Suara Warga

Jokowi dan Prabowo Bukan Prioritas Golkar dan SBY dalam Oposisi Penyeimbang

Artikel terkait : Jokowi dan Prabowo Bukan Prioritas Golkar dan SBY dalam Oposisi Penyeimbang

Jokowi dan Prabowo menjadi korban politik tipu daya Golkar dan SBY yang disebut penyeimbang, menghindari kata oposisi. Lontaran Agung Laksono yang menyebut bahwa dalam Rapimnas akan muncul tiga opsi yakni: (1) mendukung Jokowi-JK di pemerintahan, (2) oposisi dan (3) penyeimbang adalah politik tipu daya ala Golkar - dan juga SBY - yang mengorbankan Jokowi dan juga Prabowo. Tiga opsi itu hanya akal-akalan Golkar dan SBY yang merugikan bukan hanya Jokowi tetapi juga koalisi permanen karena sikap itu ambivalent, tidak tegas dan banci yang artinya main di beberapa kaki. Kondisi itu semakin runyam karena ditambah SBY ikut bermain dalam menambah kekisruhan yang SBY untuk kali ini akan menemui batunya. Mari kita telaah dampaknya bagi Jokowi-JK, Prabowo, terkait sikap Golkar dan SBY yang menjadi para partai penyeimbang.

Penyeimbang dalam koridor sistem pemerintahan banci presidensiil-parlementer bukanlah sesuatu yang nyata. Teori tentang politik hanya ada dua: (1) memerintah atau (2) oposisi. Itu politik yang benar. Istilah yang dilontarkan oleh Golkar, dengan Akbar Tandjung dan diikuti oleh SBY adalah istilah yang menyesatkan publik. Yang benar adalah Golkar dan Demokrat menangkap gelagat reaksi publik terkait sepak terjang koalisi permanen ditambah SBY yang semakin memanaskan suhu politik.

Sejak kegagalan Prabowo jadi presiden dan rencana makar lewat pansus pilpres, berdasarkan informasi intelejen, koalisi permanen mendapatkan ‘tantangan masyarakat dengan cara diam’, maka koalisi permanen yang berencana mendongkel kekuasaan Jokowi dengan legislasi di DPR, maka Golkar menghaluskan kata oposisi dengan penyeimbang. Golkar kapok dihukum oleh rakyat untuk kedua kalinya kalau berani melakukan makar secara halus dengan mendongkel Jokowi lewat pansus pilpres.

Ketika pansus pilpres ini semakin jauh dari mendapatkan dukungan rakyat, maka MD3, dan UU Pemerintahan Daerah yang mewacanakan Bupati/Walikota dipilih oleh anggota DPRD menjadi barang jualan yang dianggap lebih seksi. Rencana koalisi permanen merebut semua kursi bupati, walikota dan gubernur melalui para anggota DPRD merupakan pemikiran sempit koalisi permanen. Pemilihan bupati/walikota adalah upaya untuk melestarikan budaya korupsi dan memerkaya para anggota DPRD.

Kondisi politik saat ini adalah rakyat tengah menonton dengan tenang seluruh (1) rencana licik koalisi permanen dalam menjegal Jokowi-JK, (2) membiarkan koalisi permanen bermain-main dengan seluruh rencana menjegal Jokowi-JK, (3) memerhatikan sepak terjang Jokowi-JK dan memberikan kesempatan kepada Jokowi-JK untuk memerintah, (4) menunggu untuk bereaksi baik terhadap Jokowi-JK atau koalisi permanen ketika Jokowi atau DPR dengan koalisi permanen melakukan tindakan bodoh yang memicu kerusuhan sosial.

Fakta bahwa Jokowi berhasil menekan DPRD DKI dan program berjalan lancar dengan 16% kursi DPRD DKI merupakan wujud betapa Jokowi mampu memainkan isu popularitas dan dukungan rakyat untuk menekan DPRD. Hal ini disadari dan ditakuti oleh koalisi permanen.

Golkar dan SBY mengerti betul alasan menjadi penyeimbang bahwa (1) posisi tawar para pentolan politikus kotor dalam pemerintahan Jokowi hampir nol, (2) karamnya Ical dan prospek kemenangan pilkada dengan Jokowi sebagai motor akan membuat pemilihan langsung pilkada koalisi permanen akan kalah, (3) perlindungan hukum terhadap para koruptor di bawah kekuasaan Jokowi-JK tidak bisa diharapkan.

Berikutnya, (4) kepentingan Golkar dan SBY akan lebih terpenuhi dan memililiki daya tawar tinggi alias high political bargaining position jika menekan Jokowi terus-menerus, (5) lanjutan kampanye hitam kepada Jokowi dianggap efektif untuk persiapan pileg 2019, (6) pilpres yang bersamaan dengan pileg dianggap menguntungkan Jokowi sebagai incumbent, maka (7) merebut seluruh posisi bupati dan walikota dalam pilkada lewat pemilihan oleh anggota DPR manjadi satu cara menjegal popularitas Jokowi.

Dengan perhitungan politik seperti itu, maka Golkar dan SBY tak mau larut untuk secara frontal menyerang Jokowi dan secara membabi-buta mendukung Prabowo. Golkar dan SBY menghitung konsekaensi dan dampak politik dari langkah politik untuk meredam Jokowi dan Prabowo sekaligus. Prabowo dan Jokowi sekarang bukan prioritas kepentingan Golkar dan SBY.

Golkar dan SBY hanya mementingkan kepentingan partai saja. Terkait Prabowo dan Jokowi bukan merupakan pertimbangan dan penentu keputusan. Jokowi dan Prabowo sudah tidak dianggap lagi oleh Golkar dan SBY yang kini mereka tengah (1) mencari selamat, (2) mengelabuhi publik ketika menjegal program Jokowi-JK. Caranya dengan bermain lagi di dua kaki, satu kaki di Jokowi satu kaki lagi di koalisi permanen. Caranya? Melontarkan wacana dan mengganti istilah oposisi dengan penyeimbang yang tidak ada dalam kosa kata politik: artinya SBY dan Golkar mengelabuhi dan menipu rakyat dengan menghaluskan istilah oposisi.

Salam bahagia ala saya.




Sumber : http://ift.tt/1xwEkia

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz