparative Midpoints Model, The Journal of Politic, Vol. 62, No. 1, Tahun 2000.
Krouwel, Andre, 2006, Party Models, dalam Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook of Party Politics, Los Angeles: Sage Publications.
Mujani, Saiful, dkk, 2012, Kuasa Rakyat Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: Mizan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
http://www.jpnn.com
http://www.kompas.com
http://kpu.go.id
http://www.pekanbaru.co
http://ift.tt/Z8ONBp
Sumber : http://ift.tt/Z8ONBw
Perilaku Pemilih Pemilu 2014
Sejak pemilihan umum (pemilu) pasca orde baru (orba) tahun 1999, persentase partisipasi warga untuk memilih terus menurun. Bahkan, meskipun sistem pemilu telah dilakukan secara langsung sejak 2004. Tidak berkorelasi positif terhadap tingkat pasrtisipasi pemilih dalam pemilu. Tentu saja hal ini menjadi tantangan besar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena, ketika alam demokrasi sedang tumbuh dan berkembang dengan suburnya. Pada saat bersamaan, pemilih yang notabene sebagai rakyat sekaligus pelaku demokrasi justru menunjukkan keogahannya pada pemilu sebagai sistem yang dipercaya paling baik saat ini untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil di parlemen.
Sumber: Perludem 2013
Dari data di atas dapat dilihat bahwa pemilu 1999 angka partisipasi pemilih khususnya pemilihan legislatif (pileg) masih sangat tinggi yaitu di angka 93%. Angka tersebut menurun pada tahun 2004 menjadi 84% dan terus menurun menjadi 71% pada pemilu 2009. Meskipun pada pemilu 2014 kali ini target Komisi Pemilihan Umum (KPU) tercapai dengan meraih angka partisipasi sebesar 75,11% (www.kompas.com). Hal tersebut belum patut dibanggakan, karena angka partisipasi hanya mampu dicapai 0,11% lebih dari target KPU dan meningkat sekitar 4% dari pemilu 2009.
Dari kajian Mujani dkk (2012), setidaknya ada tiga model yang dapat dipakai untuk melihat perilaku memilih warga yaitu model sosiologis, model psikologis dan model pilihan rasional. Model sosiologis yaitu ketika perilaku memilih warga didasarkan pada kesamaan atau kedekatan kelas sosial, agama dan etnik atau ras serta bahasa. Sementara model psikologis didasarkan pada sejauh mana pemilih masuk dan terlibat dalam pemilu, meliputi informasi dan pengetahuan politik yang dimiliki, rendah tingginya ketertarikan politik, baik buruknya kesadaran politik warga, serta kemampuan mengidentifikasi diri dengan kelompok atau partai politik (parpol) tertentu. Sedangkan model pilihan rasional yaitu keadaan ketika perilaku memilih didasarkan pada sejauh mana pilihan-pilihan yang ada dirasa mampu membantu pemilih memenuhi kepentingan dasarnya berupa kehidupan ekonomi.
Lalu dari tiga model perilaku memilih di atas, kiranya model mana yang paling memengaruhi perilaku pemilih di Indonesia? Pertanyaan ini pun masih susah untuk dijawab. Namun, dari kesimpulan kajian Mujani dkk tersebut, disebutkan bahwa secara empiris pemilih Indonesia semakin rasional ditandai oleh semakin sedikitnya warga yang merasa bahwa ikut pemilu merupakan kewajiban seorang warga negara yang baik (civic duty). Rasionalitas pemilih itu juga sejalan dengan pendapat banyak kalangan bahwa saat ini pemilu masih dianggap sebagai bentuk demokrasi prosedural. Belum sampai pada tahap demokrasi substansial yang mengedepankan pilihan rasional tetapi berdasarkan pada kerangka ideologi yang sangat kuat.
Memilih dalam pemilu di negeri ini memang belum ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap warga pemilih. Ini berbeda dengan Australia misalnya, yang mewajibkan setiap warganya untuk memilih dan dikenai sanksi jika tidak memilih dalam pemilu. Akibatnya, warga tidak memiliki kewajiban untuk memilih apalagi bagi sebagian yang lain merasa bahwa pemilu tidak berdampak signifikan terhadap kehidupan terutama dalam ekonomi. Boleh jadi, hal ini–rasionalitas–warga memang menjadi poin penting penyebab masih tingginya angka golput.
Selain itu, warna atau corak parpol juga penulis yakin turut memengaruhi perilaku pemilih dalam pemilu. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak parpol sekarang yang tidak memiliki ketegasan warna–ideologi, gagasan, tujuan–satu sama lain. Hampir semua warna tersebut tumpang tindih satu sama lain yang berujung pada munculnya warna abu-abu (ketidakjelasan). Semua partai terutama pada pemilu 2014 ini justru semakin mengarah pada jenis dan karakteristik partai catch-all (meraup semua atau terbuka).
Sulit untuk menentukan partai mana sekarang ini yang dapat dikatakan sebagai partai kader atau partai massa. Beberapa partai justru semakin mengarah ke model partai kartel dan firma, sebagaimana yang dikategorisasikan oleh Krouwel (2006). Sehingga, di satu sisi membuat sebagian pemilih ikut kesulitan menentukan kesamaan ideologi dan visinya dengan suatu partai. Sisi lain pula membuat sebagian pemilih kritis merasa malas (jenuh) karena pengorganisasian parpol yang semakin terbuka justru mencairkan atau mengaburkan permasalahan ideologi. Padahal ideologi, gagasan, visi dan tujuan menjadi yang paling dasar dalam mengelola parpol (Firmanzah 2011).
Selain permasalahan model perilaku pemilih dan warna parpol, masalah lain yang penulis anggap penting dalam memengaruhi perilaku memilih warga yaitu permasalahan hukum yang menimpa banyak kader-kader parpol terutama kasus korupsi. Ketika masyarakat diajak berkampanye menjauhi korupsi dan memusuhi koruptor karena dianggap merugikan negara dan masyarakat. Ketika itu juga justru banyak bermunculan kasus-kasus korupsi yang menerpa kader-kader parpol. Hebatnya lagi, wabah kemanusiaan korupsi ini hampir menjalar ke semua partai yang ada mulai dari partai kecil sampai partai besar, partai nasionalis sampai partai agama sekalipun dihajar oleh wabah korupsi.
Laporan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) misalnya, hingga Januari 2014 terdapat 318 pimpinan daerah yang tersangkut kasus korupsi dari total 524 kepala dan wakil kepala daerah (www.jpnn.com ). Tentu saja, bisa dipastikan hampir semua kepala dan wakil kepala daerah itu merupakan kader-kader parpol. Anggapan bahwa parpol dan anggotanya itu selalu dekat dengan isu korupsi semakin diyakini publik karena institusi parpol dan parlemen selalu mendapat penilaian negatif dari masyarakat. Berdasarkan survei Global Corruption Barometer (GCB) oleh Transparancy International Indonesia (TII) misalnya, menempatkan parlemen sebagai lembaga terkorup (4,5%) dan parpol (4,3%) di urutan ketiga (www.pekanbaru.co ). Akhirnya, tidak salah jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu karena merasa semua parpol yang berkompetisi tidak ada yang benar-benar bersih.
Prediksi untuk Pilpres
Pengalaman pelaksanaan pileg kemarin yang tetap menunjukkan rendahnya angka partisipasi memilih. Memunculkan kekhawatiran yang sama terhadap pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) nanti. Ini sah-sah saja, karena data grafis di atas memperlihatkan bahwa angka partisipasi dalam pilpres juga menurun, dimulai pada angka 79% tahun 2004 lalu turun menjadi 77% pada pilpres 2009 putaran pertama, semakin turun lagi ke angka 73% pada pilpres putaran kedua. Tentu tren ini diyakini akan sama pula kejadiannya dengan pilpres 2014 sekarang. Namun, penulis justru berkeyakinan lain bahwa angka partisipasi pilpres 2014 ini akan mengalami perbaikan bahkan lebih tinggi ketimbang angka partisipasi pileg kemarin keyakinan ini dilatari oleh beberapa hal yakni figuritas kandidat calon, harapan baru, iklim politik, angka pemilih pemula dan beberapa faktor pendukung lain yang penulis yakin akan mampu mendorong warga pemilih untuk mencoblos pada 9 Juli mendatang.
Rendahnya partisipasi dalam pilpres juga sebenarnya boleh jadi diakibatkan munculnya keadaan split ticket voting (STV), keadaan ketika diselenggarakannya dua pemilu untuk periode yang sama. Penelitian Grofman dkk (2000) justru menunjukkan bahwa STV, seperti yang dilaksanakan oleh Indonesia melalui pileg dan pilpres malah dapat menurunkan gairah politik warga pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Karena, pemilihan dengan model STV ini dianggap inefisien dan inefektif, juga merugikan bagi parpol sebab bisa jadi pilihan partai pada pileg itu tidak berbanding lurus dengan memilih capres yang diusung oleh parpol yang dipilihnya saat pileg.
Namun, sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya bahwa penulis berkeyakinan bahwa pilpres kali ini akan terselenggara dengan cukup sengit. Tingkat partisipasi warga untuk memilih juga akan mengalami perbaikan atau bahkan meningkat dari angka partisipasi pileg yang 75,11%. Kenapa? Karena, dalam kompetisi pilpres kali ini hanya ada dua pasang kandidat capres yang pada saat bersamaan bukan petahana. Visi dan misi yang disampaikan meskipun memiliki kesamaan substansi, tetapi tetap dapat memberi angin segar bagi bangsa setelah 10 tahun lamanya dipimpin dalam rezim yang sama. Keyakinan ini juga penulis rasakan dari kondisi psikologis warga pemilih tua maupun pemula memiliki semangat dan atensi yang tinggi terhadap penyelenggaraan pilpres. Semangat dan atensi ini penulis yakini akan sama pula tingginya pada saat hari pencoblosan nanti di bilik suara.
Pengawasan Pemilu
Salah satu hal krusial dalam pemilu yaitu masalah pengawasan, secara prosedural masalah pengawasan diatur dalam UU 8/2012 tentang pemilu. Pengawasan secara resmi diperankan oleh lembaga resmi negara yang bahkan telah diakui konstitusi yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kedudukan pengawas pemilu ini berada mulai di tingkat pusat yaitu Bawaslu, tingkat provinsi yaitu Bawaslu provinsi, tingkat kabupaten yaitu Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), tingkat kecamatan yaitu Panwas Kecamatan (Panwascam), tingkat desa yaitu Panitia Pengawas Lapangan (PPL).
Faktor besar kesuksesan pengawasan menurut penulis yaitu sikap independen dan nonpartisan yang harus dimiliki oleh tiap-tiap individu pengawas. Independensi menjadi kata kunci bagi seorang pengawas karena jika pengawas pemilu tidak independen dan partisan maka kecenderungan untuk melakukan kecurangan dengan memenangi secara sengaja parpol atau calon tertentu. Tindakan-tindakan macam ini justru dapat menodai kesehatan demokrasi dan berdampak buruk pada iklim demokrasi. Jika terjadi perilaku pengawas macam ini maka akan muncul distrust masyarakat terhadap pengawas dan meragukan kredibilitasnya.
Referensi:
Firmanzah, 2011, Mengelola Partai Politik Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Grofman, dkk, 2000, A New Look at Split-Ticket Outcomes for House and President: The Comparative Midpoints Model, The Journal of Politic, Vol. 62, No. 1, Tahun 2000.
Krouwel, Andre, 2006, Party Models, dalam Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook of Party Politics, Los Angeles: Sage Publications.
Mujani, Saiful, dkk, 2012, Kuasa Rakyat Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: Mizan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
http://www.jpnn.com
http://www.kompas.com
http://kpu.go.id
http://www.pekanbaru.co
http://ift.tt/Z8ONBp
Sumber : http://ift.tt/Z8ONBw