Suara Warga

Manuver Ko Mahput

Artikel terkait : Manuver Ko Mahput

Ko Mahput bukanlah nama seorang lelaki keturunan Tionghoa yang jadi mualaf. Nama muslim umumnya Mahfud (artinya: terjaga, terpelihara) pakai f dan d. Ada pula yang pakai z di belakangnya, menjadi Mahfudz.

Di Indonesia ada beberapa tokoh Islam yang kita kenal memakai nama Mahfud atau Mahfudz. Antara lain Moh. Mahfud MD (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang kemudian menjadi Ketua Tim Pemenangan Prabowo – Hatta pada Pilpres yang baru lalu, KH Sahal Mahfudz (Rais Aam PBNU, almarhum), dan Mahfudz Siddik (anggota DPR dari Fraksi PKS).

Ko Mahput adalah singkatan yang saya buat untuk Koalisi Merah Putih. Sebenarnya bisa juga disingkat Kol Meput atau Si Ratih. Tapi saya lebih suka menyingkatnya dengan Ko Mahput. Kedengarannya lebih maskulin ketimbang Si Ratih.

Saya sengaja menyingkat, karena orang Indonesia selalu ingin cepat, sehingga apa pun disingkat – kecuali soal umur. Bukti bahwa kita ingin cepat sudah sangat banyak. Misalnya, kita ingin punya pemain sepakbola yang punya skill seperti pemain Eropa, maka dikirimkan anak-anak muda yang berbakat sepakbola untuk berlatih di Italia, dan diberinama Tim Primavera, yang artinya musim semi. Maksudnya mungkin supaya bisa menyamai keindahan musim semi di Eropa. Padahal musim semi saatnya orang liburan, santai-santai. Jadi hasil Tim Primavera pun santai juga. Gagal di Eropa lalu berlatih di Uruguay. Hasilnya pun samo mawon!

Untuk menjadi jago beladiri, kita juga tidak mau berlatih bertahun-tahun seperti pendekar Shaolin yang harus mengangkut air berember-ember menelusuri jalan menanjak, atau ditendangin sama pelatihnya seperti tokoh yang diperankan Jacky Chen dalam film Drunken Master. Cukup baca jampi-jampi atau disembur, kita sudah jadi jago silat. Kebal senjata tajam dan bisa menghilang.

Kembali ke Koalisi Merah Putih (Ko Mahput), adalah koalisi beberapa partai pendukung pasangan Prabowo – Hatta dalam Pilpres yang baru lalu. Ko Mahput dibentuk untuk membendung langkah Jokowi – JK yang didukung 5 parpol: PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI.

Meskipun tidak berhasil menggolkan jagoannya ke kursi RI1, Ko Mahput menguasai 353 kursi di DPR atau lebih dari 60 persen. Dengan jumlah mayoritas itu Ko Mahput bisa sangat menentukan di parlemen, dan tidak bisa dicegah oleh partai pendukung Jokowi. Hal itu terbukti dengan lahirnya Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), yang isinya antara lain mengatakan: Ketua DPR tidak lagi otomatis diduduki oleh anggota DPR dari partai pemenang pemilu, melainkan dipilih oleh seluruh anggota DPR. Lalu pasal 245 UU MD3, berbunyi: Pemanggilan dan Pemeriksaan Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus atas persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Lahirnya UU MD3 disesalkan banyak pihak, karena disusun dengan tidak transparan dan terburu-buru. Mungkin ini proses legislasi tercepat yang pernah terjadi di Indonesia selama ini. Sayang Museum Rekor Indonesia (MURI) tidak sigap memberi piagam.

UU MD3 bisa dipastikan sebagai bentuk manuver Ko Mahput yang pertama. Tujuan apalagi kalau bukan untuk memotong PDIP, sebagai partai pemenang Pemilu 2014 di DPR, karena PDIP merupakan partai pengusung sekaligus partai Presiden terpilih Joko Widodo. Bila kelak ada pemilihan Ketua DPR, bisa dipastikan yang terpilih adalah anggota DPR dari partai yang tergabung dalam Ko Mahput. Bila posisi Ketua DPR sudah dalam genggaman, bakal mudah mengambil keputusan yang sesuai dengan kepentingan Ko Mahput. Paling yang bisa dilakukan PDIP atau partai pendukung Jokowi –JK lainya, hanya walk-out. Enggak ngaruh!

UU MD3 memang belum sah. Karena masih harus menunggu putusan Mahkamah Konstitusi. Kalau MK menolak gugatan pemohon, berarti UU itu tinggal dikirim ke Presiden untuk ditandatangani. Tapi proses yang kedua itu nampaknya bakal mudah. SBY, walau pun dalam Pilpres lalu mengatakan netral, diam-diam mendorong anggotanya untuk masuk Ko Mahput. Cuma Dahlan Iskan, Ruhut Sitompul, Sinyo Sarundayang, dan Hayono Isman yang “mbalelo”. Itu artinya SBY bisa dengan ringan menandatangani UU MD3. Apalagi dia sudah ngomong, “Koalisi Merah Putih kuat!”.

Belum selesai dengan persoalan UU MD3, sebagian besar anggota Ko Mahput sudah bermanuver lagi, yakni dengan menggulirkan wacana pemilihan Bupati dan Walikota diserahkan kepada DPRD – bukan pemilihan langsung oleh rakyat, seperti beberapa tahun ini.

Wacana pemilihan Bupati / Walikota oleh DPRD merupakan strategi jitu. Sebab banyak parpol anggota Ko Mahput yang unggul di beberapa daerah, sehingga peluang untuk memilih Bupati / Walikota dari golongannya sangat besar. Apalagi mekanisme pemilihan Ketua DPRD tidak berubah sebagaimana pemilihan Ketua DPR dalam UU MD3.

Permainan Ko Mahput memang seperti sedang mengatur strategi dalam pertandingan catur. Bisa jadi kelak – sepertinya tinggal menunggu waktu – akan ada lagi wacana, pemilihan Presiden sebaiknya dilakukan oleh DPR/MPR. Dan itu tinggal mengamandemen UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sudah ada. Jika UU yang mungkin akan dibuat ini berhasil digolkan, sudah pasti presiden mendatang adalah calon yang dijagokan Ko Mahput.

Lalu ke mana suara rakyat?

Rakyat itu bisa disetel. Biasanya kalau orang pintar dan kekuasaan plus militer sudah bersatu, maka rakyat cuma bisa melongo sambil mengelus-elus dada. Paling hanya segelintir orang yang bersuara.

Sebagian dari kita masih ingat masa Orde Baru. Pemilihan Presiden dilakukan secara aklamasi oleh MPR. Dan di masa itu, tidak ada anggota MPR yang punya suara berbeda. Minimal ketika sidang pura-pura tidur, supaya godaan untuk mengeluarkan suara berbeda tertahan.

Padahal suara orang-orang di Senayan belum tentu sama dengan keinginan rakyat. Menjelang Pemilihan Presiden Tahun 1998, Pak Harto sempat bertanya kepada Harmoko, Ketua DPR/MPR waktu itu, bagaimana sikap anggota MPR jika dirinya maju lagi sebagai Presiden, kata Harmoko seluruh rakyat dan anggota MPR mendukung. MPR lalu mengangkat kembali Pak Harto jadi presiden.

Tanggal 10 Maret 1998 Rapat Paripurna MPR mengesahkan Jenderal Besar Soeharto sebagai Presiden/Mandataris MPR 1998. Dua bulan kemudian terjadi kerusuhan di Jakarta, mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, lalu disusul dengan pengunduran diri Pak Harto. Itu artinya, keputusan MPR belum tentu sama dengan keinginan rakyat.

Nah berkaca pada peristiwa 1998 itulah, maka kemudian melalui amandemen UUD 1945 yang keempat tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung.

Sejauh ini Ko Mahput masih asyik dengan manuver-manuvernya. Merasa sebagian rakyat masih berada di belakangnya. Padahal sejak Putusan MK tanggal 21 Agustus 2014 yang menolak gugatan Pasangan Prabowo – Hatta, rakyat kebanyakan sudah tidak bersemangat lagi berkompetisi untuk mendukung pasangan presiden yang diinginkannya. Dalam demo massa di Patung Kuda pada hari pembacaan putusan MK, massa yang hadir tidak sebanyak yang diperkirakan. Bahkan sebelum polisi melepaskan gas air mata yang membuat siatusi kacau sejenak, saya melihat sudah puluhan demontran yang pulang sambil menenteng tumpukan nasi kotak.

Tapi politik memang tidak seperti matematik. Bungkus politik adalah ambisi dan kelicikan. Bisa jadi kalau sudah bicara kekuasan kelak, Ko Mahput bisa pecah berantakan. Sekarang saja, sudah ada yang mengklaim, Ketua DPR harus dari partai pendukung Ko Mahput yang memiliki anggota terbanyak di DPR. Nah lu! (Herman Wijaya / hw16661@yahoo.com)




Sumber : http://ift.tt/1oX6gl9

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz