Suara Warga

“Memilih Pemimpin” atau “Pemimpin Memilih”

Artikel terkait : “Memilih Pemimpin” atau “Pemimpin Memilih”

Belakangan ini ramai diperguncingkan, diskusi, maupun perdebatan dari berbagai kalangan, apakah pemilihan kepala daerah langsung, yang paling mencerminkan hakekat demokrasi, atau pemilihan kepala daerah tak langsung, yang paling sesuai dengan jiwa dan hakekat demokrasi.

Dalam masalah tersebut, agar mudah dipahami dan dimengerti semua pihak dengan gampang, maka diperlukan penyederhaan istilah. Istilah yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: “Pemilihan kepala daerah (PILKADA) langsung”, selanjutnya dibaca “Memilih Pemimpin”. Mengapa demikian?

Karena suara rakyat, dari yang pendek sampai yang tinggi, dari yang kurus sampai yang gemuk, yang kaya dan yang miskin, yang mas, yang Gus, mba, ibu, Nyai, kesemuanya haknya sama, berhak mimilih secara langsung calon pemimpinnya itu. Itulah wujud dan rohnya demokrasi.


Sedangkan pemilihan kepala daerah tak langsung, selanjutnya dibaca “ Pemimpin Memilih”. Pada hakekatnya bukan rakyat yang memilih pemimpin, tetapi hanya terbatas, oleh orang-orang yang sekarang duduk nangkring dikursi legislative. Sedangkan untuk memperoleh jatah kursi itu, mereka mendapatkannya melalui cara yang abu-abu, bahkan mungkin sekali, segala cara ditempuhnya alias cara haram.

Bukan suatu rahasia lagi, politik uang, manipulasi suara, menjadi bagian yang melekat dari proses awal pemilihan sampai mereka dapat duduk sebagai anggota dewan. Sehingga sulit dihindari apabila PILKADA oleh DPR/DPRD akan terbebas dari politik uang, mungkin malah lebih dahsyat.

Isu yang beredar, ada bermacam jenis setoran untuk mendapatkan jatah kursi. Antara lain, setoran rutin dari kepala daerah yang terpilih, untuk anggota Dewan, diantaranya adalah: setoran lima tahunan, setoran tahunan, setoran persemesteran. Diharapkan para pengurus PWNU Jawa Timur serta kader kader yang ada di pemerintahan dan legislative lebih mudah memahami apa substansinya PILKADA Langsung atau “ Memilih Pemimpin” dan PILKADA tak langsung atau “Pemimpin Memilih”. Maaf ini bukan mengajari! Tetapi sedikit “ngudarasa” (Ngudarasa atau ngudhar rasa adalah sebuah istilah jawa yang berarti menguraikan perasaan. Mengutarakan uneg-uneg. sebagai pelepasan simpul-simpul emosi yang kadang mengikat dan menyumbat kewarasan saya. Ngudarasa menjadi semacam relaksasi jiwa. Siapa tahu ada yang tertarik juga untuk sama-sama ngudarasa sehingga bisa memperkaya emosi dan batin saya) dari rakyat kecil.

Rakyat kecil yang semula membanggakan para Kiai NU, beliau-beliau ini memiliki ketajaman mata hati (dulunya), akan tetapi sekarang jama’ah Nadliyin yang puluhan juta itu merasa ada kebimbangan, apakah beliau-beliau masih memiliki ketajaman mata hati? Apa sudah luntur sama sekali. Apakah membaca Al Qur’an, Shalatnya para Kiai, puasanya, zakat dan sedekahnya, benar-benar karena Allah, atau hanya untuk mengelabuhi rakyat, si Suta, si Naya, Si Marhaen, dan yang lainnya, mereka semua ada di dibawah.

Apakah pandangan para Kiai terhadap masyarakat khususnya kaum nahdliyin masih paradigma lama? Barangkali Kacamata yang dipergunakannya , kaca mata buatan awal kemerdekaan. Masyarakat Indonesia yang kelihatan oleh Pak Kiai, sebagian besar masih buta huruf. Pendidikan paling tinggi yang diraihnya hanya sampai sekolah rakyat. Pagi kesawah, sore ngaji, malamnya tahlilan. Belum mampu memilah dan memilih mana pemimpin yang baik , dan yang tidak baik. Belum ada yang ngerti politik, tata negara, hukum, apa lagi melek teknologi fisika, kedokteran, dan segala tetek bengeknya.

Namun kami percaya, para Kiai di PBNU dan kader-kadernya pasti sangat memahami, bagaimana pemimpin yang baik itu. Ada yang bisa dijadikan rujukan oleh para Kiai kriteria pemimpin yang baik. Kriteria dari kitab kuning yang tipis-tipis, sampai kitab kuning yang tebak-tebal. Para Kiai tidak memerlukan pencerahan dari siapapun juga. Karena para Kiai telah mumpuni ilmu lahir maupun batinnya.

Namun perlu dipertanyakan dalam hal ini, apakah megkebiri hak-hak rakyat untuk memilih pemimpin yang baik itu termasuk yang diajarkan oleh para kiainya kepada santri-santrinya? Apakah para Kiai PBNU dan para kader-kadernya dibekali semangat hanya untuk memihak kepada yang punya harta saja, memihak kepada figur yang member upeti, sogokan, suap, Apakah Kiai memilih hanya karena kekuasaan semata? Apakah boleh memilih pemimpin yang memihak kepada pelaku pelanggaran HAM berat? Apakah para Kiai sudah kehilangan kejernihan mata hatinya selama ini? Sehingga mengeluarkan pernyataan PILKADA langsung oleh rakyat harus dihapus, dengan alasan yang bermacam-macam. Menimbulkan “mafsadah” (dampak negative)? Perpecahan dikalangan umat, Kiai maupun santri?

Pak Kiai, Yang Terhormat………….,Ada banyak perbedaan yang tajam antara “Memilih Pemimpin” dengan “ Pemimpin Memilih”. Demokrasi yang harus kita tegakan harus bersumber dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintahan harus mendapat legitimasi langsung dari rakyat dalam mengemban mandat untuk menyelenggarakan pemerintahan, karena Rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, itulah makna dari sila ke 4 dari Pancasila. Kata-kata ………..dalam permusywaratan Perwakilan adalah dalam rangka pengawasannya terhadap jalannya pemerintahan, yaitu melalui mekanisme lembaga perwakilan rakyat. Jadi pemilihan Kepala daerah atau Pemimpin yang dimaksudkan adalah, bersifat langsung.




Sumber : http://ift.tt/1tOTLfx

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz