Ketika Kedaulatan Ada di Tangan DPRD
Berbagai kalangan terus menyuarakan penolakan atas usulan pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah. Tapi, mayoritas fraksi di DPR seolah tutup telinga kuat-kuat dan menganggap suara tersebut sebagai angin lalu saja. Mereka tetap ngotot dengan sikapnya. Mereka, para wakil rakyat, terkesan abai terhadap suara rakyat.
Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD terus menggelinding dan mengundang polemik. Isu yang menjadi perdebatan itu tidak saja terjadi di Senayan, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat, termasuk di media sosial. Hampir semuanya menyatakan tidak setuju atas wacana Pilkada oleh DPRD itu.
Penolakan datang dari berbagai kalangan, mulai dari Akademisi, aktivis LSM, bahkan Ketua DPD Irman Gusman, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, serta Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Isran Noor menyatakan ketidaksetujuannya.
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) terhadap 1.200 responden pada 5-7 September 2014 menunjukkan, sebanyak 81,25 persen publik menyetujui kepala daerah tetap harus dipilih secara langsung oleh rakyat. (Kompas/10 Sept 2014).
Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh mereka yang pro terhadap Pilkada oleh DPRD tersebut. Di antaranya, pilkada langsung berbiaya tinggi dan menyuburkan praktik money politic. Argumentasi ini tentu serta merta tidak bisa diterima sebagai alasan kuat untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke –dalam istilah saya- model jadul. Bukankah wacana penyeragaman pelaksanaan pilkada secara serentak bisa menghemat biaya? Bahkan, menurut Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah, pilkada serentak bisa menekan biaya hingga 50 persen. Ini yang seharusnya didorong. Kemudian, soal politik uang. Dengan Pilkada oleh DPRD, jangan harap praktik politik uang akan hilang, melainkan hanya akan dilokalisir di satu tempat bernama gedung DPRD. Money politic cuma pindah tempat saja.
Mereka yang mengusulkan pilkada oleh DPRD beralasan, pilkda langsung yang berbiaya tinggi menjadi penyebab banyaknya kepala daerah terjerat kasus korupsi. Untuk hal ini, biangnya jangan serta merta diarahkan pada sistem pilkadanya, tapi kemungkinan besar mental kepala daerahnya saja yang sudah rusak. Buktinya, banyak juga kepala daerah produk pilkada langsung yang betul-betul amanah dan berintegritas. Sebut saja, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Bupati Bantaeng , Nurdin Abdullah. Sebenarnya yang harus dilakukan oleh partai politik adalah seleksi awal mengenai figur yang akan diusung sebagai kepala daerah. Lihat rekam jejaknya. Ini yang penting.
Sekarang persoalannya terletak pada figur calon kepala daerah. Siapa yang bisa jamin setelah dipilih DPRD, kepala daerah tersebut tidak korupsi? Kalau mental personnya memang bobrok, ya korupsi tidak bisa terhindarkan.
Bisa dibayangkan jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, lobi-lobi tingkat tinggi akan bermain. Calon kepala daerah pasti akan tetap mengeluarkan uang. Pasti. Soal besarannya, akan sangat tergantung dari hasil kesepakatan. Tentu jumlahnya tidak kecil. Setelah terpilih, niscaya kepala daerah akan tersandera. Jadinya, kepala daerah akan tunduk pada partai, bukan pada rakyat. Celaka.
Banyak kalangan mencemaskan terkait usulan pilkada oleh DPRD ini. Ketua APKASI, Isran Noor tegas menolak usulan ini. Ia mengatakan, mekanisme pilkada oleh DPRD sama saja merampas kedaulatan rakyat. Bahkan, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas khawatir akan terjadi pemerasan DPRD terhadap kepala daerah.
Kepala daerah pasti akan lebih manut kepada DPRD, sebab kepala daerah merasa “berhutang jasa”. Bagaimana ia membayar “hutang jasa” tersebut? Bisa jadi, selama periode kepemimpinannya hanya akan disibukkan oleh masalah ini. Kepala daerah akan menomorduakan rakyatnya. Kalimat, “Saya yang pilih loe, jadi jangan macam-macam” tidak menutup kemungkinan akan terus muncul. Ini betul-betul akan menyandera sang kepala daerah.
Selanjutnya, mengembalikan sistem pilkada ke model jadul, jelas akan merampas kedaulatan rakyat. Bahasa sementara kalangan, pemilihan langsung oleh rakyat merupakan kegembiraan politik rakyat. Ini pesta rakyat. Kalau ada yang beranggapan DPRD bisa mewakili suara rakyat, saya ragu. Saya ragu posisi DPRD sebagai representasi rakyat.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD jelas sebuah langkah mundur. Lalu kenapa mayoritas fraksi di DPR tetap ngotot? Apakah mereka hendak memperjuangkan kehendak rakyat atau kepentingan parpol semata? Siapa sebenarnya yang akan diuntungkan dengan sistem jadul tersebut? Yang pasti dengan sistem tersebut, kedaulatan akan berada di tangan DPRD, bukan di tangan rakyat lagi.
Sumber : http://ift.tt/YwRyMH
Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD terus menggelinding dan mengundang polemik. Isu yang menjadi perdebatan itu tidak saja terjadi di Senayan, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat, termasuk di media sosial. Hampir semuanya menyatakan tidak setuju atas wacana Pilkada oleh DPRD itu.
Penolakan datang dari berbagai kalangan, mulai dari Akademisi, aktivis LSM, bahkan Ketua DPD Irman Gusman, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, serta Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Isran Noor menyatakan ketidaksetujuannya.
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) terhadap 1.200 responden pada 5-7 September 2014 menunjukkan, sebanyak 81,25 persen publik menyetujui kepala daerah tetap harus dipilih secara langsung oleh rakyat. (Kompas/10 Sept 2014).
Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh mereka yang pro terhadap Pilkada oleh DPRD tersebut. Di antaranya, pilkada langsung berbiaya tinggi dan menyuburkan praktik money politic. Argumentasi ini tentu serta merta tidak bisa diterima sebagai alasan kuat untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke –dalam istilah saya- model jadul. Bukankah wacana penyeragaman pelaksanaan pilkada secara serentak bisa menghemat biaya? Bahkan, menurut Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah, pilkada serentak bisa menekan biaya hingga 50 persen. Ini yang seharusnya didorong. Kemudian, soal politik uang. Dengan Pilkada oleh DPRD, jangan harap praktik politik uang akan hilang, melainkan hanya akan dilokalisir di satu tempat bernama gedung DPRD. Money politic cuma pindah tempat saja.
Mereka yang mengusulkan pilkada oleh DPRD beralasan, pilkda langsung yang berbiaya tinggi menjadi penyebab banyaknya kepala daerah terjerat kasus korupsi. Untuk hal ini, biangnya jangan serta merta diarahkan pada sistem pilkadanya, tapi kemungkinan besar mental kepala daerahnya saja yang sudah rusak. Buktinya, banyak juga kepala daerah produk pilkada langsung yang betul-betul amanah dan berintegritas. Sebut saja, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Bupati Bantaeng , Nurdin Abdullah. Sebenarnya yang harus dilakukan oleh partai politik adalah seleksi awal mengenai figur yang akan diusung sebagai kepala daerah. Lihat rekam jejaknya. Ini yang penting.
Sekarang persoalannya terletak pada figur calon kepala daerah. Siapa yang bisa jamin setelah dipilih DPRD, kepala daerah tersebut tidak korupsi? Kalau mental personnya memang bobrok, ya korupsi tidak bisa terhindarkan.
Bisa dibayangkan jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, lobi-lobi tingkat tinggi akan bermain. Calon kepala daerah pasti akan tetap mengeluarkan uang. Pasti. Soal besarannya, akan sangat tergantung dari hasil kesepakatan. Tentu jumlahnya tidak kecil. Setelah terpilih, niscaya kepala daerah akan tersandera. Jadinya, kepala daerah akan tunduk pada partai, bukan pada rakyat. Celaka.
Banyak kalangan mencemaskan terkait usulan pilkada oleh DPRD ini. Ketua APKASI, Isran Noor tegas menolak usulan ini. Ia mengatakan, mekanisme pilkada oleh DPRD sama saja merampas kedaulatan rakyat. Bahkan, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas khawatir akan terjadi pemerasan DPRD terhadap kepala daerah.
Kepala daerah pasti akan lebih manut kepada DPRD, sebab kepala daerah merasa “berhutang jasa”. Bagaimana ia membayar “hutang jasa” tersebut? Bisa jadi, selama periode kepemimpinannya hanya akan disibukkan oleh masalah ini. Kepala daerah akan menomorduakan rakyatnya. Kalimat, “Saya yang pilih loe, jadi jangan macam-macam” tidak menutup kemungkinan akan terus muncul. Ini betul-betul akan menyandera sang kepala daerah.
Selanjutnya, mengembalikan sistem pilkada ke model jadul, jelas akan merampas kedaulatan rakyat. Bahasa sementara kalangan, pemilihan langsung oleh rakyat merupakan kegembiraan politik rakyat. Ini pesta rakyat. Kalau ada yang beranggapan DPRD bisa mewakili suara rakyat, saya ragu. Saya ragu posisi DPRD sebagai representasi rakyat.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD jelas sebuah langkah mundur. Lalu kenapa mayoritas fraksi di DPR tetap ngotot? Apakah mereka hendak memperjuangkan kehendak rakyat atau kepentingan parpol semata? Siapa sebenarnya yang akan diuntungkan dengan sistem jadul tersebut? Yang pasti dengan sistem tersebut, kedaulatan akan berada di tangan DPRD, bukan di tangan rakyat lagi.
Sumber : http://ift.tt/YwRyMH