Suara Warga

Demokrasi

Artikel terkait : Demokrasi

Kedaulatan rakyat yang dipahami dan diajarkan di barat - western democracy, itu berbeda dengan kedaulatan yang dipahami oleh non-western, terutama dari kalangan ilmuan Muslim. Dalam konteks ini, saya tidak bersikap apriori, juga tidak berprasangka terhadap segala sesuatu yang berbau barat, karena saya kira kita sama-sama sepakat bahwa tidak ada yang salah dari konsep tersebut dan kita juga setuju kalau hal tersebut juga adalah cita-cita luhur yang seharusnya diperjuangkan. Tapi tidak juga saya kira kalau kita coba lihat perbedaannya.

Nah, dikalangan ilmuan muslim, bahwa konsep demokrasi yang dipraktekan di barat itu tidak sepenuhnya mendapat pembenaran. Ambil contoh misalnya pendapat Abul A’la al-Maududi, yang membedakan antara “kedaulatan rakyat” dalam konsep demokrasi barat dengan “kedaulatan rakyat dalam Islam. Mungkin lebih tepatnya kita sebut khilafah rakyat.

Dalam konsep kedaulatan rakyat, rakyat berdaulat atas segala-galanya dan menjadi tujuan akhir yang tertinggi, sedangkan khilafah rakyat berarti kedaulatan milik Tuhan, rakyat adalah khalifah atau wakil-wakilnya. Sebagai wakil disini manusia dituntut melaksanakan ketentuan dan kemauan Tuhan. Pemerintah dan rakyat bersama-sama memenuhi kehendak dan tujuan Tuhan.

Menurut Maududi kelemahan demokrasi barat itu adalah dalam hal pembuatan undang-undang. Konsep demokrasi menghendaki rakyatlah yang membuat undang-undang menurut kemauannya masing-masing. Rakyat bebas sebebasnya menjalankan kehendaknya dan menentukan garis hidupnya. Sementara pemerintah berusaha memenuhi keinginan rakyat.

Nah, dalam konsep Islam, menurut Maududi, rakyat menaati undang-undang yang telah digariskan Tuhan lewat syari’at-Nya yang sempurna, potensi kreatif dan kebebasan untuk melahirkan undang-undang tetap diakui namun harus bercermin dari ketentuan universal syari’at. Islam mengakui bahwa segala kebijakan pemerintah harus bertumpu pada kemaslahatan rakyat, namun Islam mengarahkan bahwa ini bukan tujuan tertinggi. Kebebasan yg ada pada rakyat bukan berarti bebas sebebasnya, keinginan rakyat banyak untuk suatu keputusan bukan berarti keputusan itu final dan sah dalam pandangan Islam, sebab keinginan tersebut harus tunduk pula pada hukum Tuhan, pada perintah dan larangan Nya.

Disinilah letak perbedaannya, suara rakyat dalam demokrasi adalah “absolut”, sedangkan dalam Islam yang absolut adalah suara dan kemauan Tuhan. Konsekuensi hal itu, kalau menurut H.A.R. Gibb dalam bukunya “Modern Trends in Islam”, Vox populi (suara rakyat), dalam pandangan Islam harus tunduk pada Vox Dei (kemauan Tuhan) dan Vox Propethei (kemauan Nabi). Nah, saya kira hal inilah yang perlu kita cermati lebih lanjut. Masalah ini tentu tidak dianut dalam konsep demokrasi barat, apalagi demokrasi liberal.

Sebenarnya, disinilah inti demokrasi dalam Islam, benar bahwa kebebasan harus dijunjung tinggi dan tidak boleh ada pemaksaan kehendak dan tindakan sewenang-wenang. Benar juga bahwa kemauan rakyat harus diutamakan dalam segala hal ketimbang segelintir orang dan segala kebijakan yang dilakukan harus untuk membela rakyat banyak. Namun Islam mengajak selangkah lebih maju, dengan selalu juga menjunjung tinggi kemauan Tuhan, menjaga batasan dan ketetapan-Nya.

Jadi sebenarnya demokrasi dalam Islam itu berbentuk paralel, satu sisi terarah kepada kemashlahatan manusia, dan di sisi yg lain, menjunjung tinggi perintah dan larangan Tuhan. Keduanya mesti berjalan sinergis dan tidak bertentangan.





Sumber : http://ift.tt/1reu9dQ

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz