Jangan Ajak Rakyat Bobo Soal Pilkada
Fidel Hardjo
Tiga puluh tahun Indonesia menjalani pilkada lewat DPRD. Apa hasilnya? Nol. Sejak reformasi, sistem itu ditebas. Pilkada langsung oleh rakyat. Katanya pilkada langsung boros. Tidak efesiensi. Dan, pantas diganti.
Pilkada keterwakilan, emang tidak boros? Efesiensi? Bagaimana bisa menjelaskan barter suara di antara anggota DPRD. Koruptif ada. Justru lebih banyak cela dapat duit. Beli suara pasti ada. Hasilnya, lihat sendiri. Kita tetap saja begini. Kini ada perubahan. Perubahan itu dianggap kemunduran.
Kemunduran? Bukankah kita maju selangkah. Pilkada langsung ini baru berumur jagung. Kalau ada minusnya ya, itu barang biasa. Akan menjadi luar biasa ketika pemimpin mengukur keberhasilan dengan dengkul sendiri. Lihat 100 tahun ke depan Pak!
Hitungan untung rugi pilkada langsung. Tidak salah. Tetapi kita hidup berpuluh tahun dengan sistem pilkada lewat DPRD. Apa ada untungnya? Bupati dan Gubernur justru lebih menyembah DPRD. Rakyat urusan belakangan. Hubungan sosiologis pemimpin dengan rakyat diabaikan.
Rakyat menjadi penonton. Bak menonton piala dunia. Hanya bisa saksikan lewat radio dan televisi. Karena itu, mengapa pemimpin daerah banyak tidak mampu membangun daerahnya. Sebab, pemimpin itu tidak ada utang budi kepada rakyat. Bukan rakyat memilihnya tapi DPRD. Pemimpin justru berutang budi kepada DPRD. Tak heran, para pemimpin lebih takut DPRD.
Tetapi apa benar, pilkada lewat DPRD jauh lebih efektif? Efektif-nya bukan sekadar menghitung untung rugi. Emang beli suara di level DPRD murah meriah? Mahal sudah pasti. Anggota DPRD pun beruntung. Rakyat mana masuk dalam perhitungan. Inilah akibat pengukuran matematika politik.
Kehidupan dan kepuasan politik ditakar atas nama transaski duit. Ini penyebab mengapa puluhan tahun hak dan partsipasi politik warga dipasung. Pemimpin berada begitu jauh dari kehidupan rakyat. Rakyat pun makin masa bodoh. Sebab sudah berpuluh tahun warga “dibiasakan disejahterahkan”. Mental ini sudah akut. Dan, justru bikin kita kelepek.
Karena kedekatan sosiologis yang makin melebar, maka rakyat tidak bisa mandiri. Sudah terbangun sebuah pola. Pemimpin yang bisa mengubah nasib rakyat. Bukan rakyat sendiri. Akhirnya, mental itu bertumbuh mengakar. Dan, kita tidak maju apa-apa. Sebab, pemimpin sudah tidak peduli kepentingan rakyat. Rakyat pun hanya dijanjikan nanti ada mesias.
Hanya ada satu pertanyaan besar. Mengapa partai koalisi merah putih ngotot untuk berbalik ke pilkada tidak langsung? Apa sih gerangan? Hemat saya, koalisi merah putih tentu punya target. Bukan sekadar mengevaluasi pilkada langsung yang terlalu boros. Tetapi apa manfaat ke depan bagi koalisi merah putih.
Bayangkan saja. Jika DPRD dikuasi oleh partai koalisi, maka gampang ditebak. Siapa pemimpin yang bakal menang. Suara mereka sudah cukup banyak. Inilah alasan ontologis politik yang membara di ubun partai koalisi sekarang. Setelah di musim pilpres gagal merebut hati rakyat. Gagal total.
Koalisi gemuk partai merah putih tentu targetnya itu. Apapun alasan mulia mereka sekarang. Ujung-ujungnya target politik. Bukan kesejahteraan rakyat. Kini rakyat dibangun dari tidurnya panjang lewat pilkada langsung. Setelah tidur lelap dari partsipasi politik. Masih saja dipaksa tidur lelap lagi. Sial.
Menuduh rakyat. Penyebab sistem demokrasi ini tidak efesiensi. Boros. Korupsi. Lha, emang siapa sih yang korupsi? Bukankah para politisi? Siapa yang bikin tidak efesiensi? Rakyat? Tidak. Bukankah para politisi? Siapa yang bikin partai seperti jamur. Para politisi, jawabannya. Bingung sendiri dengan biaya politik mahal. Sementara dirikan partai tidak kenal “Pil KB”.
Siapa yang korupsi? Rakyat? Tidak. Justru para politisi. Lha…kalau begitu mengapa seenaknya pasung partsipasi politik warga. Kalau mau fair, justru para politisi yang korupsi dipenggal kepalanya. Tidak cukup dibui saja. Tetapi mana gentle mereka teriak seperti itu. Kembali menuduh rakyat. Penyebab segala turbelensi politik. Pengenya, undang dan ikut ngamen sama Iwan Fals, manggung di depan kantor DPR (pusat dan daerah) sambil nyanyi:
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan ajak bobo rakyat urusan pilkada
Wakil rakyat bukan paduan suara
Yang pintar hitung duit sambil ngakak….
(Maaf Bang Iwan Fals, liriknya diubah dikit)
Sumber : http://ift.tt/1tRjhAP