Desi Anwar: SBY, oh SBY
Diterjemahkan dari kolom Desi Anwar di The Jakarta Globe, 30 September 2014. Sumber: http://ift.tt/1rCJpQb
SBY, oh SBY
Karma memang bekerja dengan cara yang misterius. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menebar pesona ke seluruh dunia, meresmikan masjid Indonesia pertama di Washington, D.C., mengadakan dialog tingkat tinggi dengan pemimpin Muslim dunia di AS dan menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Ritsumeikan di Kyoto, Jepang, justru di tanah air acara plesiran di luar negeri itu ditanggapi dengan lumpur dan telur busuk setelah disetujuinya undang-undang yang mengancam demokrasi.
Kicauan plesiran sang presiden (ia adalah pecandu Twitter) yang memuat daftar prestasinya, bukannya mengundang kekaguman, malah memicu tanggapan yang kebanyakan benar-benar kasar.
“Benar-benar tidak penting” kicau @yovyus, “menerima penghargaan saat rakyatmu ditindas.” “Rakyat butuh pilkada langsung, bukan gelarmu,” kicau pengguna lain.
Merebaknya ungkapan kebencian secara nasional belakangan ini pasti mengejutkan SBY. Apalagi untuk orang yang menghabiskan sebagian besar masa kekuasaannya untuk memoles citra sebagai anak manis, sering dengan mengorbankan pengambilan keputusan sulit demi kepentingan negara, karena ia begitu ingin disukai.
Maka, beberapa hari terakhir ini, tagar #ShameOnYouSBY, #ShamedByYou dan #ShamedByYouAgain menjadi trending topic dunia di Twitter karena banyak orang Indonesia meluapkan kemarahan dan kekecewaannya di media sosial karena disahkannya undang-undang yang mencabut kekuasaan rakyat untuk memilih secara langsung walikota, bupati dan gubernur, dan menyerahkannya ke DPRD.
Alasan utama mengapa undang-undang itu disetujui adalah karena Parta Demokrat, kendaraan politik SBY, walk out saat pengambilan suara, dan otomatis memberikan kemenangan untuk Koalisi Merah Putih yang kalah dalam pemilihan presiden tahun ini, dan yang berusaha keras untuk mengikis demokrasi melalui aktor politik di parlemen, setelah gagal berkuasa melalui cara-cara yang demokratis.
Tindakan ini dipandang sebagai ancaman terhadap demokrasi dan pengkhianatan oleh sang presiden petahana, yang merupakan hasil perdana dari pemilihan presiden langsung pertama di negeri ini, karena ia membiarkan partainya abstain dalam pemungutan suara dan karenanya gagal menghentikan RUU tersebut disetujui, terlepas dari pengakuan lantangnya mendukung pilkada langsung.
Sesuai sifatnya sebagai presiden yang mementingkan citra dan gila popularitas – misalnya, daripada kehilangan popularitas di akhir masa jabatan dengan mengurangi subsidi BBM yang sangat membebani negara, ia memilih menyerahkan piring kotor untuk dicuci penerusnya – SBY masih berusaha cuci tangan dari urusan ini dengan pura-pura terkejut atas permainan politik kotor di sekitarnya, melalui komentar-komentar yang ia sebarkan di Twitter dan YouTube.
“UU harus mencerminkan kehendak rakyat, dan bukan anggota DPR atau presiden,” kicau sang presiden, “kita perlu mendengarkan aspirasi rakyat.”
“Ini adalah langkah mundur. Di jaman saya, presiden dan wapres dipilih langsung, demikan pula gubernur, bupati dan walikota. Kita tidak ingin demokrasi kembali ke masa lalu.”
Bukannya meraih simpati, kicauannya menghasilkan banjir serangan yang tidak terkontrol dari para netizen yang geram dan sudah tidak mempan dengan pesonanya, dan menjadi sarana untuk menghancurleburkan citra manisnya untuk selamanya.
“Prabowo tidak bisa menang dengan demokrasi. Jadi dia mau menang lewat pintu belakang. Dan SBY memberikan kuncinya,” kicau @stratbuzz. “Shame on you SBY. Pembohong besar!!! Terima kasih untuk 10 tahun yang terbuang percuma,” kata @Skazie. “Everybody knew you’re liar #ShamedByYou” kata pengguna Twitter lain yang murka.
Kelihatannya bukan warisan yang bagus dari pemimpin yang tinggal beberapa minggu lagi mengakhiri sepuluh tahun kekuasaanya, ya?
Desi Anwar
Sumber : http://ift.tt/1vvOTyX
SBY, oh SBY
Karma memang bekerja dengan cara yang misterius. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menebar pesona ke seluruh dunia, meresmikan masjid Indonesia pertama di Washington, D.C., mengadakan dialog tingkat tinggi dengan pemimpin Muslim dunia di AS dan menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Ritsumeikan di Kyoto, Jepang, justru di tanah air acara plesiran di luar negeri itu ditanggapi dengan lumpur dan telur busuk setelah disetujuinya undang-undang yang mengancam demokrasi.
Kicauan plesiran sang presiden (ia adalah pecandu Twitter) yang memuat daftar prestasinya, bukannya mengundang kekaguman, malah memicu tanggapan yang kebanyakan benar-benar kasar.
“Benar-benar tidak penting” kicau @yovyus, “menerima penghargaan saat rakyatmu ditindas.” “Rakyat butuh pilkada langsung, bukan gelarmu,” kicau pengguna lain.
Merebaknya ungkapan kebencian secara nasional belakangan ini pasti mengejutkan SBY. Apalagi untuk orang yang menghabiskan sebagian besar masa kekuasaannya untuk memoles citra sebagai anak manis, sering dengan mengorbankan pengambilan keputusan sulit demi kepentingan negara, karena ia begitu ingin disukai.
Maka, beberapa hari terakhir ini, tagar #ShameOnYouSBY, #ShamedByYou dan #ShamedByYouAgain menjadi trending topic dunia di Twitter karena banyak orang Indonesia meluapkan kemarahan dan kekecewaannya di media sosial karena disahkannya undang-undang yang mencabut kekuasaan rakyat untuk memilih secara langsung walikota, bupati dan gubernur, dan menyerahkannya ke DPRD.
Alasan utama mengapa undang-undang itu disetujui adalah karena Parta Demokrat, kendaraan politik SBY, walk out saat pengambilan suara, dan otomatis memberikan kemenangan untuk Koalisi Merah Putih yang kalah dalam pemilihan presiden tahun ini, dan yang berusaha keras untuk mengikis demokrasi melalui aktor politik di parlemen, setelah gagal berkuasa melalui cara-cara yang demokratis.
Tindakan ini dipandang sebagai ancaman terhadap demokrasi dan pengkhianatan oleh sang presiden petahana, yang merupakan hasil perdana dari pemilihan presiden langsung pertama di negeri ini, karena ia membiarkan partainya abstain dalam pemungutan suara dan karenanya gagal menghentikan RUU tersebut disetujui, terlepas dari pengakuan lantangnya mendukung pilkada langsung.
Sesuai sifatnya sebagai presiden yang mementingkan citra dan gila popularitas – misalnya, daripada kehilangan popularitas di akhir masa jabatan dengan mengurangi subsidi BBM yang sangat membebani negara, ia memilih menyerahkan piring kotor untuk dicuci penerusnya – SBY masih berusaha cuci tangan dari urusan ini dengan pura-pura terkejut atas permainan politik kotor di sekitarnya, melalui komentar-komentar yang ia sebarkan di Twitter dan YouTube.
“UU harus mencerminkan kehendak rakyat, dan bukan anggota DPR atau presiden,” kicau sang presiden, “kita perlu mendengarkan aspirasi rakyat.”
“Ini adalah langkah mundur. Di jaman saya, presiden dan wapres dipilih langsung, demikan pula gubernur, bupati dan walikota. Kita tidak ingin demokrasi kembali ke masa lalu.”
Bukannya meraih simpati, kicauannya menghasilkan banjir serangan yang tidak terkontrol dari para netizen yang geram dan sudah tidak mempan dengan pesonanya, dan menjadi sarana untuk menghancurleburkan citra manisnya untuk selamanya.
“Prabowo tidak bisa menang dengan demokrasi. Jadi dia mau menang lewat pintu belakang. Dan SBY memberikan kuncinya,” kicau @stratbuzz. “Shame on you SBY. Pembohong besar!!! Terima kasih untuk 10 tahun yang terbuang percuma,” kata @Skazie. “Everybody knew you’re liar #ShamedByYou” kata pengguna Twitter lain yang murka.
Kelihatannya bukan warisan yang bagus dari pemimpin yang tinggal beberapa minggu lagi mengakhiri sepuluh tahun kekuasaanya, ya?
Desi Anwar
Sumber : http://ift.tt/1vvOTyX