Suara Warga

Dharmasraya dan Potensinya Menjadi "Mesuji ke-Dua"

Artikel terkait : Dharmasraya dan Potensinya Menjadi "Mesuji ke-Dua"


Dharmasraya salah satu kabupaten pemekaran terbaik angka pertumbuhan ekonomi pendudukanya meningkat tiap tahunnya, menandakan bahwa masyarakat kabupaten Dharmasraya merupakan masyarakat yang makmur, ekonomi kabupaten ini umumnya di topang oleh hasil perkebunan dan pertanian hortikultura. Semua perkembangan ekonomi tersebut tidak terlepas dari peran perusahaan yang bergerak disektor industri minyak kelapa sawit dan karet, sehingganya sebagian masyarakat diluar kabupaten Dharmasraya mengaku bahwa Dharmasraya merupakan salah satu “Petro dollarnya” Sumatera Barat.

Julukan tersebut memang terkesan tidak mengada-ada, puluhan pabrik indsutri minyak kelapa sawit, karet, dan pertambangan tersebar disetiap sudut kabupaten Dharmasraya menandakan kabupaten ini merupakan lahan yang subur bagi pengusaha lokal, dalam dan luar negeri. Tapi siapa sangka dibalik semua “Kemakmuran” versi negara tersebut, sesungguhnya kabupaten ini menyimpan banyak dendam.

Hari kamis tanggal empat September 2014, salah satu pabrik sawit yang “Diagungkan” sebagai pembawa kemakmuran masyarakat kecamatan Padang Laweh, di demo oleh ratusan warga padang laweh, dari keterangan Roni salah seorang warga Padang Laweh aksi demo tersebut merupakan bentuk kekesalan masyarakat yang menilai PT. Sumbar Andalas Kencana (PT. SAK – Incasi Raya Group) membeli terlalu murah Tandan Buah Segar (TBS) sawit milik warga. Kejadian serupa sudah terjadi ratusan kali semenjak perusahaan tersebut beroperasi di kabupaten Dharmasraya.

Aksi serupa ternyata bukan saja terjadi di PT.SAK bulan Mei lalu ratusan karyawan PT. Andalas Wahana Bestari (PT.AWB) yang terletak di kenagarian Koto Padang kabupaten Dharmasraya, juga melakukan aksi unjuk rasa terkait upah kerja dan aturan kerja mereka.

Dua kasus diatas merupakan salah satu dari ratusan kali aksi perlawanan yang dilakukan masyarakat Dharmasraya terhadap perusahaan pembawa “Kemakmuran” kabupaten tersebut, mungkin masih segar dalam ingatan warga kecamatan Asam Jujuhan, bagaimana tanah ulayat kampung mereka diserobot oleh segerombolan pria bersenjata pada tahun delapan puluhan lalu, mungkin masih segar pula dalam ingatan warga kecamatan Koto Besar berapa sebenarnya luasan HGU perkebunan PT.SMP ? padahal setiap tahunnya secara ajaib luasan HGU tersebut semakin meluas hingga pekarangan belakang rumah warga. Dan beragam kesumat lainnya yang terpelihara baik dalam masing-masing sanubari masyarakat kabupaten Dharmasraya.

Tahun 2012 lalu di kabupaten Ogan Komering Ilir tepatnya di desa Sungai Sodong Kecamatan Mesuji, pembantaian terjadi antara warga dengan pihak PT. SWA, hingga kini belum juga terlihat jelas seperti apa penyelesaian antara warga dengan perusahaan tersebut, penyelesaian yang dimaksud disini adalah yang betul-betul menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Dibandingkan dengan kabupaten Dharmasraya memang tidak ada mirip-miripnya dengan Peristiwa Mesuji, namun kiranya kita bisa menarik satu benang merah, bahwa sesungguhnya Peristiwa Mesuji adalah akibat dari pembohongan menahun yang terjadi antara masyarakat dengan PT.SWA.

Apakah di kabupaten Dharmasraya tidak terjadi pembohongan serupa seperti yang dialami warga Mesuji dengan PT. SWA di Lampung sana? Jawabannya tentu bisa saja iya atau tidak.

Mengenai pembohongan yang serupa dengan peristiwa Mesuji tersebut, kiranya bisa kita tanyakan kepada penduduk Nagari Tanjung Alam, salah satu nagari terpelosok di kabupaten Dharmasraya, atau bisa pula kita tanyakan kepada warga Gunung Medan terkait perjanjian pola pembagian antara Plasma dan kebun inti dengan PT. AWB, atau bisa pula kita tanyakan kepada warga Sungai Besar di nagari Asam Jujuhan mengapa mereka kaget ketika BPN Larasita menyatakan bahwa luas lahan yang tersisa dari kampung mereka tidak lebih dari tiga hektar tahun 2010 lalu, atau bisa pula kita tanyakan kepada warga Sitiung empat kecamatan Koto Besar mana sebenarnya batas antara kebun plasma dengan kebun Inti di belakang rumah mereka yang dikelola oleh KUD setempat. Untuk pertanyaan serupa lainnya silahkan anda tambahkan sendiri.

Masyarakat kabupaten Dharmasraya boleh berbangga bahwa daerahnya merupakan lahan yang subur untuk berbagai tanaman perkebunan, tapi pernahkan kita beranalisa bahwa sesungguhnya kita berada dalam buaian “Kemakmuran”, sementara itu tanpa kita sadari sesungguhnya harga beli yang dilakukan perusahaan pembawa “Kemakmuran” tersebut terhadap hasil kebun masyarakat Dharmasraya ternyata sangat rendah sekali.

Apakah anda masyarakat kabupaten Dharmasraya berharap pemerintah daerah punya power (?) dalam menetralisir nilai harga yang kurang membahagiakan tersebut? Jawabannya bisa saja iya atau tidak.

Harga rendah yang diterapkan kepada petani sawit dan karet ketika perusahaan membeli hasil kebun warga dipoles dengan berbagai alasan, bisa saja itu disebabkan sortiran buah, atau kualitas karet yang tidak bagus (banyak sampah) dan lain sebagainya.

Ketika masyarakat kabupaten Dharmasaraya tidak tahu lagi kemana harus mengadu, terkait perilaku perusahaan yang sesuka mereka menetapkan harga, apalagi yang harus dilakukan? Ditambah lagi dengan kelakukan “centeng lokal” yang pandainya Cuma memakan kebawah, akhirnya masyarakat Cuma bisa berharap, hari demi hari bulan demi bulan tahun ke tahun, harapan itu tumbuh pula bersama dendam ketidak adilan yang terjadi setiap petani menjual hasil perkebunan mereka ke perusahaan, sementara itu aparat Pemerintah Daerah seakan “Mandul” menghadapi kesenjangan sosial yang terjadi antara warganya dengan Perusahaan pembawa “kemakmuran” ini.

Pertanyaan berikutnya apa kira-kira alasan yang cukup untuk kita menjawab seandainya Kabupaten Dharmasraya Menjadi “Mesuji ke-Dua”? ketika petaninya tidak tahu lagi harus mengadu kemana.











tanah masih dilangit
(Sumber Foto : www.sumbaronline.com)




Opini Lainnya bisa anda baca di “Tanah masih Dilangit”




Sumber : http://ift.tt/1wUFC5x

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz