Suara Warga

Imunitas Demokrasi dalam RUU Pilkada

Artikel terkait : Imunitas Demokrasi dalam RUU Pilkada

Proses yang telah menyertakan masyarakat dengan gerakan Relawan pada Pilpres yang lalu. Akan kembali ditutup dengan hadirnya RUU Pilkada. Bila hal ini terjadi, maka bisa dimungkinkan masyarakat yang telah bergerak secara terbuka di tingkat Pilpres akan tidak senada dengan Pilkada. Bila hal ini terjadi bisa dibayangkan gerakan civil society masyarakat dalam mengusung cuta-citanya dalam proses politik dan pembangunan tidak akan sinkron dengan yang terjadi di daerah-daerah. Ini berarti hak masyarakat dalam berpartisipasi dalam proses politk dan pembangunan akan dikecilkan artinya dengan hadirnya RUU Pilkada

Tentunya bagi mereka relawan dan masyarakat yang telah bergerak membangun partisipasi masyarakat dalam pembangunan ke depan RUU Pilkada sangat mengecewakan.

Begitu juga proses bagi mereka yang telah ikut memilih dan memenangkan calon mereka di DPRD, secara tidak sadar hak masyarakat dalam mengontrol kekuasaan didaerah sedang dibekukan. Dan RUU Pilkada yang akan merenggut hak pilih mereka dalam meningkatkan partisipasi pembangunan di daerah. Bahwa proses yang selama ini bisa kita awasi akan ditutup oleh atap gedung DPRD dan tersembunyi. Dan dikabarkan September ini RUU tersebut akan disyahkan. Maka jika ini yang terjadi maka kita akan kembali ke alam politik yang tertutup, dan tidak bisa menghadirkan pemimpin alternative dari masyarakat.

Kiranya fenomena proses terpilihnya Pilpres kemarin jadi pelajaran kita semua, yang menandakan masyarakat merindukan alternative kepemimpinan setelah 30 tahun lebih menyaksikan kran politik dan kekuasaan yang berputar di situ-situ saja, apalagi kalau kita berbicara di daerah, permasalahannya mungkin akan lebih klasik lagi bahwa transformasi kepemimpinan rata-rata mandeg dan berputar-putar di situ-situ saja, meski telah beberapa telah melepas ikatan itu. Artinya semangat yang ada di pemerintahan pusat yang telah terbuka dan menyertakan masyarakat akan ditutup dengan hadirnya RUU Pilkada. Dan menjadi ancaman dalam masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan mendatang di daerah-daerah. Dan ini akan menjadi tidak senada dengan yang terjadi diatasnya, dan bisa menjadi sandera dalam kebijakan pemerintahan pusat ke daerah.

Godaan berkuasa dan menguasai adalah tantangan DPR, DPRD dan lembaga yang setingkat dengannya dalam mengawal trend demokrasi hari ini. Dan pengajuan RUU Pilkada mencerminkan ketidak percayaan mereka pada proses terbuka yang telah menyebabkan mereka mereka duduk di kursi itu sekarang. Sebuah keniscayaan tentunya apa yang telah mereka lakukan dalam kampanye untuk memilih mereka, kemudian sekonyong-konyong kran politik yang telah terbuka ini ditutup oleh mereka sendiri. Harusnya bila yang ditakutkan benturan masyarakat dan penghematan anggaran, bukan hal itu yang ditakut-takuti kepada masyarakat. Hal yang mendasar adalah harusnya merekalah yang menjadi fasilitator, pengawal proses demokrasi didaerah, maksudnya merekalah yang punya hak kebijakan, wewenang untuk membangun system Pilkada langsung dengan langsung, aman dan rahasia. Karena itu adalah warga mereka sendiri. Bukan kemudian menohok warganya sendiri dengan ketidak percayaan bahwa warganya adalah penghalang demokrasi di daerah, karena tidak aman dan alasan sebagainya yang tak beralasan. Ini berarti mereka tidak percaya kepada konstituen mereka sendiri. Setelah dipilih masyarakat harusnya partai bekerja untuk menfasilitasi dan DPRD menyiapkan sistemnya agar berlangsung jujur, adil, aman dan rahasia.

Bila ini terjadi justru Pilkada menjadi manfaat menjaring masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan 5 tahun ke depan di daerah, anggaran menjadi tepat sasaran dan menjadi program-program masyarakat yang terencana, menjadi pendidikan bermasyarakat dalam memilih. Soal banyak atau sedikit jumlah sangat relative. Karena Pemilihan dibeberapa Negara yang menggunakan system terbuka, pada saat memilih justru menggunakan teknologi yang mudah digunakan, dan menjadi sangat murah untuk pendidikan demokrasi. Jangan terbalik, justru pekerjaan DPRD dalam menyiapkan ini dikembalikan kepada masyarakat dengan bahasa menakutkan yaitu masyarakat yang rusuh dan tidak taat konstitusi ketika berlangsung pemilihan nanti. Masyarakat di daerah harus mendorong mengembalikan DPRD ke pekerjaannya yaitu menfasilitas masyarakat dan menjaga kedaulatan masyarakatnya.

Yang harus kita ketahui fenomena pemilihan terbuka pada agenda Pilpres kemarin, telah menghadirkan partai yang egaliter dan tidak ada yang mendominasi, artinya partai telah berhasil meningkatkan partisipasi warganya. Meski proses kemarin melelahkan emosi dan hati, namun bila kita melihatnya secara helicopter view justru sangat besar maslahatnya untuk bangsa ini. Sayang sekali bila mata kita tertutup dan tidak menyadari hal ini. Bila kita masyarakat sudah ditahap ini kenapa kemudian kita dipaksakan kembali ke jaman dulu, di masa mata kita tertutup secara politik dan hanya menonton dari balik layar kaca proses itu.

DPRD tugasnya adalah mengajak partisipasi secara luas ke masyarakat dan konstituennya untuk ikut menentukan pemimpinnya, kemudian pasca masyarakat memilih mereka kembali menjadi perwakilan masyarakat yang yang memperjuangkan amanah mereka, menjadi gerakan penyeimbang pemerintah dan kritis yang bertujuan untuk efektifitas penyelenggaraan Negara yang bedampak kepada kesejahteraan.

Kita berharap Komisi II dan Panja RUU Pilkada tidak terjebak dengan hal ini dan mengembalikan kualitas kehidupan demokrasi sepenuhnya ke tangan kedaulatan rakyat. Dan DPRD yang terpilih oleh rakyat menjadi katalisator, pengawal rakyat dalam mendorong kebaikan, bukan dengan memobilisasi untuk memenangkan kekuasaan yang cenderung absolut dan tak terkontrol dengan RUU Pilkada yang meniscayakan pengawasan masyarakat untuk berlangsungnya keberlangsungan pemerintahan 5 tahun ke depan.

Kita berharap DPRD bisa mengedepankan tugas mereka dalam menfasilitasi, mengawal dan mengamankan proses politik ini. Pertengahan September ini menjadi pertaruhan masyarakat dalam kesuksesan menghadirkan pemimpin alternative ditengah mereka, mencerdaskan suara rakyat dalam mengusung idealitas dan cita-cita mereka dalam membangun politik bebas aktifdi dareahnya masing-masing. Bila tidak terjadi, maka masyarakat tidak akan pernah mendengar lagi istilah blusukan dan pinggiran bersama pemimpinnya, karena suara itu telah ditutup dan dikembalikan ke gedung yang namanya DPRD.

Mari kita dorong kembali dan meyakinkan pada para pemimpin yang kita pilih untuk mendorong warga negaranya aktif berpartisipasi pada proses politik dan pembangunan negaranya. Sehingga bangunan demokrasi, hak pengawasan masyarakat tidak kembali terpenjara, karena itu hak masyarakat, hak mendapatkan informasi dan ikut serta dalam membangun negaranya dan daerahnya sebagaimana secara filosofis dikemukakan dalam UUD 1945 kita




Sumber : http://ift.tt/WrjaRA

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz