Suara Warga

E-Blusukan jadi Keharusan

Artikel terkait : E-Blusukan jadi Keharusan

Kompas 6 September 2014-crop.jpg

JAKARTA,KOMPAS - Koalisi LSM yang bergerak di bidang aktivisme digital berkumpul untuk mendesak pemerintah baru yang dipimpin Joko Widodo memperjelas hak petisi warga. hak petisi akan memperkuat antusiasme warga, termasuk para relawan, untuk terus mengawal pemerintahan sekaligus mengontrol suara parlemen.

Para aktivis LSM tersebut juga menyerukan agar pemerintah nantinya mengakomodasi kanal-kanal aspirasi, baik yang disampaikan secara daring (online) maupun luring (offline).Pemerintah juga diminta menyiapkan aturan yang menjamin komplain, petisi, dan proposal warga ditanggapi pejabat publik tanpa ada ketakutan bagi warga untuk dipenjara.

Koalisi LSM itu terdiri dari Public Virtue Institute, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, iLab, Change.org, Sekitar Kita, ICT Watch, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Pamflet, KontraS, Indonesia Corruption Watch, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, LP3ES, dan Safenet. Acara ini digelar di Jakarta, Jumat, (5/9).

Deputi Direktur PVI John Muhammad mengatakan, koalisi LSM akan terus mengawal janji Joko Widodo (Jokowi) yang siap mengakomodasi aspirasi warga dan relawan. Jokowi bahkan secara eksplisit juga menjajikan akan mengganti blusukan yang biasa dilakukannya dengan sistem tekonologi informasi interaktif atau secara eksplisit disebut sebagai e-blusukan. sebelum mewujudkan e-blusukan, harus ada jaminan berupa peraturan perundang-undangan bahwa aspirasi, petisi, komplain, dan proposal warga akan didengar dan dilaksanakan.

“Kita akan terus kawal agar ide e-blusukan ini bisa direalisasikan. Tak hanya tersedia kanal untuk menyalurkan aspirasi, tetapi bagaimana pemerintah menjamin aspirasi ditanggapi. Tidak seperti sekarang, banyak aspirasi dan petisi dianggap noise atau kegaduhan semata,” kata John.

John menggarisbawahi, pemerintah yang akan datang harus mampu mengubah setiap noise menjadi voise, yaitu suara yang memiliki maksud dan tujuan, bisa didengar oleh pemerintah. “Kanal aspirasi rakyat ini juga bisa menjadi penyeimbang suara parlemen yang saat ini dikuasai Koalisi Merah Putih,” ujarnya.

Belajar dari SBY

Chrisbiantoro, Wakil Koordinator Kontras, memberi kesaksian betapa sulit menyalurkan aspirasi pada masa 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Belajar dari SBY, banyak aspirasi publik diabaikan. Memang betul kanal aspirasi ada di setiap institusi, tapi persoalannya, setiap ada komplain dan masukan disalurkan ke lembaga yang menjadi bagian persoalan,” ucapnya.

Chrisbiantoro mencotohkan, 108 kasus penyiksaan selama setahun terakhir disampaikan via SMS dan surat, tetapi ruang penyelesaian diserahkan kepada institusi yang bermasalah, yaitu Kepolisian Negara RI. Ketika ada konflik tanah dengan masyarakat adat, penyelesaiannya diserahkan kepada lembaga yang menjadi bagian dari masalah itu juga, misalnya Badan Pertanahan Nasional.

“Aspirasi kita tak didengar. Di era SBY tak ada saluran aspirasi, 10 tahun terakhir benar-benar tidak ada pengalaman membahagiakan,” kata Chrisbiantoro. Lalu, apa gunanya ruang-ruang yang dibangun SBY? Keadilan hanya ruang kosong. Tolong presiden ke depan hadir dan masuk jadi bagian solusi,” ujarnya. (AMR)

Sumber: Kompas, Sabtu 6 September 2014




Sumber : http://ift.tt/1u65wyf

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz